Let's Write !!!

ANAK PUTUS SEKOLAH; Analisis Teori Pertukaran Sosial Peter M. Blau



ANAK PUTUS SEKOLAH;
Analisis Teori Pertukaran Sosial Peter M. Blau

A.           Latar Belakang
Pendidikan merupakan proses yang penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia untuk masa kini dan masa depan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pendidikan ialah usaha sebagai penunjang keberhasilan pembangunan bangsa baik dari pendidikan formal, pendidikan informal, maupun pendidikan nonformal.[1]
Pentingnya pendidikan di atas senada dengan tujuan pendidikan nasional sebagaimana yang tercantum dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 yang berbunyi “tujuan pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Deskripsi di atas menunjukkan bahwa pendidikan penting untuk dikembangkan. Harapannya adalah melalui pendidikan dapat menciptakan manusia-manusia terdidik yang mampu mendorong Indonesia menjadi bangsa yang lebih egaliter dan sejahtera.
Namun pada faktanya dalam pembangunan pendidikan nasional yang diharapkan di atas, masih terdapat banyak masalah dan hambatan yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia, salah satunya adalah masalah anak putus sekolah. Masalah anak putus sekolah merupakan masalah yang sudah terjadi sejak lama, meskipun sudah berbagai program dan kebijakan yang dilakukan seperti Bantuan Operasional Pendidikan (BOS), Bantuan Siswa Miskin (BSM), Bantuan Khusus Siswa Miskin (BKSM) dan sebagainya, namun faktanya program tersebut belum dapat memberikan solusi yang tepat dalam menuntaskan masalah yang satu ini. Padahal hak pendidikan bagi anak-anak bangsa telah dijamin oleh negara sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1 yang berbunyi “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”.
Masalah anak putus sekolah di atas, dapat digambarkan dari studi yang dilakukan oleh Musta’in dkk pada tahun 1998 di Pacitan yang menunjukkan bahwa seorang anak yang sudah lulus SD yang minta melanjutkan ke tingkat SLTP akan berpikir dua-tiga kali sebelum benar-benar memutuskan mendaftarkan diri. Sebab jarak desa dengan gedung SLTP sekitar 7 km yang harus dilalui dengan jalan kaki. Jika melewati jalan beraspal maka harus menggunakan kendaraan umum dengan membayar Rp. 100-200 untuk sampai ke sekolah. Dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan rasanya orang tua keberatan jika harus mengeluarkan uang Rp. 500 setiap hari untuk sekedar ongkos transport.[2]
Studi yang dilakukan oleh LPPM Universitas Airlangga pada tahun 2005 di provinsi Jawa Timur menunjukkan bahwa di kalangan masyarakat miskin, kesadaran dan kemampuan masyarakat untuk untuk meyekolahkan anak-anak relatif masih belum berkembang. Bisa dibayangkan, bagaimana mungkin seorang anak yang setiap hari bergaul dan bermain dengan teman-teman mereka yang tidak lagi bersekolah atau hanya lulusan SD dapat bertahan untuk terus bersekolah melawan arus umum lingkungan sosial mereka.[3]
Penelitian yang dilakukan oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO) tahun 2005 menunjukkan terdapat 4,18 juta anak usia sekolah di Indonesia ternyata putus sekolah dan menjadi pekerja anak.[4] Menurut data Komnas Anak di tahun 2006 terdapat 9,7 juta anak putus sekolah, dan dalam waktu satu tahun (2007) jumlahnya meningkat 20 persen menjadi 11,7 juta jiwa. Menurut data Departemen Pendidikan Nasional, dari 25.982.000 siswa tingkat SD pada tahun ajaran 2005/2006, jumlah siswa yang putus sekolah mencapai 824.684 anak. Untuk tingkat SMP, dari 8.073.086 siswa, jumlah anak yang putus sekolah sebanyak 148.890.[5]
Data Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta menyebutkan di DKI Jakarta hingga kini setidaknya terdapat 6.959 anak yang mengalami putus sekolah. Jumlah itu terdiri dari Murid SMA, SMK, SMP, maupun SD. Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta mengatakan, jumlah anak putus sekolah tingkat SMA tahun 2008 mencapai 1.253 orang atau meningkat 0,04 % dibanding tahun 2007 yang hanya mencapai 1.229 orang. Tingkat SMK 3.188 orang atau 1,65 %, dari total jumlah SMA dan SMK 377.198 orang.[6]
Hasil pandataan PPLS pada Tahun 2008 menunjukkan terdapat 376 anak yang putus sekolah usia 7-15 tahun atau sebesar 1,79 persen anak dari seluruh anak usia 7-15 tahun pada rumah tangga miskin di Kota Depok Provinsi Jawa Barat.[7] Sedangkan data dari Dinas Pendidikan Kab. Gresik tahun 2011-2012 menunjukkan terdapat 10,50 % dari 14397 siswa pada tingkat MA/SMA/SMK.[8]
Sama halnya dengan yang terjadi di Desa Pangkah Kulon Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik. Di desa tersebut pada umumnya terdapat lebih dari 30 anak yang tidak melanjutkan sekolah dari jenjang SMP ke jenjang SMA[9], salah satunya terjadi pada keluarga bapak Zaini. Bapak Zaini yang merupakan salah satu warga Dusun Druju memiliki 3 anak yang dua diantaranya tidak melanjutkan sekolah. Anak pertama bernama Agus tidak melanjutkan jenjang sekolah dari SMP ke jenjang SMA dan anak yang kedua bernama Khadijah putus sekolah ketika SMP karena takut diperlakukan kasar dan tidak baik oleh teman-temannya di sekolah.[10]
Setelah lulus dari MTs Al Muniroh Ujung Pangkah Agus tidak mau melanjutkan sekolah pada jenjang SMA. Penyebabnya adalah dia jenuh dengan sekolah yang ada di desanya –Al Muniroh. Sebab dia berkeinginan menghindari pergaulan dengan teman-temannya yang ada di desa yang selalu mengajak –dengan sedikit memaksa- mbolos sekolah ketika MTs dulu. Oleh karena itu dia meminta sekolah di SMK Assa’adah yang berada di desa Bungah agar mendapat teman baru yang lebih baik sehingga dia bisa serius untuk belajar. Selain itu dia memilih sekolah di SMK adalah karena dia punya keinginan dapat mengendarai mobil sehingga suatu saat dia berharap dapat menjadi sopir. Tetapi orang tuanya tidak mengehendaki Agus untuk sekolah di SMK Assa’adah Bungah yang disebabkan selain ketiadaan kendaraan transportasi –sepeda motor- juga disebabkan ketiadaan biaya untuk membiayai sekolah Agus yang cenderung lebih mahal dari pada sekolah di Al Muniroh Ujung Pangkah.
Oleh karenanya Agus lebih memilih tidak sekolah dari pada sekolah di SMA Al Muniroh yang menyebabkan dia tidak dapat serius belajar karena pergaulan teman-temannya yang cenderung mengajak berperilaku negatif seperti membolos sekolah, nongkrong di warung kopi hingga larut malam dan sebagainya. Menurut Agus menghindari pergaulan dengan teman-teman satu desa merupakan hal yang sangat sulit, sebab teman-temannya selalu menuntut agar selalu mengikuti semua ajakan teman-teman komunitasnya tanpa terkecuali. Sebab jika tidak dituruti, maka Agus akan dimusuhi dan mendapatkan ancaman kekerasan dari teman-teman komunitasnya.
Untuk itu Agus lebih memilih untuk tidak sekolah dari pada menghabiskan biaya sekolah dari orang tuanya, sedangkan Agus sendiri tidak serius dalam sekolahnya. Selain itu Agus juga ingin aman dari permusuhan dan ancaman kekerasan dari kelompok teman-temannya.
Terkait dengan putus sekolahnya Agus, dalam pandangan masyarakat desa Pangkah Kulon, seorang anak putus sekolah merupakan hal yang biasa atau lumrah, sehingga tingkat kepedulian masyarakat terhadap pendidikan begitu rendah, sebab masyarakat memandangan sekolah tidaklah begitu penting, dan begitu pula dengan stakeholder desa Pangkah Kulon.
Sejak tamat MTs Al Muniroh Ujung Pangkah hingga saat ini Agus masih menekuni pekerjaannya sebagai pencari ikan dan kepiting di tambak –buri/ miyang- dari pada menganggur di rumah. Dalam bekerja dia membantu ayahnya –Zaini- yang juga memiliki pekerjaan yang sama agar dapat membantu meringankan beban pekerjaan ayahnya untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Pada aspek penghasilannya baik sebelum maupun sesudah dibantu Agus dalam bekerja pendapatan yang diperoleh tetap sama, yaitu rata-rata sekali kerja mendapatkan keuntungan Rp 50.000 per sekali miyang. Selain berharap dapat membantu meringankan pekerjaan dia juga berharap dari penghasilan itu dapat digunakan untuk membeli motor agar dapat dipakai untuk keperluan Agus sehari-hari.
Dalam aktivitas kesehariannya, mulai jam 08.00–12.00 Agus berkumpul dengan teman-temannya di Warung Kopi untuk bermain, kemudian pada jam 12.00-15.00 dia istirah di rumah, jam 15.00-18.00 dia bermain volly di lapangan volly di dekat rumahnya bersama teman-temannya, jam 18.00-19.30 dia bersama orang tuanya menyiapkan alat-alat untuk miyang, pada jam 19.30-24.00 dia bersama orang tuang berangkat ke tambak untuk miyang, dan pada jam 24.00-08.00 Agus tidur. Aktivitas ini dilakukan Agus secara berulang-ulang dan terus menerus hingga saat ini.
Fenomena atau isu ini menjadi seksi untuk dikaji adalah karena pada umumnya banyak laporan penelitian, buku, artikel, jurnal dan sebagainya yang melaporkan pergaulan teman sebagai salah satu faktor penyebab anak putus sekolah. Akan tetapi hampir belum ada laporan yang menjelaskan bagaimana proses terjadinya relasi anak putus sekolah dengan teman-temannya yang kemudian mengakibatkan seorang anak tidak melanjutkan sekolah.
Sehingga dalam hemat penulis, kiranya masalah anak putus sekolah perlu dikaji bagaimana proses dan pola interaksi anak putus sekolah dengan komunitasnya sehingga dapat menjadi penyebab anak tersebut tidak melanjutkan sekolahnya. Hal ini sangat penting dikaji melalui pendekatan sosiologis baik secara makro maupun mikro untuk dapat menjelaskan mengapa seorang anak –agus- lebih memilih mempertahankan diri sebagai anggota kelompok atau komunitas dalam interaksinya daripada resisten terhadap kelompok atau komunitasnya.

