Let's Write !!!

METODOLOGI PENELITIAN; Validitas Penelitian Populasi & Sampel


Oleh: Morissan, M.A


Selain harus dapat diandalkan, suatu pengukuran harus pula memiliki validitas. Validitas mengacu pada seberapa jauh suatu ukuran empiris cukup menggambarkan arti sebenarnya dari konsep yang tengah diteliti. Dengan kata lain, suatu instrumen pengukuran yang valid mengukur apa yang seharusnya diukur, atau mengukur apa yang hendak kita ukur. Menentukan validitas pengukuran memerlukan suatu evaluasi terhadap kaitan antara definisi operasional variabel dengan definisi konseptual. Hal ini disebabkan validitas menjelaskan suatu ukuran yang secara tepat dapat menggambarkan konsep yang ingin diukur. Misal, bagaimana kita mengukur tingkat kecerdasan seseorang? Dalam hal ini, tes IQ akan menghasilkan ukuran kecerdasan yang lebih valid dibandingkan dengan menggunakan ukuran frekuensi kunjungan ke perpustakaan.
Mengukur validitas membutuhkan penilaian yang cermat di pihak peneliti. Suatu pengukuran validitas sangat jarang menghasilkan kesimpulan yang sangat valid (totally valid) atau sama sekali tidak valid (invalid), karena biasanya ukuran validitas berada di sekitar titik tengah. Pada bagian ini kita akan mempelajari empat tipe utama pengukuran validitas, dan masing-masing memiliki teknik yang berhubungan untuk evaluasi metode pengukuran yaitu: validitas muka (face validity), validitas prediktif (predictive validity), validitas konkuren (concurrent validity), dan validitas konstruk (construct validity).

Validitas Muka (face validity)
Tipe pengukuran validitas yang paling sederhana dan paling dasar yang dilakukan dengan cara mengamati instrumen pengukuran untuk menentukan apakah  instrumen bersangkutan dapat mengukur apa yang akan diukur. Pada pengukuran validitas muka, peneliti mengemukakan argumentasi bahwa pengukuran yang akan dilakukan tampak baik dengan cara melihat pada indikator pengukuran yang digunakan. Dengan kata lain, validitas muka menunjukkan apakah kualitas suatu indikator tampak beralasan (logis) untuk mengukur suatu variabel. Misal, bagaimana kita mengukur perilaku keagamaan (religiusitas) seseorang? Dalam hal ini, frekuensi kunjungan seseorang ke tempat ibadah dapat menjadi indikator yang tampak beralasan (logis) tanpa membutuhkan terlalu banyak penjelasan. Dalam kasus ini, tingkat kunjungan seseorang ke tempat ibadah memiliki validitas muka yang baik untuk mengukur tingkat religiusitas seseorang. Teknik ini cukup populer digunakan para peneliti melalui argumentasi mereka mengenai validitas pengukuran yang digunakan. Namun validitas muka memiliki keterbatasan karena tidak tersedianya bukti tambahan atas validitas yang digunakan.
Ukuran empiris tertentu terhadap suatu konsep penelitian dapat sesuai atau bertentangan dengan kesepakatan umum yang berlaku dan juga dengan gambaran mental yang dimiliki seseorang. Misal, bagaimana mengukur kualitas pelayanan suatu instansi pemerintah kepada masyarakat? Kita mungkin bisa berbeda pendapat bahwa jumlah pengaduan atau keluhan mengenai instansi bersangkutan yang disampaikan melalui media massa telah cukup menjadi indikator kualitas pelayanan instansi bersangkutan. Namun kita dapat dengan mudah bermufakat bahwa jumlah pengaduan masyarakat memiliki hubungan dengan kualitas pelayanan. Dengan demikian jumlah pengaduan atau keluhan masyarakat di media massa adalah valid secara permukaan, sehingga dikatakan memiliki validitas muka. Jika peneliti mengemukakan gagasan bahwa kualitas pelayanan suatu instansi ditentukan pada apakah karyawannya mengenakan pakaian seragam ataukah tidak, maka bisa jadi anda akan menunjukkan penolakan yang lebih besar. Hal ini disebabkan pakaian seragam tidak memiliki cukup validitas muka.