B.            Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas menurut penulis yang menarik adalah relasi antara anak putus sekolah –Agus- dengan teman sekelompok atau komunitasnya, sehingga kajian masalah dalam makalah ini akan difokuskan pada bagaimana pertukaran sosial yang terjadi antara agus –anak putus sekolah- dengan komunitasnya ?

C.           Tujuan Pembahasan
Kajian ini berbeda dengan kajian-kajian lainnya karena tidak menempatkan anak putus sekolah sebagai isu utama namun lebih meletakkan relasi sosial dari anak putus sekolah sebagai subject matter. Kelebihan dari kajian ini yang dijadikan sebagai tujuan penelitian ialah terletak pada penjelasan tentang pertukaran sosial khas yang terjadi antara anak putus sekolah dengan komunitasnya di desa Pangkah Kulon. Jauh lebih dalam lagi, penjelasan pertukaran sosial itu tidak hanya berhenti pada penjelasan tentang bentuk pertukaran dan alasannya saja, namun juga secara khusus akan menjelaskan situasi dan alasan yang menyebabkan pertukaran sosial tersebut dapat lestari.

D.           Uraian
1.             Putus Sekolah
Pengertian Anak Putus Sekolah
Seorang anak dapat dikatakan putus sekolah apabila ia tidak dapat menyelesaikan program suatu sekolah secara utuh yang berlaku sebagai suatu sistem. Di indonesia sejak ditetapkan wajib belajar 9 tahun, maka anak yang lulus SD dan tidak melanjutkan pada jenjang SLTP maka termasuk kategori anak putus sekolah.[11] Putus sekolah dapat didefinisikan sebagai proses berhentinya siswa secara terpaksa dari suatu lembaga pendidikan tempat dia belajar. Artinya adalah terlantarnya anak dari sebuah lembaga pendidikan formal, yang disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya kondisi ekonomi keluarga yang tidak memadai.[12] Sedangkan menurut Gunawan, putus sekolah merupakan predikat yang diberikan kepada mantan peserta didik yang tidak mampu menyelesaikan suatu jenjang pendidikan, sehingga tidak dapat melanjutkan studinya ke jenjang pendidikan berikutnya.[13]

Faktor-Faktor Anak Putus Sekolah
Masalah anak putus sekolah tentu saja bukanlah terjadi tanpa sebab, tetapi ada faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya masalah anak putus sekolah. Burhannudin menyatakan bahwa setidaknya ada enam faktor yang menyebabkan terjadinya putus sekolah khususnya pada jenjang pendidikan dasar yaitu faktor ekonomi, minat untuk bersekolah rendah, perhatian orang tua yang kurang, fasilitas belajar yang kurang mendukung, faktor budaya dan lokasi atau jarak sekolah.[14]
Selain itu, menurut Musfiqon faktor yang mempengaruhi anak putus sekolah adalah status ekonomi, jenis pendidikan siswa (umum atau kejuruan), kehamilan, kemiskinan, ketidaknyamanan, kenakalan siswa, penyakit, minat, tradisi/adat istiadat, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, usia orang tua, jumlah tanggungan keluarga, kondisi tempat tinggal serta perhatian orang tua.[15]
Sedangkan menurut Muller, kemiskinan dan ketimpangan struktur institusional adalah variabel utama yang menyebabkan kesempatan masyarakat untuk memperoleh pendidikan menjadi terhambat.[16] Mengulang atau tidak naik kelas –meski tidak selalu- biasanya juga dapat menjadi awal dari masalah siswa putus sekolah.[17] Sedangkan keterlibatan anak-anak diusia sekolah untuk turut membantu orang tua mencari nafkah akan cenderung mempersempit kesempatan anak untuk menikmati pendidikan secara penuh. Sebab keterlibatan anak dalam membantu orang tua mencari nafkah tidak hanya sekadar kegiatan belajar di sekolah tetapi juga kesempatan belajar dirumah, termasuk membaca dan mengerjakan PR.[18]
Marzuki[19] mengungkapkan bahwa anak putus sekolah memiliki karakteristik yang khas, antara lain: a) berawal dari tidak tertib mengikuti pelajaran sekolah; b) akibat prestasi belajar yang rendah, pengaruh keluarga, atau pengaruh teman sebaya; c) kegiatan belajar di rumah tidak tertib, tidak disiplin dan kurangnya pengawasan orang tua; d) perhatian terhadap pelajaran kurang dan mulai didominasi oleh kegiatan lain yang tidak ada hubungannya dengan pelajaran; e) kegiatan bermain dengan teman sebayanya meningkat pesat; dan f) mereka yang putus sekolah kebanyakan berasal dari keluarga ekonomi lemah dan berasal dari keluarga yang tidak teratur.
 
2.             Teori Pertukaran Sosial Peter M. Blau
Teori pertukaran adalah teori yang berkaitan dengan tindakan sosial yang saling memberi atau menukar obyek-obyek yang mengandung nilai antar individu berdasarkan tatanan sosial tertentu[20] dengan tujuan untuk memahami struktur sosial berdasarkan analisis proses sosial yang mempengaruhi hubungan antara individu dan kelompok.[21] Adapun obyek yang dipertukarkan itu bukanlah hanya benda yang nyata tetapi bisa juga hal-hal yang tidak nyata.
Blau mengatakan bahwa pertukaran sosial dapat diamati dalam kehidupan keseharian kita. Konsep ini tidak hanya dijumpai dalam market relations namun juga dalam hubungan pertemanan. Blau menjelaskan bahwa tidak semua perilaku manusia dibimbing oleh pertimbangan pertukaran sosial, tetapi dia berpendapat kebanyakan memang demikian.[22]
Teori Blau pada dasarnya diarahkan pada perubahan dalam proses-proses sosial yang terjadi sementara orang bergerak dari struktur sosial yang sederhana menuju struktur sosial yang lebih kompleks, dan pada kekuatan sosial baru yang tumbuh dari yang terakhir.[23] Oleh karenanya Blau kemudian menaruh perhatian terhadap analisis tentang perkumpulan sosial, proses yang mempengaruhi dan bentuk-bentuknya. Ia juga memandang proses dasar dalam perkumpulan-perkumpulan sebagaimana pertukaran sosial dimulai ketika individu –tingkat mikro- bergerak menuju masyarakat –tingkat makro. Ia berupaya membangun teori sosial yang induktif dan umum.
Blau menyadari akan bekerjanya proses–proses dinamis yang membentuk struktur. Kekuatan–kekuatan dialektis tersebut ada hubungannya dengan: (1) dilema (2) diferensiasi (3) dinamika dan (4) proses dialektis. Dilema merupakan kekuatan dialektis dari perubahan sosial yang membutuhkan pilihan diantara berbagai alternatif yang sama–sama diinginkan. Diferensiasi ialah pertukaran dalam menyatakan adanya persaingan untuk memperoleh sumber–sumber langka. Dinamika kehidupan sosial yang terorganisir bersumber dari kekuatan–kekuatan penantang. Dialektika adalah kekuatan kontadiktoris yang terdapat dalam kehidupan sosial.[24] Oleh karena itu, dalam banyangannya, dia menyuguhkan hukum empat tahap yang dimulai dari pertukaran antar pribadi –mikro- ke struktur –makro- hingga ke perubahan sosial. Tahap-tahap tersebut ialah pertukaran atau transaksi antar individu yang meningkat ke diferensiasi status dan kekuasaan yang mengarah ke legitimasi dan pengorganisasian yang menyebarkan bibit pada oposisi dan perubahan.[25]
Pertama, pertukaran atau transaksi antar individu meningkat. Gagasan pertukaran sosial ini diawali oleh perhatiannya tentang fenomena daya tarik individu terhadap satu sama lain serta keinginan mereka akan berbagai jenis social reward. Keinginan untuk memperoleh social reward ini merupakan sesuatu yang bersifat given dan merupakan asal usul struktur sosial. Di dalam karyanya berjudul Exchange And Power In Social Life Blau mengajukan sebuah pertanyaan ”apakah yang menarik individu kedalam asosiasi”? Blau menjawab “mereka tertarik pada pertukaran karena mengharapkan ganjaran yang instrinsik maupun ekstrinsik”.[26] Dalam hal ini ada dua syarat yang harus dipenuhi bagi perilaku yang menjurus pada pertukaran sosial: a) perilaku tersebut harus berorientasi pada tujuan-tujuan yang hanya dapat dicapai melalui interaksi dengan orang lain; dan b) perilaku harus bertujuan untuk memperoleh sarana bagi pencapaian tujuan-tujuan tersebut.[27] Pertukaran sosial merupakan proses yang lebih kompleks dari perkumpulan sosial yang berawal dari satu perkumpulan yang sederhana, yaitu munculnya organisasi sosial merupakan proses induktif yang dimulai dari proses proses mikro. Individu di dalam kelompok kecil saling tertarik pada asosiasi disebabkan oleh keinginan memperoleh berbagai jenis social reward. Meski di dalam kelompok kecil pertukaran dapat merupakan prinsip yang mengarahkan, tetapi berfungsinya organisasi-organisasi besar tidak dapat diredusir pada tesis psikologis.[28] Meski keinginan terhadap social reward pada mulanya saling menarik individu-individu ke dalam asosiasi, tetapi bibit-bibit dari fenomena yang akan lahir mulai kelihatan. Dalam tahap awal pembentukan kelompok, individu-individu mencoba menunjukkan nilai mereka bagi kelompok. Sebab para anggota akan memberi nilai sumbangan yang berbeda, maka kemudian berkembanglah perbedaan-perbedaan status.[29] Interaksi sosial memiliki kekuatan untuk merangsang terjadinya transaksi pertukaran. Kekuatan ini berakar dalam proses psikologi manusia yang primitif. Oleh karenanya atraksi dan motivasi reward meningkatkan pertukaran dari sumber-sumber langkah pertama dalam proses perkumpulan sosial.
Kedua, diferensiasi status dan kekuasaan. Setiap kali pertukaran terjadi, pembedaan terhadap status dan kekuasaan pun dimulai. Dengan demikian individu yang memiliki kemampuan yang dibutuhkan oleh orang lain dan sedikit banyak tidak tergantung pada mereka, bisa menciptakan suatu situasi yang hasrat pemenuhan kebutuhan mereka memerintahkan untuk memenuhi keinginan individu tersebut. Pada konteks ini pertukaran membangkitkan pembedaan status dan kekuasaan.
Ketiga, legitimasi dan pengorganisasian. Jika pemenuhan kebutuhan tersebut lebih banyak untung daripada ruginya, persetujuan kolektif terhadap pihak yang berkuasa cenderung untuk muncul, menggiring terjadinya konsensus dan pada akhirnya melegitimasi diri sang penguasa. Untuk itu otoritas yang sah merupakan basis organisasi yang berwenang untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang bermacam-macam, stabilitas organisasi, dan pelembagaan nilai, norma, prinsip dan penyebaran pengetahuan. Ketika persetujuan terhadap kekuasaan hanya terarah pada tangan satu orang, mungkin juga ada orang-orang yang merasa dieksploitasi dan menerima perlakuan yang tidak adil. Mereka mungkin mengkomunikasikan perasaan marah, frustasi, dan saling menyerang satu sama lain yang kemudian menghasilkan ketidaksetujuan kolektif terhadap kekuasaan dan muncul kekuatan oposisi yang menentang terhadap kelompok yang sedang berkuasa atau yang mengendalikan situasi.
Keempat, Oposisi dan perubahan. Langkah keempat ini merupakan akibat dari legitimasi dan pengorganisasian. Ketika kekuasaan terletak pada tangan satu orang, proses timbal balik dalam pertukaran sosial mungkin menghasilkan suatu penyeimbangan terhadap berbagai kekuatan yang ada serta suatu ketegangan menuju keseimbangan dalam tata hubungan masyarakat. Di samping itu muncul pada kekacauan sebagai ongkos sosial yang harus dibayar karena terjadi ketidakseimbangan dalam tata hubungan masyarakat. akhirnya hal itu menggiring munculnya oposisi, konflik dan perubahan sosial. Al hasil, aktivitas yang serentak dari bermacam kekuatan penyeimbang cenderung memproduksi ketidakseimbangan dalam kehidupan sosial, menghasilkan sebuah dialektika terus-menerus antara ketimbalbalikan dan ketidakseimbangan. Pertukaran menggiring kedua hal struktur dan prosesi, serta statis dan dinamis.[30]
Sebagaimana yang diutarakan di atas, bahwa tipologi Blau berupaya mempresentasikan sebuah model realitas sosial yang terdiri dari elemen-elemen sebagai berikut: individu yang dipengaruhi oleh perilaku sosial dan motivasi mencari imbalan. Kemudian terjadilah proses pertukaran sosial, diferensiasi yang dihasilkan antara status dan kekuasaan, serta organisasi dan legitimasinya yang menghasilkan keseimbangan (equilibrium). Selanjutnya ketidak seimbangan menggiring munculnya oposisi dan perubahan serta menghasilkan dinamika sosial.

Gambaran Hukum 4 Tahap dalam Mikrostruktur ke Makrostruktur
Pada tingkat individu –mikrostruktur- Blau[31] tertarik pada konsep pertukaran sosial yang terjadi pada tindakan yang tergantung pada reaksi pemberian reward dari orang lain di mana tindakan individu ini akan segera berhenti jika reaksi yang tak diharapkan tidak terpenuhi. Seorang saling tertarik karena berbagai alasan yang membujuk untuk membangun kelompok sosial. Segera setelah ikatan awal terbantuk, reward yang saling mereka berikan akan membantu mempertahankan dan meningkatkan ikatan. Situasi sebaliknya mungkin juga dapat terjadi karena reward tidak mencukupi, ikatan kelompok melemah atau bahkan hancur. Oleh sebab itu jika terjadi ketimpangan dalam pertukaran reward, maka akan timbul perbedaan dalam kelompok.
Selanjutnya jika seseorang membutuhkan sesuatu dari orang lain, tetapi tidak memberikan apapun yang sebanding sebagai tukarnya, maka menurut Blau terdapat empat kemungkinan yang terjadi : a) orang itu dapat memaksa orang lain untuk membantunya; b) orang itu akan mencari sumber lain untuk memenuhi kebutuhannya; c) orang itu dapat mencoba terus bergaul dengan baik tanpa mendapatkan apa yang dibutuhkannya dari orang lain; dan d) orang itu mungkin akan menundukkan diri terhadap orang lain dan dengan demikian memberikan orang lain itu penghargaan yang sama dalam antar hubungan mereka, dan kemudian dapat menarik penghargaan yang diberikan itu ketika menginginkan orang yang ditundukkan itu melakukan sesuatu –ciri kekuasaan.[32]
Dalam interaksi sosial pada mulanya terjadi di dalam kelompok sosial. Individu tertarik pada satu kelompok tertentu karena merasa bahwa saling berhubungan dapat menawarkan reward lebih banyak dari pada yang ditawarkan kelompok lain. Karena ketertarikan itu ia ingin diterima. Untuk dapat diterima mereka harus menawarkan reward kepada anggota kelompok yang lain. Reward ini merupakan simbol yang dapat menunjukkan kesan kepada anggota kelompok bahwa anggota yang bergabung dengan orang baru akan mendapat keuntungan hingga akhirnya hubungan ini menjadi kuat. Dari upaya ini kemudian mengakibatkan persatuan kelompok, kemudian persaingan dan akhirnya diferensiasi sosial. Sebab akan terjadi perebutan kesan yang diberikan oleh anggota kepada kelompoknya sesuai dengan kemampuan mereka untuk menawarkan reward.
Pada tahap awal pembentukan kelompok persaingan untuk mendapatkan penghargaan sosial di kalangan anggota kelompok sebenarnya berperan sebagai tes untuk menyaring pemimpin kelompok yang potensial. Orang yang mampu memberikan reward terbaik, paling besar peluangnya untuk menempati posisi pemimpin. Orang yang kurang mampu memberikan reward ingin terus menerima reward yang ditawarkan oleh pemimpin potensial, dan ini biasanya lebih dari pengganti kerugian atas kehawatiran mereka akan menjadi tergantung pada calon pemimpin itu. Dan pada akhirnya individu yang lebih besar kemampuannya memberi reward akan tampil sebagai pemimpin dan kelompok pun kemudian terdiferensiasi.
Selanjutnya diferensiasi tak dapat terhindarkan dalam kehidupan kelompok sehingga menjadi pemimpin dan pengikut menimbulkan kebutuhan baru akan integrasi. Segera setelah mereka mengakui status pemimpin kebutuhan pengikut akan integrasi semakin besar juga. Mulanya pengikut akan memamerkan kualitas mereka yang paling mengesankan. Kini untuk mencapai integrasi dengan anggota pengikut, pemimpin mempertontonkan kelemahannya. Dalam hal ini ia menyatakan kepada publik bahwa mereka tak ingin lagi menjadi pemimpin. Pencelaan diri ini kemudian menimbulkan simpati dan dukungan sosial dari pemimpin yang lain. Pemimpinpun kemudian terlibat dalam pencelaan diri sendiri pada saat ini untuk meningkatkan integrasi kelompok secara menyeluruh. Dengan pengakuan tersebut maka pemimpin mengurangi kesenjangan bawahannya dan menunjukkan bahwa ia tidak berupaya untuk mengendalikan setiap bidang kehidupan kelompok. Jenis kekuatan ini membantu mengintegrasikan kelompok kembali meski diferensiasi status baru muncul.
Blau kemudian bergerak pada pembahasan kemasyarakatan –makrostruktur- yang kemudian dibedakan antara dua jenis organisasi sosial. Organisasi sosial jenis pertama lahir dari proses pertukaran dan persaingan yang dibahas di atas. Jenis organisasi sosial kedua tak muncul begitu saja, tetapi disengaja didirikan untuk mencapai keuntungan optimal. Dalam kedua jenis organisasi sosial ini terdapat kelompok pemimpin dan kelompok oposisi di dalamnya. Pada jenis organisasi sosial yang pertama kedua sub kelompok itu lahir dari proses interaksi. Sedangkankan jenis organisasi sosial kedua, kelompok pemimpin dan kelompok oposisi dibangun dalam struktur organisasi. Diferensiasi antar kelompok-kelompok dalam kedua jenis organisasi sosial itu merupakan fakta yang tak terelakkan dan meletakkan landasan untuk beroposisi dan konflik dalam organisasi antara pemimpin dan pengikut.