Validitas Prediktif
Upaya peneliti untuk memeriksa instrumen pengukurannya terhadap hasil-hasil yang muncul di masa depan akan menghasilkan validitas prediktif  atau disebut juga validitas terkait kriteria (criterion-related validity). Misal, nilai suatu pengujian (tes) untuk memperkirakan apakah seseorang akan memberikan suaranya pada Pemilu yang akan datang dapat dibuktikan dengan melihat pada perilaku sebenarnya pada saat Pemilu, apakah ia memberikan suara atau tidak (menjadi golongan putih). Jika hasil tes memungkinkan peneliti untuk memperkirakan, dengan tingkat akurasi yang cukup tinggi, siapa orang yang memberikan suara pada Pemilu, dan siapa yang tidak, maka pengujian yang dilakukan memiliki validitas prediktif. Contoh lain,  ujian masuk suatu perguruan tinggi, selain menghasilkan informasi mengenai tingkat kecerdasan calon mahasiswa, juga mampu menunjukkan kemungkinan calon mahasiswa bersangkutan untuk mampu menyelesaikan pendidikannya, dan  bahkan memperkirakan tingkat keberhasilan dalam pekerjaan dan karir jika ia selesai menempuh pendidikan. Atau suatu ujian teori untuk mendapatkan surat ijin mengemudi (SIM) disebut memiliki validitas prediktif jika mampu memperkirakan perilaku seseorang di jalan raya di masa yang akan datang. Ketiga contoh tersebut --memberikan suara, keberhasilan pendidikan, dan perilaku mengemudi-- merupakan kriteria validitas prediktif.
Harap dicatat bahwa pengukuran yang memiliki validitas prediktif yang baik tidak berarti juga memiliki validitas muka yang sama baiknya. Suatu pengukuran dapat memiliki validitas prediktif yang baik namun pada saat yang sama kurang memenuhi syarat untuk memiliki validitas muka. Dalam hal ini, kondisi yang bertentangan sering kali terjadi. Satu-satunya faktor yang menentukan validitas prediktif adalah ukuran kemampuan untuk memperkirakan perilaku atau peristiwa masa depan secara tepat. Dalam validitas prediktif, perhatian tidak ditujukan pada konsep apa yang hendak diukur tetapi pada apakah instrumen pengukuran dapat memperkirakan sesuatu.

Validitas Konkuren
Tipe validitas yang memiliki kemiripan dengan validitas prediktif. Pada metode ini, instrumen pengukuran harus diperiksa terlebih dahulu terhadap berbagai kriteria yang ada saat ini. Misal, peneliti yang ingin mengetahui perilaku kekerasan (agresivitas) di kalangan anak-anak membagi anak-anak ke dalam dua kelompok yaitu: pertama, kelompok anak yang memiliki catatan sebagai anak bermasalah karena sering kali melakukan perkelahian, dan tindak kekerasan lainnya dan kedua, kelompok anak yang tidak memiliki catatan kekerasan atau perilaku anti-sosial lainnya. Jika hasil pengujian dapat menunjukkan adanya perbedaan skor kekerasan diantara kedua kelompok tersebut maka dapat dikatakan hasil penelitian memiliki validitas konkuren. Contoh lain, peneliti dapat melakukan uji validitas konkuren tingkat pemahaman terhadap suatu bacaan antara anak-anak yang hasil uji terhadap tingkat kecerdasannya (IQ) menunjukkan nilai di atas rata-rata dengan anak-anak yang memiliki IQ pada kisaran rata-rata. Jika hasil pengujian terhadap tingkat pemahaman terhadap suatu bacaan menunjukkan perbedaan diantara kedua kelompok tersebut, yaitu mereka yang memiliki IQ lebih tinggi menunjukkan tingkat pemahaman yang lebih baik terhadap bacaan, maka dapat dikatakan hasil pengukuran IQ memiliki validitas konkuren.