Nilai dan Norma
Menurut Blau mekanisme yang menegahi antara struktur sosial yang kompleks itu adalah norma dan nilai atau yang disebut dengan value concensus. Konsensus atas nilai dan norma digunakan sebagai media kehidupan sosial dan sebagai matarantai yang menghubungkan transaksi sosial. Nilai dan norma memungkinkan pertukaran sosial tak langsung dan menentukan proses integrasi dan diferensiasi sosial dalam struktur sosial yang kompleks dan menentukan perkembangan organisasi dan reorganisasi sosial di dalamnya.[33] Dalam mekanisme ini konsensus nilai mengganti pertukaran tak langsung dengan pertukaran langsung. Seorang anggota menyesuaikan diri dengan norma kelompok dan mendapat persetujuan karena penyesuaian dari itu dan mendapat persetujuan implisit karena kenyataan bahwa penyesuaian diri memberikan kontribusi atas pemeliharaan dan stabilitas sosial. Dalam hal inilah kelompok dengan individu terlibat dalam suatu hubungan pertukaran.
Blau mengutarakan empat tipe nilai: a) nilai-nilai yang bersifat khusus berfungsi sebagai media bagi kohesi dan solidaritas sosial; b) ukuran-ukuran tentang pencapaian dan bantuan sosial yang bersifat umum melahirkan sistem stratifikasi sosial; c) nilai-nilai yang disahkan itu merupakan medium pelaksanaan wewenang dan organisasi usaha-usaha sosial berskala besar untuk mencapai tujuan-tujuan kolektif; dan d) gagasan-gagasan oposisi adalah media reorganisasi dan perubahan, oleh karena itu hal ini dapat menimbulkan dukungan bagi gerakan oposisi dan memberi legitimasi bagi kepemimpinan mereka.[34]
Sedangkan konsep norma menurut Blau mengalihkan perhatiannya ketingkat pertukaran antara individu dan kelompok, tetapi konsep nilai mengalihkan perhatiannya ke tingkat kehidupan kemasyarakatan pada skala terluas dan ke upaya menganalisis hubungan antara kolektivitas. nilai ini membantu mempersatukan anggota kelompok berkenaan dengan sesuatu hal. Nilai ini dipandang sebagai kesamaan perasaan ditingkat kolektif yang mempersatukan individu atas hubungan tatap muka. Namun nilai ini dapat memperluas ikatan pergaulan melampaui batas daya tarik personal belaka. Nilai partikularistik ini juga membedakan orang menjadi dua golongan, yakni yang termasuk anggota kelompok dan yang bukan termasuk anggota kelompok. Oleh karena itu nilai dapat meningkatkan fungsi mempersatukannya.[35] Unit analisis Blau memusatkan perhatian pada faktor yang mempersatukan unit-unit sosial pada tingkat skala luas dan faktor yang memisahkannya kedalam bagian-bagian kecil yang jelas menjadi sasaran perhatian pakar fakta sosial tradisional.

E.            Gambaran Umum Lokasi Kajian
1.             Memahami Demografi dan Geografi Desa Pangkah Kulon
Desa Pangkah Kulon merupakan sebuah Desa yang masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Ujung Pangkah, Kabupaten Gresik, Provinsi Jawa Timur. Desa ini dibagi menjadi 4 (empat) Dusun yaitu Dusun Krajan 1, Dusun Krajan 2, Dusun Kalingapuri dan Dusun Druju, dari 4 Dusun tersebut dibagi menjadi 11 RW dan 42 RT. Sedangkan Secara geografis sebelah barat Desa Pangkah Kulon berbatasan dengan Desa Banyu Urip, di sebelah Timur berbatasan dengan Desa Pangkah Wetan, disebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa, dan sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Kebon Agung.
Berdasarkan data monografi desa pada bulan Desember 2012 bahwa secara umum desa Pangkah Kulon memiliki luas tanah 1.976.91 Ha yang meliputi tanah sawah seluas 1,51 Ha, tanah kering 143.31 Ha, tanah pekarangan 60,09 Ha, tanah basah 1.671.90 Ha, tanah fasilitas umum 60.00 Ha, tanah tempat pemukiman desa 5.00 Ha, bangunan sekolah 2.50 Ha, pertokoan 1.75 Ha, fasilitas pasar 0.50 Ha, jalan 3.85 Ha dan tanah hutan 25.00 Ha.
Dilihat dari kondisi geografis, desa Pangkah Kulon memiliki ketinggian tanah dari permukaan air laut sekitar 2 Mdl, dengan suhu rata-rata harian 320 C dan curah hujan 1000 Mm, serta jumlah bulan hujan 6 bulan dengan bentang wilayah datar dan tepi pantai (pesisir).
Desa Pangkah Kulon merupakan daerah pantai atau pesisir bebas banjir yang mana jarak desa ke ibu kota kecamatan terdekat sekitar 0,3 Km. Untuk menjangkaunya akan menghabiskan waktu 5 menit jika dengan kendaraan bermotor dan jika dengan berjalan kaki 15 menit. Sedangkan jarak ke ibu kota kabupaten terdekat 30 Km dengan lama tempuh dengan kendaraan bermotor 1 jam. Jarak ke ibu kota provinsi 50 Km dengan jarak tempuh ke ibu kota provinsi dengan kendaraan bermotor menghabiskan waktu kurang lebih 2 jam.
Menurut data kependudukan tahun 2012 jumlah penduduk Desa sekitar 2.190 KK yang terdiri dari 4061 jiwa laki - laki, dan 4010 jiwa perempuan (50,31 % laki – laki dan 49,68 % ), sedangkan sebaran penduduknya, di Dusun Krajan 1 terdiri dari 1022 jiwa laki-laki dan 1467 jiwa perempuan, di Dusun Krajan 2 terdiri dari 1483 jiwa laki-laki dan 1467 jiwa perempuan, di Dusun Kalingapuri terdiri dari 334 jiwa laki-laki, dan 319 jiwa perempuan, dan Dusun Druju terdiri dari 1222 jiwa laki-laki dan 1232 jiwa perempuan.

2.             Kondisi Ekonomi, Sosial dan Politik Masyarakat Desa Pangkah Kulon
Dilihat dari tingkat ekonominya masyarakat Desa Pangkah Kulon termasuk desa yang memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi. Dari jumlah 2.190 KK di atas, sejumlah 285 KK tercatat sebagai Pra Sejahtera, 637 KK tercatat Keluarga Sejahtera I, 679 KK tercatat Keluarga Sejahtera II, 394 KK tercatat Keluarga Sejahtera III, 16 KK sebagai sejahtera III plus.[36] Jika KK golongan Pra-sejahtera dan KK golongan KS I digolongkan sebagai KK golongan miskin, maka lebih 45% KK Desa Pangkah Kulon adalah keluarga miskin. Hal ini disebabkan ketidakberdayaan masyarakat dalam mengelola potensi sumber daya dan ketidaksiapan sumber daya manusia menerima pemberdayaan.[37]
Mayoritas masyarakat Desa Pangkah Kulon bekerja sebagi nelayan dan petani tambak, hal itu dikarenakan lokasi Desa yang berdekatan dengan laut sehingga penggunaan lahan di Desa Pangkah Kulon sebagian besar diperuntukkan sebagai tambak dan pertanian. Namun hal ini tidak lantas membawa dampak yang signifikan terhadap perekonomian masyarakat, hal itu disebabkan sebagian besar nelayan di Desa ini tidak mempunyai sarana sendiri –Perahu, dll- sehingga dengan kondisi tersebut mereka harus menjual hasil tangkapannya kepada pemilik kapal/ perahu dengan harga yang sudah ditentukan oleh juragan –perahu- yang sudah pasti harga tersebut jauh lebih murah dari harga yang ada di pasaran.
Dengan kondisi tersebut membuat perekonomian nelayan di Desa Pangkah Kulon memprihatinkan, karena untuk bisa menyediakan makanan bagi keluarganya kaum Ibu tidak jarang harus menunggu suami pulang dari melaut dan mejual hasil laut terlebih dahulu.
Untuk membantu perekonomian keluarga maka banyak Ibu-Ibu yang membuka usaha, baik mengolah hasil laut maupun usaha dibidang lain. Beberapa usaha yang dijalankan Ibu di Desa ini antara lain : pracangan, jual pulsa, membuat dan menjual krupuk ikan, membuat dan menjual kue gapit dan opak, membuat petis, membuat terasi, jual nasi (warung)/ gorengan, penjahit, isi ulang air galon, dagang ikan segar, jual bensin dan rokok, tukang kredit barang/ mendreng.[38]
Di samping program–program dari pemerintah yang diperuntukkan untuk menanggulangi kemiskinan. Saat ini ada satu perusahaan yang peduli dengan kondisi masyarakat Desa Pangkah Kulon yaitu HESS, sebuah perusahaan yang bergerak dalam eksploirasi minyak. Perusahaan ini banyak membantu masyarakat dalam meningkatkan kapasitas SDM dan perekonomian lewat pemberian dana hibah yang diperuntukkan buat simpan pinjam pelatihan-pelatihan manajemen kantor untuk karang taruna, pelatihan guru, dan pelatihan perempuan seperti tata boga, pengembangan membuat ketrampilan, dan sebagainya.[39]

Tabel 2.1
Mata Pencaharian Masyarakat Pangkah Kulon
(Sumber : Profil Desa Pangkah Kulon 2012)

No.
Mata Pencaharian Pokok
Jumlah
Lk
Pr
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
Petani
Buruh tani
Buruh migran
PNS
Pengrajin industri rumah tangga
Pedagang keliling
Peternak
Nelayan
Montir
Dokter swasta
Bidan swasta
Perawat swasta
Pembantu rumah tangga
TNI
POLRI
Pensiunan PNS/TNI/POLRI
Pengusaha kecil dan Menengah
Dosen/ Guru swasta
Arsitek
Karyawan Perusahaan Swasta
Karyawan perusahaan Pemerintah
Buruh nelayan
Ojek
301
222
86
23
1
18
5
685
19
1
-
-
2
3
1
10
202
95
2
126
6
179
12
25
32
39
18
9
29
-
-
-
1
3
5
35
-
-
-
211
103
-
19
2
4
-

Penduduk usia produktif pada usia 20-49 tahun Desa Pangkah Kulon terdapat sekitar 4.3006 atau hampir 51,8%. Hal ini merupakan modal berharga bagi pengadaan tenaga produktif dan SDM. Namun dalam kenyataannya pada aspek usia tenaga kerja, mulai dewasa, remaja dan anak-anak hampir semuanya terlibat dalam kerja produktif.

Tabel 2.2.
Usia Tenaga Kerja
(Sumber : Profil Desa Pangkah Kulon 2012)

No.
Tenaga Kerja
Laki-laki
Perempuan
1.
Penduduk usia 18-56 tahun
2.603
2.528
2
Penduduk usia 18-56 tahun yang bekerja
1.678
1.360
3
Penduduk usia 18-56 tahun yang belum atau tidak bekerja
925
1.168
4
Penduduk usia 0-6 tahun
926
896
5
Penduduk masih sekolah 7-18 tahun
213
281
6
Penduduk usia 56 tahun ke atas
303
405

Dilihat dari aspek sosial, masyarakat desa Pangkah Kulon merupakan masyarakat yang memiliki karakteristik sebagai masyarakat homogen. Hal ini sesuai dengan letak georgrafis desa sebagai daerah pesisir dan pedesaan yang memiliki kecenderungan dan karakter individu yang sama. Sebagai masyarakat pesisir, masyarakat Pangkah Kulon memiliki rasa kekeluargaan dan rasa gotong royong yang kuat. Sehingga masyarakat Pangkah Kulon memiliki rasa solidaritas tinggi terhadap kelompoknya.[40]
Sedangkan pada aspek politik masyarakat Pangkah Kulon sangat aktif, hal itu bisa dilihat pada tabel mengenai tingkat partisipasi politik masyarakat desa Pangkah kulon, yang dimulai dari pemilihan Kepala Desa, Gubernur, Bupati, Legislatif, bahkan sampai tingkat pemilihan Presiden.

Tabel 2.3.
Tingkat Partisipasi Politik
(Sumber : Profil Desa Pangkah Kulon 2012)

Tingkat Partisipasi
Politik
Pemilu
Kepala
Desa
Pemilu
Kepala
Gubernur
Pemilu
Kepala
Kabupaten
Pemilu
Kepala
Parlemen
Pemilu
Presiden
Jumlah wanita
yang memiliki
hak pilih
2553
2770
2907
2776
2707
Jumlah wanita
yang memilih
2548
2723
2825
2778
2731
Jumlah pria yang
memiliki hak
pilih
2170
2354
2246
2359
2334
Jumlah pria yang
Memilih
2165
2357
2147
2236
2321

3.             Kondisi Pendidikan Masyarakat Desa Pangkah Kulon
Dari jumlah masyarakat di atas mayoritas penduduk yang usianya 35 tahun ke atas kebanyakan berpendidikan SMP dan sedikit SMA, sedangkan yang usia 35 ke bawah saat ini sudah ada beberapa yang lulusan S1 dan beberapa orang yang saat ini menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi. Namun demikian menurut data dari Desa ternyata angka putus sekolah pada anak usia sekolah (wajib belajar) masih cukup tinggi.[41]





Tabel 2.4.
Tingkat Pendidikan Masyarakat Pangkah Kulon
(Sumber : Profil Desa Pangkah Kulon 2012)

No.
Tingkat Pendidikan Penduduk
Jumlah
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
Usia 3-6 yang belum masuk TK
Usia 3-6 tahun yang sedang TK/Playgroup
Usia 7-18 tahun yang sedang sekolah
Usia 18-56 tahun yang tidak pernah sekolah
Usia 18-56 tahun yang pernah SD tapi tidak tamat
Tamat SD/sedarajat
Jumlah usia 12-56 tahun tidak tamat SLTP
Jumlah usia 18-56 tahun tidak tamat SLTA
Tamat SMP/sedarajat
Tamat SMA/sederajat
Tamat D-1/sedarajat
Tamat D-2/ sedarajat
Tamat D-3/ sedarajat
Tamat S-1/sedarajat
Tamat S-2/ sedarajat
Tamat SLB A
Tamat SLB B
102
289
1624
42
194
1696
285
275
1101
1534
17
22
40
335
7
2
3

Di sisi lain, sarana dan prasarana pendidikan di desa Pangkah Kulon juga kurang representatif. Baik sarana prasarana pendidikan maupun sarana dan prasarana pendidikan islam bagi masyarakat.

Tabel 2.5.
Sarana dan Prasarana Pendidikan Umum
(Sumber : Profil Desa Pangkah Kulon 2012)

No.
Prasarana Pendidikan
Jumlah
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Playgroup
TK (Taman Kanak-kanak)
SD/Sederajat
SMP Sederajat
SMA/sederajat
PTN
PTS
SLB
7
4
2
1
1
-
-
1

Tabel 2.6.
Sarana dan Prasarana Pendidikan Islam
(Sumber : Profil Desa Pangkah Kulon 2012)

No.
Sekolah Islam
Jumlah
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Raudhatul Athfal
Madrasah Ibtidaiyah
Madrasah Tsanawiyah
Madrasah Aliyah
Ponpes
Perguruan Tinggi
2
3
1
1
2
-