Validitas Konstruk
Tipe validitas ini memiliki teknik pengukuran yang paling kompleks. Namun secara sederhana dapat dikatakan bahwa validitas konstruk merupakan upaya menghubungkan suatu instrumen pengukuran dengan keseluruhan kerangka kerja teoritis untuk memastikan bahwa pengukuran yang dilakukan memiliki hubungan logis dengan konsep lainnya yang ada dalam kerangka kerja teoritis bersangkutan. Dalam hal ini, peneliti harus mampu menyatakan berbagai hubungan antara konsep yang tengah diukur dengan variabel lainnya. Peneliti harus menunjukkan bahwa hubungan tersebut adalah benar adanya untuk menunjukkan adanya validitas konstruk. Misal, suatu penelitian ingin membuktikan bahwa frekuensi menonton suatu program berita dipengaruhi oleh sikap audien terhadap program berita bersangkutan. Jika ukuran terhadap sikap berhubungan erat dengan frekuensi menonton maka penelitian terhadap sikap audien memiliki validitas konstruk.
Contoh lain, suatu penelitian ingin mengetahui sumber dan konsekwensi kepuasan perkawinan. Dalam hal ini, peneliti mengembangkan suatu ukuran kepuasan perkawinan, dan ia ingin menguji validitas pengukurannya dengan menggunakan validitas konstruk. Pertama-tama, peneliti berusaha mencari tahu apakah variabel kepuasan perkawinan memiliki hubungan dengan variabel lainnya. Misal, peneliti dapat mengemukakan suatu argumentasi bahwa perselingkuhan jarang terjadi pada pasangan yang merasa puas dengan perkawinannya dibandingkan dengan pasangan yang tidak puas dengan perkawinannya. Jika hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah kasus perselingkunan antara pasangan yang merasa puas dengan perkawinannya dengan pasangan yang tidak puas menunjukkan jumlah yang kurang lebih sama, atau tidak dapat dibedakan secara tegas, maka terdapat kelemahan pada validitas pengukuran yang digunakan.

Validitas Isi
Pengukuran terhadap validitas isi mengacu pada berapa banyak suatu ukuran menjangkau berbagai makna yang tercakup dalam suatu konsep. Misal, suatu pengujian terhadap kemampuan matematika seseorang tidak dapat dibatasi hanya pada fungsi penambahan tetapi perlu juga mencakup pengurangan, pengalian, pembagian dan sebagainya. Atau, jika kita mengukur prasangka (prejudis) pada diri seseorang, apakah pengukuran kita mencakup seluruh jenis prejudis, termasuk prejudis terhadap kelompok rasial dan etnis, agama minoritas. Wanita, orang tua dan sebagainya.


Salah satu tujuan penelitian adalah menjelaskan sifat populasi. Populasi dapat didefinisikan sebagai suatu kumpulan subjek, variabel, konsep, atau fenomena. Kita dapat meneliti setiap anggota populasi untuk mengetahui sifat populasi bersangkutan. Proses meneliti setiap anggota populasi ini dinamakan sensus. Namun demikian sering kali meneliti setiap anggota populasi tidak dapat dilakukan karena keterbatasan waktu dan biaya. Dalam hal ini, prosedur yang biasa dilakukan adalah mengambil sampel dari populasi. Sampel adalah bagian dari populasi yang mewakili keseluruhan anggota populasi yang bersifat representatif. Suatu sampel yang tidak representatif terhadap setiap anggota populasi, berapapun ukuran sampel itu, tidak dapat digeneralisir untuk menjelaskan sifat populasi dimana sampel diambil.
Proses pemilihan sampel dapat dijelaskan dengan menggunakan dua lingkaran besar dan lingkaran kecil sebagaimana terlihat pada gambar 1.1. Linkaran kecil berada di dalam lingkaran besar. Suatu populasi diwakili oleh lingkaran yang lebih besar. Jika sensus berfungsi menguji atau mengukur setiap elemen pada populasi A, maka sampel mengukur atau menguji bagian dari populasi (sampel A1). Walaupun pada gambar 1.1, sampel tampaknya diambil dari bagian tertentu saja dari populasi, namun sesungguhnya sampel dipilih dari setiap bagian populasi. Jika suatu sampel dipilih berdasarkan panduan yang benar sehingga bersifat representatif terhadap populasi maka data yang diperoleh dari sampel tersebut dapat digeneralisir terhadap populasi. Namun demikian, generalisasi data yang diperoleh dari sampel harus dilakukan dengan cermat dan hati-hati karena adanya kesalahan (error) yang melekat pada setiap penelitian.   
Manakala peneliti hendak mengambil sampel dari suatu populasi maka ia perlu memperkirakan seberapa besar derajat perbedaan sampel yang dimilikinya dengan populasi. Karena sampel tidak menyediakan data yang tepat mengenai populasi maka suatu kesalahan atau error harus diperhitungkan ketika kita menginterpretasikan hasil penelitian.



KESALAHAN SAMPLING
Dapat dikatakan setiap penelitian memiliki potensi kesalahan, terlebih pada penelitian yang bertujuan untuk mengamati perilaku manusia (behavioral sciences). Kesalahan terutama bersumber dari karakteristik manusia yang tidak pernah tetap atau, dengan kata lain, manusia memiliki sifat yang selalu berubah. Hal ini biasanya sudah sangat dipahami oleh peneliti perilaku, dan mereka bertanggung jawab untuk mengendalikan atau mengurangi sebanyak mungkin kesalahan pada penelitian mereka. Namun demikian, apapun langkah penelitian yang dilakukan kesalahan selalu ada. Dalam hal ini, terdapat dua tipe kesalahan dalam setiap penelitian yaitu:[1]
1)      Kesalahan sampling (sampling error), yaitu kesalahan yang berhubungan dengan pemilihan sampel dari suatu populasi.
2)      Kesalahan non-sampling (non-sampling error), yaitu kesalahan yang berasal dari setiap aspek penelitian seperti kesalahan pengukuran, kesalahan analisa data, pengaruh situasi penelitian, atau bahkan kesalahan yang berasal dari sumber yang tidak diketahui yang tidak dapat diidentifikasi, dikontrol atau dihilangkan.


Kesalahan pengukuran dapat disebabkan banyak hal namun beberapa faktor terpenting antara lain seperti instrumen pengukuran yang tidak dirancang dengan baik, mengajukan pertanyaan yang salah kepada responden, atau salah mengajukan pertanyaan, kesalahan instrumen pengumpulan data, tenaga pengumpul data yang tidak terlatih, menggunakan hanya satu tipe pengukuran, kesalahan pada saat pemasukan data (data input), dan penggunaan metode statistik yang salah untuk menganalisa data.
Laporan penelitian sering kali menggunakan pernyataan,”Hasil penelitian ini ‘membuktikan’…” Walaupun setiap penelitian bertujuan mencari kebenaran tetapi faktanya “kebenaran yang sesungguhnya” jarang diperoleh. Hal ini disebabkan setiap nilai, pengukuran, atau pengamatan memiliki derajat kesalahan tertentu.[2] Kesalahan pengukuran dapat dibagi lagi menjadi dua kategori yaitu kesalahan random dan kesalahan sistematis.
1)      Kesalahan random (random error) yang terjadi manakala pengukuran (measurement) dan analisa menunjukkan perbedaan secara tidak konsisten dari satu penelitian ke penelitian lainnya. Hasil penelitian menunjukkan suatu arah tertentu namun ketika penelitian diulang kembali hasilnya menunjukkan arah yang berbeda. Kesalahan random disebabkan oleh variabel yang tidak diketahui, dan tidak dapat diperkirakan sehingga sulit untuk diketahui dan diperbaiki.
2)      Kesalahan sistematis (systematic error) adalah kesalahan yang menghasilkan kesimpulan yang tidak tepat atau tidak benar (invalid) secara terus menerus (konsisten) dalam arah yang sama, atau konteks yang sama, dan karenanya dapat diperkirakan. Tidak seperti kesalahan random, pada kesalahan sistematis, peneliti mampu mengidentifikasi penyebab kesalahan dan menghilangkan pengaruhnya.

2.    METODE PENARIKAN SAMPEL 
Pemilihan sampel merupakan bagian yang sangat penting dari semua penelitian, namun kesalahpahaman sering kali terjadi mengenai sampel ini, khususnya diantara peneliti pemula, atau mereka yang tidak tahu menahu mengenai penelitian. Pertanyaan yang sering kali muncul adalah, “Bagaimana mungkin sampel yang terdiri dari beberapa ratus orang responden bisa mewakili pendapat masyarakat yang berjumlah jutaan orang”. Jika anda seorang peneliti pemula, maka camkan hal ini: jika pemilihan sampel dilakukan dengan benar, maka walaupun jumlah sampel anda hanya terdiri atas beberapa ratus orang, maka jumlah itu sudah cukup mewakili pandangan populasi yang terdiri atas jutaan orang. Bagian paling penting dari setiap prosedur penarikan sampel adalah menghindari bias, apapun jenisnya. Artinya, setiap responden harus memiliki peluang yang sama untuk dapat terpilih sebagai sampel. Dengan kata lain, rancangan sampel kita harus bebas dari bias.
Metode penarikan sampel, atau disebut juga dengan prosedur sampling (sampling procedures) pada umumnya terbagi atas dua bagian besar yaitu: teknik sampel probabilitas dan teknik sampel non-probabilitas [3]
1)      Teknik sampel probabilitas atau sampling probabilitas (probability sampling). Teknik penarikan sampel probabilitas dilakukan dengan menggunakan panduan matematis berdasarkan teori kemungkinan (probability theory) dimana peluang setiap unit untuk terpilih sebagai sampel telah dapat diketahui. Teknik penarikan sampel probabilitas dilakukan dengan cara memilih atau menarik sampel secara acak (random) dari suatu daftar yang berisi seluruh nama anggota populasi yang tengah diambil sampelnya.
2)      Teknik sampel non-probabilitas atau sampling non-probabilitas (non-probability sampling) merupakan teknik penarikan sampel yang tidak mengikuti panduan probabilitas matematis. Namun demikian, karakteristik paling penting yang membedakan kedua tipe sampel adalah bahwa sampling probabilitas memungkinkan peneliti untuk menghitung jumlah kesalahan sampling (sampling error) pada suatu penelitian, sedangkan sampling nonprobabilitas tidak.