4.             Riwayat Anak Putus Sekolah –Agus
Agus lahir di Gresik pada tanggal 05 Mei 1995 dari pasangan suami istri yang bernama Zaini dan Nur. Dia tinggal bersama orang tuanya di dusun Druju desa Pangkah Kulon kecamatan Ujung Pangkah. Pada aspek pendidikan, Agus menempuh sekolah dasar di Madrasah Ibtida’iyah (MI) Al Muniroh Ujung Pangkah dan kemudian melanjutkan pendidikan di Madrasah yang sama pada tahun 2011.
Namun setelah lulus dari MTs Al Muniroh Ujung Pangkah Agus tidak mau melanjutkan sekolah pada jenjang SMA. Penyebabnya adalah dia jenuh dengan sekolah yang ada di desanya –Al Muniroh. Sebab dia berkeinginan menghindari pergaulan dengan teman-temannya yang ada di desa yang selalu mengajak –dengan sedikit memaksa- mbolos sekolah ketika MTs dulu. Oleh karena itu dia meminta sekolah di SMK Assa’adah yang berada di desa Bungah agar mendapat teman baru yang lebih baik sehingga dia bisa serius untuk belajar. Selain itu dia memilih sekolah di SMK adalah karena dia punya keinginan dapat mengendarai mobil sehingga suatu saat dia berharap dapat menjadi sopir. Tetapi orang tuanya tidak mengehendaki Agus untuk sekolah di SMK Assa’adah Bungah yang disebabkan selain ketiadaan kendaraan transportasi –sepeda motor- juga disebabkan ketiadaan biaya untuk membiayai sekolah Agus yang cenderung lebih mahal dari pada sekolah di Al Muniroh Ujung Pangkah.
Oleh karenanya Agus lebih memilih tidak sekolah dari pada sekolah di SMA Al Muniroh yang menyebabkan dia tidak dapat serius belajar karena pergaulan teman-temannya yang cenderung negatif seperti membolos sekolah, nongkrong di warung kopi hingga larut malam dan sebagainya. Menurut Agus menghindari pergaulan dengan teman-teman satu desa merupakan hal yang sangat sulit, sebab teman-temannya selalu menuntut agar selalu mengikuti semuan ajakan kelompok teman-temannya tanpa terkecuali. Sebab jika tidak dituruti, maka Agus akan dimusuhi dan mendapatkan perilaku kekerasan dari kelompok teman-temannya.
Untuk itu agus lebih memilih untuk tidak sekolah dari pada menghabiskan biaya sekolah dari orang tuanya, sedangkan agus sendiri tidak serius dalam sekolahnya. selain itu agus ingin aman dari ancaman dan perilaku kekerasan dari kelompok teman-temannya.
Selain itu, dalam pandangan masyarakat desa Pangkah Kulon, seorang anak putus sekolah merupakan hal yang biasa atau lumrah, sehingga tingkat kepedulian masyarakat terhadap pendidikan begitu rendah, sebab masyarakat memandangan sekolah tidaklah begitu penting, begitu pula dengan stakeholder desa Pangkah Kulon. Sebab pendidikan di percaya belum dapat merubah tingkat kesejahteraan masyarakat menjadi lebih baik.
Sejak kecil Agus agus berteman dengan teman-teman komunitasnya hingga saat ini. Teman-temannya antara lain Aziz, Badrut, Rizal, Jacky, Ulum, Rozak dan beberapa teman-teman lainnya. Aktivitas yang dilakukan Agus dalam pergaulannya dengan komunitas antara lain ngopi, olahraga Volly, cangkruk, bermain kartu, bermain chess dan sebagainya.
Sejak tamat MTs Al Muniroh Ujung Pangkah hingga saat ini, Agus masih menekuni pekerjaannya sebagai pencari ikan dan kepiting di tambak –buri/ miyang- dari pada menganggur di rumah. Dalam bekerja dia membantu ayahnya –Zaini- yang juga memiliki pekerjaan yang sama agar dapat membantu meringankan beban pekerjaan ayahnya untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Pada aspek penghasilannya baik sebelum maupun sesudah dibantu Agus dalam bekerja pendapatan yang diperoleh tetap sama, yaitu rata-rata sekali kerja mendapatkan keuntungan Rp 50.000 per sekali miyang. Selain berharap dapat membantu meringankan pekerjaan dia juga berharap dari penghasilan itu dapat digunakan untuk membeli motor agar dapat dipakai saat bekerja.
Dalam aktivitas kesehariannya, mulai jam 08.00–12.00 Agus berkumpul dengan teman-temannya di Warung Kopi, kemudian pada jam 12.00-15.00 dia istirah di rumah, jam 15.00-18.00 dia bermain volly di lapangan volly di dekat rumahnya bersama teman-temannya, jam 18.00-19.30 dia bersama orang tuanya menyiapkan alat-alat untuk miyang, pada jam 19.30-24.00 dia bersama orang tuang berangkat ke tambak untuk miyang, dan pada jam 24.00-08.00 Agus tidur. Dan aktivitas ini dilakukan Agus secara berulang-ulang dan terus menerus hingga saat ini.[42]

F.             Perspektif Anak Putus Sekolah dan Proses Pertukaran Sosial
1.             Tahap Pertukaran Sosial Anak Putus Sekolah dengan Komunitasnya (Tahap Mikrostruktur menuju Makrostruktur)
Dalam pertukaran sosial, Agus membangun relasi dengan komunitasnya karena dia memperoleh reaksi dari komunitasnya dalam bentuk pemberian reward. Reward yang diperoleh Agus dari komunitasnya ialah dalam bentuk non material seperti banyak teman, penghargaan, rasa kekeluargaan, saling bantu-membantu, tidak kesepian, dan rasa aman. Dari reward itulah Agus tertarik untuk bergabung dengan komunitasnya.
Setelah bergabungnya Agus dalam komunitas tersebut, Agus dan anggota komunitas tersebut saling memberikan reward antara satu anggota dengan yang lain untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas persahabatan dan pertemanan dalam komunitas mereka. Dalam tahap selanjutnya, situasi sebaliknya terjadi, Agus merasa reward yang mereka berikan tidak sesuai dengan apa yang Agus harapkan, sebab dalam interaksinya dalam komunitas itu Agus sering diajak untuk melakukan hal-hal negatif seperti, membolos sekolah, ngopi hingga larut malam, dan beberapa perilaku lainnya yang sesungguhnya tidak diharapkan oleh Agus sendiri. Bagi Agus ajakan tersebut tidak dapat terhindarkan, sebab jika tidak menuruti segala ajakan dari komunitasnya Agus merasa mendapat ancaman dan bahaya dari komunitasnya. Sehingga Agus memilih untuk mengikuti segala tuntutan dan ajakan komunitasnya agar dia aman dari ancaman dan tindakan kekerasan dari anggota komunitasnya. Dari proses inilah kemudian terjadi ketimpangan dalam pertukaran reward antara Agus dan anggota dalam komunitasnya sehingga timbul perbedaan dalam komunitas.
Dalam kaitannya pengambilan keputusan Agus untuk memilih mengikuti ajakan dan tuntutan teman-temannya, Agus memilih kemungkinan yang ketiga dalam teori pertukaran sosial peter Blau sebagai reaksi ketika Agus tidak memperoleh reward yang sebanding dengan cost yang dikeluarkan. Keputusannya yaitu, mencoba terus bergaul dengan baik tanpa mendapat apa yang dibutuhkannya dari orang lain.
Dari keputusan Agus ini kemudian muncul pertanyaan, mengapa Agus tidak memutuskan memilih kemungkinan pertama,[43] kedua,[44] atau keempat[45] berdasarkan kemungkinannya Blau. Jika Agus memilih memutuskan kemungkinan pertama, maka Agus akan dimusihi dan mendapatkan ancaman kekerasan fisik dari komunitasnya, selain itu Agus juga tidak mau kehilangan teman. Untuk kemungkinan kedua sesungguhnya adalah pilihan Agus yang utama, tujuannya adalah untuk mengurangi cost –tidak serius sekolah, menuruti ajakan teman, dan sebagainya- yang diberikan Agus kepada komunitasnya dengan cara memilih melanjutkan sekolah ke SMK Assa’adah Bungah. Dengan sekolah di sekolah tersebut Agus berharap terhindar dari pergaulan dengan komunitasnya yang cenderung mengajak pada perilaku negatif dan mengganti komunitasnya di SMK Bungah. Dia di sana akan mendapat komunitas baru yang dapat memberikan reward kepada Agus berupaka kesempatan untuk belajar dan sekolah dengan serius. Sedangkan jika Agus memilih kemungkinan keempat, hanya bisa dilakukan Agus sebagiannya saja,[46] dan sebagian yang lain tidak dapat dilakukan Agus karena akan beresiko yang sama sebagaimana kemungkinan yang pertama.
Dalam interaksi antara Agus dan komunitasnya, pada mulanya Agus tertarik dengan komunitas kelompok yang beranggotakan Aziz, Badrut, Rizal, Jacky, Ulum, Rozak dan beberapa teman-teman lainnya. Alasan ketertarikan agus dengan komunitas itu ialah karena komunitas itu dapat memberikan reward yang berupa penghargaan, rasa kekeluargaan, saling bantu-membantu, kesetia kawanan, menghilangkan kesepian, dan rasa aman yang menurut Agus reward itu lebih banyak yang ditawarkan daripada komunitas pertemanan yang lain.
Agar dapat diterima dalam komunitas tersebut, Agus menawarkan reward kepada anggota komunitasnya dalam bentuk kesetiakawanan dan loyalitas terhadap komunitas. Reward yang diberikan oleh agus kepada komunitasnya merupakan simbol yang dapat memberikan kesan kepada anggota komunitasnya bahwa Agus bergabung dengan komunitas itu akan memberikan banyak manfaat bagi komunitas hingga akhirnya komunitas pertemanan ini semakin hari semakin kuat.
Dari upaya Agus ini dan anggota komunitasnya ini kemudian mengakibatkan persatuan komunitas pertemanan menjadi kuat. Setelah itu dalam perkembangannya terjadi persaingan antar anggota komunitas, sebab di dalam komunitas tersebut terjadi perebutan kesan antara satu anggota dengan anggota yang lain dalam komunitasnya sesuai dengan kemampuan masing-masing anggota untuk menawarkan reward kepada komunitasnya. Dari persaingan inilah kemudian terjadi diferensiasi dalam komunitas.
Pada ahap awal pembentukan komunitas, persaingan Agus untuk mendapat penghargaan sosial dikalangan anggota komunitasnya sebenarnya berperan sebagai tes dalam menyaring pemimpin potensial dalam komunitas. Tetapi agus gagal dalam memberikan kesan kepada anggota kemunitasnya bahwa ia merupakan calon pemimpin komunitas yang potensial yang disebabkan keterbatasan Agus dalam beberapa aspek, terutama ekonomi. Sebab dalam realitasnya Agus tidak memiliki motor sehingga sering kali minta dobonceng oleh anggota komintasnya ketika bepergian kemanapun. Inilah kemudian yang menjadi alasan kuat kenapa Agus ingin sekali punya motor sendiri. Selain ketiadaan motor, Agus merupakan anak yang hidup dalam keluarga yang miskin. Padahal salah satu indikator pemimpin potensial dalam komunitasnya ialah selain loyalitas calon pemimpin haruslah orang yang royal. Artinya ia harus mampu mengeluarkan uangnya untuk membiayai segala aktivitas dalam komunitasnya. Dan tentu saja indikator ini berat untuk diwujudkan oleh Agus. Sehingga peluangnya untuk menempati posisi pemimpin komunitas menjadi kecil karena tidak bisa menawarkan reward yang terbaik.
Sehingga dalam kondisi yang seperti ini, Agus hanya bisa menerima reward yang ditawarkan oleh pemimpin potensial, yaitu Aziz. Penerimaan reward oleh agus ini merupakan kompensasi atas kerugian dan kekhawatiran Agus akan terjadi ketergantungan terhadap pemimpin komunitas –Aziz.[47] Dan pada akhirnya Aziz menjadi pemimpin komunitas dan komunitaspun kemudian terdiferensiasi.
Selanjutnya dari terjadinya diferensiasi dalam komunitas, maka pemimpin –Aziz- dan anggota komunitas yang salah satunya Agus menimbulkan kebutuhan terhadap integrasi komunitas. Namun dalam prosesnya berbeda sebagaimana yang digambarkan oleh Blau yang menyatakan bahwa “diferensiasi tak dapat terhindarkan dalam kehidupan kelompok sehingga menjadi pemimpin dan pengikut menimbulkan kebutuhan baru akan integrasi. Segera setelah mereka mengakui status pemimpin kebutuhan pengikut akan integrasi semakin besar juga. Mulanya pengikut akan memamerkan kualitas mereka yang paling mengesankan. Kini untuk mencapai integrasi dengan anggota pengikut, pemimpin mempertontonkan kelemahannya. Dalam hal ini ia menyatakan kepada publik bahwa mereka tak ingin lagi menjadi pemimpin. Pencelaan diri ini kemudian menimbulkan simpati dan dukungan sosial dari pemimpin yang lain. Pemimpinpun kemudian terlibat dalam pencelaan diri sendiri pada saat ini untuk meningkatkan integrasi kelompok secara menyeluruh. Dengan pengakuan tersebut maka pemimpin mengurangi kesenjangan bawahannya dan menunjukkan bahwa ia tidak berupaya untuk mengendalikan setiap bidang kehidupan kelompok”.[48]
Agus dan pemimpin komunitas –Aziz- membutuhkan integrasi komunitas, tetapi dalam hal ini Agus-lah yang justru menjadi korban kepentingan integrasi komunitasnya. Kebutuhan Agus terhadap integrasi muncul pasca keinginannya untuk sekolah ke SMK Assa’adah Bungah tidak terpenuhi.
Aziz –pemimpin komunitas- justru tidak pernah mempertontonkan kelemahannya kepada anggota komunitas bahkan kepada Agus. Tetapi Aziz mempertontonkan superioritas dan dominasinya terhadap anggota komunitasnya termasuk Agus dengan menyuguhkan reward-reward yang dapat diberikan oleh Aziz kepada anggotanya sesuai dengan kebutuhan mereka, dan hal inilah yang kemudian memperoleh simpati dan dukungan sosial dari anggotanya. Dari hal inilah kemudian anggota berusaha mengurangi kesenjangannya dengan pemimpin komunitas. Dan mungkin hanya Agus-lah yang berusaha resisten terhadap pemimpin komunitasnya. Akan tetapi karena keinginannya untuk keluar dari komunitasnya dan mencari komunitas baru di luar –bungah- tidak terfasilitasi, maka Agus hanya bisa tunduk pada kehendak dan keinginan komunitasnya. Dan pada akhirnya Aziz-lah yang mengendalikan setiap bidang kehidupan komunitas. Dan situasi ini terjadi hingga saat ini.
Dari ilustrasi di atas menunjukkan bahwa makrostruktur –komunitas- yang digeluti oleh Agus merupakan organisasi sosial jenis pertama sebagaimana teorinya Blau. Komunitas ini lahir dari proses pertukaran dan persaingan antar anggota komunitas yang lahir dari proses interaksi.