Dalam hal ini, terdapat empat hal yang perlu dipertimbangkan dalam memutuskan apakah peneliti perlu menggunakan penarikan sampel probabilitas atau non-probabilitas:[4]
1)      Tujuan penelitian. Tidak semua penelitian dirancang untuk memperoleh hasil yang akan digunakan untuk melakukan generalisasi terhadap populasi, tetapi lebih untuk meneliti hubungan variabel, atau mengumpulkan data eksploratif bagi penyusunan kuesioner atau instrumen pengukuran. Sampling non-probabilitas sangat cocok digunakan pada penelitian semacam ini.
2)      Biaya versus nilai. Suatu sampel harus mampu menghasilkan nilai terbaik bagi peneliti dengan biaya seminimal mungkin. Jika biaya penarikan sampel probabilitas terlalu mahal dalam hubungannya dengan jenis, dan kualitas informasi yang akan diperoleh (tujuan penelitian) maka penggunaan sampling non-probabilitas biasanya sudah cukup memuaskan.
3)      Keterbatasan waktu. Dalam banyak kasus, peneliti perlu mengumpulkan informasi pendahuluan dalam waktu terbatas. Biasanya penelitian semacam ini dilakukan atas permintaan pihak tertentu seperti sponsor, manajemen perusahaan, media massa dan sebagainya. Karena penarikan sampel probabilitas sering kali sangat memakan waktu dalam pengerjaannya maka suatu sampling nonprobabilitas dapat memenuhi kebutuhan ini.
4)      Nilai kesalahan yang dapat diterima. Dalam suatu penelitian pendahuluan (pilot study) seringkali faktor error atau kesalahan tidak menjadi perhatian utama, maka penggunaan sampel nonprobabilitas biasanya sudah cukup memadai.

Walaupun sampel nonprobabilitas dalam beberapa kasus memiliki sejumlah keunggulan, namun sampel probabilitas lebih dianjurkan pada penelitian yang bertujuan untuk menerima atau menolak suatu pertanyaan penelitian yang penting, atau menerima atau menolak hipotesa yang hasilnya akan digeneralisir kepada populasi. Teknik sampling probabilitas pada umumnya menggunakan beberapa tipe prosedur pemilihan sistematis seperti tabel nilai random untuk memastikan bahwa setiap unit memiliki peluang yang sama untuk terpilih. Namun demikian, cara ini tidak memastikan seratus persen terpilihnya suatu sampel yang representatif dari populasi.




[1] Roger D. Wimmer dan Joseph R. Dominick, Mass Media Researh: An Introduction, Wadsworth, 2011, hal 88.
[2] Hasil penelitian sering kali disajikan dengan menggunakan suatu formula sederhana sebagai ‘bukti’ mengenai sesuatu sebagai berikut: nilai yang diamati/pengukuran/pengamatan  =  Nilai sebenarnya, pengukuran atau observasi. Pada kenyataannya, seluruh hasil penelitian harus dilaporkan dan diinterpretasikan dengan formula sebagai berikut: Nilai yang diamati/pengukuran/pengamatan  =  Nilai sebenarnya, pengukuran atau observasi + kesalahan.
[3] Lihat Earl Babbie, The Basic of Social Research, 4th Edition, Wadsworth, 2008, hal 203. Lihat juga Wimmer D, Roger dan Joseph R. Dominick, Mass Media Research, Wadsworth, 2011, hal 89.
[4] Wimmer D, Roger, Joseph R. Dominick, Mass Media Research,  Wadsworth, 2011, hal 90. 
0 Komentar untuk "METODOLOGI PENELITIAN; Validitas Penelitian Populasi & Sampel"

Back To Top