2.             Konvensi Nilai dan Norma dalam Komunitas
Di dalam struktur kompleks dalam komunitas yang diikuti oleh Agus terdapat nilai-nilai yang disepakati bersama. Nilai-nilai itu antara lain: kekeluargaan, loyalitas, saling membantu, kesetiakawanan, dan kebersamaan. Kesepakatan antara nilai dan norma mereka gunakan sebagai media kehidupan antar anggota komunitas dan sebagai mata rantai yang menghubungkan transaksi antar anggota. Nilai dan norma inilah yang kemudian memungkinkan pertukaran sosial tak langsung dan menentukan proses integrasi dam diferensiasi dalam komunitas yang kompleks dan menentukan perkembangan komunitas dan reorganisasi di dalam komunitas.
Dalam konsep ini kesepakatan nilai dapat mengganti pertukaran langsung dengan pertukaran tidak langsung dalam komunitas. Agus berusaha menyesuaikan diri dengan norma komunitas dan kemudian mendapatkan persetujuan karena penyesuaian dirinya terhadap komunitas. Agus kemudian mendapat persetujuan secara implisit dari komunitasnya karena dalam kenyataannya penyesuaian diri Agus terhadap komunitasnya dapat memberikan kontribusi nyata terhadap pemeliharaan dan stabilitas sosial dalam komunitas. Sehingga dalam hal ini Agus dan komunitas terlibat dalam suatu hubungan pertukaran.
Sebagaimana empat tipe nilai dalam teorinya Blau, kesepakatan nilai dalam komunitas yang diikuti hanya terjadi dalam tiga tipe nilai, Pertama, nilai-nilai yang khusus disepakati oleh komunitas dan Agus berfungsi sebagai media bagi kohesi dan solidaritas sosial. Kedua, ukuran-ukuran tentang pencapaian dan bantuan sosial yang dibangun dan dipertukarkan dalam komunitas telah berhasil menciptakan stratifikasi sosial di dalam komunitas. Ketiga, nilai-nilai yang disepakati dan disahkan itu merupakan medium dalam pelaksanaan wewenang dan komunitas dalam melakukan usaha-usaha sosial dalam skala besar untuk mencapai tujuan bersama. Keempat, gagasan oposisi yang terbangun merupakan media reorganisasi dan perubahan, meskipun yang terjadi dalam komunitas yang diikuti oleh Agus dalam penyelesaian oposisi dan mewujudkan reorganisasi dan perubahan tidak sesuai dengan apa yang digambarkan oleh Blau, tetapi telah berhasil dalam memberikan legitimasi dalam kepemimpinan Aziz. 
Konsep nilai yang disepakati dalam komunitas merupakan kesamaan perasaan ditingkat kolektif yang mempersatukan Agus atas hubungannya dengan anggota komunitas. Nilai ini kemudian dapat dijadikan dasar dalam membedakan orang menjadi dua golongan, yakni golongan yang termasuk anggota komunitas dan golongan yang bukan termasuk anggota komunitas. Dari nilai inilah kemudian dapat menjadi landasan dalam meningkatkan persatuan komunitas.

G.           Kesimpulan
Pertukaran sosial antara Agus –Anak Putus Sekolah– dengan komunitasnya terjadi dalam 3 tahap,[49] yaitu : pertama, pertukaran atau transaksi antara Agus sebagai anggota komunitas dengan semua anggota komunitas yang lainnya kemudian meningkat ke arah pada tahap yang kedua. Kedua, diferensiasi status dan kekuasaan antara Agus dan semua anggota komunitasnya yang kemudian mengarah pada tahap yang ketiga. Ketiga, legitimasi dan pengorganisasian yang kemudian menyebarkan bibit pada tahap yang keempat. Empat, oposisi dan perubahan. Namun dalam tahap keempat ini tidak terjadi.

H.           Komentar
Dari temuan-temuan informasi yang kemudian penulis analisis dengan menggunakan teori Pertukaran Sosial Peter M. Blau, maka penulis dapat mengajukan beberapa komentar atau implikasi teoritik dari analisis teori yang penulis gunakan.
Pada dasarnya secaran umum teori pertukaran sosial yang dibangun oleh Peter M. Blau cukup relevan dalam menjelaskan fenomena anak putus sekolah yang terjadi di desa Pangkah Kulon. Akan tetapi ada beberapa hal yang ternyata tidak cocok atau tidak sesuai dengan apa yang dibayangkan oleh Blau, yaitu:
1.             Adanya pertukaran dan transaksi antara Agus dan anggota komunitasnya sesungguhnya bukan didasarkan pada reward yang sejati atau yang sebenarnya, tetapi didasari oleh keterpaksaan yang disebabkan adanya ancaman dari komunitas jika tidak menuruti segala kehendaknya.
2.             Setelah terjadinya diferensiasi dan kekuasaan antara Agus dan semua anggota komunitas, kemudian mengarah pada legitimasi dan pengorganisasian. Tetapi proses dalam memperoleh legitimasi dan pengorganisasiannya oleh pemimpin komunitas –Aziz- dari anggota komunitasnya ternyata tidak seperti apa yang dibayang Blau. Proses tersebut justru terjadi melalui cara yang bertentangan dengan yang dipikirkan Blau, yaitu pemimpin komunitas justru mempertontonkan superioritas dan dominasinnya atas anggota komunitasnya. Oleh karena itu dalam tahap ini tidak mengarah pada tahap keempat yaitu oposisi dan perubahan. Sehingga oposisi dan perubahan tidak bisa terjadi, yang muncul hanya bibit oposisi, sebab para anggota tidak resisten terhadap superioritas dan dominasi pemimpin komunitas dan akibatnya perubahan yang dibayangkan Blau tidak pernah terjadi.

I.              Rekomendasi
Masalah anak putus sekolah yang disebabkan oleh faktor pengaruh pergaulan teman sebaya merupakan hal yang umum. Sudah banyak literatur, laporan penelitian, buku, artikel, jurnal dan sebagainya yang penulis telusuri, namun penulis tidak menemukan satu saja yang dapat menjelaskan bagaimana proses relasi anak putus sekolah dengan teman-teman sebayanya yang kemudian mengakibatkan si anak tersebut tidak melanjutkan sekolah. Selain itu belum juga ada penjelasan apakah anak memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah merupakan keputusannya pribadi ataukah pengaruh eksternal –teman.
Kajian ini merupakan kajian yang seksi untuk dibahas, sebab penulisan laporan ini menunjukkan seorang anak memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah merupakan keputusan pribadi meski sebelumnya juga dipengaruhi oleh komunitasnya dan kondisi orang tuanya. Maka dalam konteks ini kiranya anak yang putus sekolah yang dipengaruhi oleh pergaulan temannya perlu dikaji secara mendalam. Sebab dengan contoh kasus ini, sesungguhnya Agus tidak perlu untuk tidak melanjutkan sekolahnya meski orang tuanya hanya mengizinkan agus untuk sekolah di SMA Al Muniroh. Anak ini –Agus- perlu didampingi untuk menghidupkan rasa percaya diri dan keberanian untu resisten terhadap pengaruh komunitasnya sehingga kemudian apa yang dibayangkan oleh Blau dapat terjadi, yaitu tahap oposisi yang kemudian dapat mengarah pada perubahan. sehingga Agus bisa dihargai oleh teman komunitasnya dan mereka dapat menerima pilihan Agus untuk menghindar dari ajakan komunitasnya yang cenderung mengajak pada perilaku-perilaku negatif.


[1] Mujiono Dimyati, Belajar Dan Pembelajaran (Bandung: Usaha Nasional, 1986), hlm. 1.
[2] Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, (Cet. II. Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 354.
[3] Suyanto, Masalah, hlm. 353.
[4] Yudi Setiawan, “19 Persen Anak Usia Sekolah Putus Sekolah,” http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2005/06/13/brk20050613-62414,id.html, diakses tanggal 14 September 2015.
[5] Republika Newsroom, “LAZ Portal Infaq Bantu Anak Putus Sekolah,” http://www.republika.co.id/berita/9552/LAZ_Portal_Infaq_Bantu Anak Putus Sekolah/, diakses tanggal 14 September 2015.
[6] Jurnal Nasional edisi 29 Januari 2009, “Ribuan Anak DKI Putus Sekolah”, http://www.forumsdm.org/index.php?option=com_content&task=view&id=424&Itemid=182/, diakses tanggal 14 September 2015.
[7] Listyowati Endang Widyantari, Kecenderungan Anak Putus Sekolah Ditinjau Dari Faktor Ekonomi Dan Faktor Non Ekonomi; Studi Kasus pada 6 Keluarga Miskin di Kelurahan Pangkalan Jati Kecamatan Cinere Kota Depok Provinsi Jawa Barat, Tesis, (Depok; FISIP Universitas Indonesia, 2011), hlm. 6.
[8] BPS. Statistika Daerah Gresik. (Pemkab Gresik, 2012)
[9] Rizal, wawancara (Pangkah Kulon, 15 September 2015)
[10] Agus, wawancara (Pangkah Kulon, 15 September 2015)
[11] Suyanto, Masalah, hlm. 359.
[12] Musfiqon, Menangani yang Putus Sekolah (UMSIDA: Sidoarjo, 2007), hlm. 19.
[13] H. Ary Gunawan, Sosiologi Pendidikan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 71.
[14] Burhannudin, “Penetaan Anak Tidak dan putus Sekolah di Kota Mataram dan Kabupaten Sumbawa Besar Usia 5-12 Tahun”, http://www.puslitjaknov.org/data/file/2008/ makalah_peserta/30_Burhanudin_Pemetaan.pdf/ di akses tanggal 16 September 2015.
[15] Musfiqon, Menangani, hlm. 24.
[16] Johanes Muller, Pendidikan Sebagai Jalan Pembebasan Manusia dari Cengkraman Kemelaratan, (Jakarta: prisma No 7 Juli 1980)
[17] Suyanto, Masalah, hlm. 355.
[18] Darmaningtyas, Pendidikan Pada Dan Setelah Krisis; Evaluasi Pendidikan Di Masa Krisis (LPIST & Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 1999).
[19] Marzuki yang dikutip oleh Suyanto, Masalah, hlm. 357.
[20] I. B. Wirawan, Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma; Fakta Sosial, Definisi Sosial, dan Perilaku Sosial (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 171.
[21] Michael Peter Blau, Exchange And Power In Social Life (New York: Wiley & Sons, 1964), hlm. 2.
[22] Blau, Exchange, hlm. 88.
[23] Blau, Exchange, hlm. 31.
[24] Margareth M. Poloma, Cotemporary Sociological Theory, terj. Yasogama, (Cet. IX; Rajawali Press; Jakarta, 2013), hlm. 95-97
[25] George Ritzer, Modern Sociological Theory: Seventh Edition McGraw-Hill, terj. Triwibowo B.S, (Ed. VII; Kencana Prenadamedia Group; Jakarta, 2014), hlm. 343.
[26] Blau, Exchange, hlm. 32.                    
[27] Blau, Exchange, hlm. 35.
[28] Margareth M. Poloma, Cotemporary, hlm. 82.
[29] Margareth M. Poloma, Cotemporary, hlm. 82-83.
[30] Graham C. Kinloch, Sociological Theory It Development and Major Paradigms, terj. Dadang Kahmad, (Cet. II; Pustaka Setia; Bandung, 2009), hlm. 253-254.
[31] George Ritzer, Modern, hlm. 343-346.
[32] George Ritzer, Modern, hlm. 345; Margareth M. Poloma, Cotemporary, hlm. 85.
[33] Blau, Exchange, hlm. 255.
[34] Margareth M. Poloma, Cotemporary, hlm. 91-92.
[35] George Ritzer, Modern, hlm. 348.
[36] Profil Desa Pangkah Kulon 2012
[37] Rizal, wawancara (Pangkah Kulon, 15 September 2015)
[38] Wawancara dan Observasi, 15 Spetember 2015
[39] Arif, 07 Agustus 2013
[40] Arif, wawancara (Pangkah Kulon, 07 Agustus 2013)
[41] Profil Desa Pangkah Kulon Tahun 2012
[42] Agus, wawancara (Pangkah Kulon, 15 September 2015)
[43] Orang itu dapat memaksa orang lain untuk membantunya. Lihat George Ritzer, Modern Sociological Theory: Seventh Edition McGraw-Hill, terj. Triwibowo B.S, (Ed. VII; Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014), hlm. 345; Margareth M. Poloma, Cotemporary Sociological Theory, terj. Yasogama, (Cet. IX; Rajawali Press; Jakarta, 2013), hlm. 85.
[44] Orang itu akan mencari sumber lain untuk memenuhi kebutuhannya. Lihat George Ritzer, Modern, hlm. 345;. Margareth M. Poloma, Cotemporary, hlm. 85.
[45] Orang itu mungkin akan menundukkan diri terhadap orang lain dan dengan demikian memberikan orang lain itu penghargaan yang sama dalam antar hubungan mereka, dan kemudian dapat menarik penghargaan yang diberikan itu ketika menginginkan orang yang ditundukkan itu melakukan sesuatu. Lihat Lihat George Ritzer, Modern, hlm. 345;. Margareth M. Poloma, Cotemporary, hlm. 85.
[46] Orang itu mungkin akan menundukkan diri terhadap orang lain dan dengan demikian memberikan orang lain itu penghargaan yang sama dalam antar hubungan mereka. Lihat George Ritzer, Modern, hlm. 345; Margareth M. Poloma, Cotemporary, hlm. 85.
[47] Dalam realitasnya, agus mengalami kerugian sebagaimana yang dikhawatirkan, sebab pertemanannya dalam komunitas sangat tergantung dari pemimpin komunitas. Hal ini terjadi ketika Agus mencoba untuk tidak menuruti ajakan komunitasnya untuk membolos dan ngopi hingga larut malam. Sehingga pada suatu saat Agus dipukuli oleh anggota komunitasnya. Agus, wawancara (Pangkah Kulon, 15 September 2015)
[48] George Ritzer, Modern, hlm. 343-346.
[49] Hal ini tidak sesuai dengan tahapan yang dipikirkan oleh Blau yang sesunggunya pertukaran sosial terjadi dalam 4 Tahap. Lihat George Ritzer, Modern Sociological Theory: Seventh Edition McGraw-Hill, terj. Triwibowo B.S, (Ed. VII; Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014), hlm.343-346.
0 Komentar untuk "ANAK PUTUS SEKOLAH; Analisis Teori Pertukaran Sosial Peter M. Blau"

Back To Top