Let's Write !!!

REALITAS DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT

ِA. Pendahuluan
Persoalan yang tidak pernah berakhir dalam sejarah kelahiran dan perkembangan filsafat adalah persoalan bagaimana manusia dapat mencapai suatu kebenaran, menemukan hakekat dari suatu kebenaran, yakni kebenaran atas apa yang disebut dengan REALITAS atau kenyataan dari sesuatu (materi) yang benar-benar ada, termasuk realitas tentang Tuhan, supranature. Hakikat kebenaran tentang Realitas, termasuk kebenaran tentang metafisis, tidak bisa dilepaskan dari logika (pikiran subjektif) orang yang memandang dan memahami suatu realitas, baik dalam arti realitas dari sesuatu yang benar-benar ada (kongkrit) ataupun realitas metafisis.

1. Realitas dalam Perspektif Materialisme
Materialisme adalah paham dalam filsafat yang menyatakan bahwa hal yang dapat dikatakan benar-benar ada adalah materi. Pada dasarnya semua hal terdiri atas materi dan semua fenomena adalah hasil interaksi material. Materi adalah satu-satunya substansi. Dalam memberikan penjelasan tunggal tentang realitas, materialisme berseberangan dengan idealisme. Aliran materialisme tidak mengakui entitas-entitas nonmaterial seperti: roh, hantu, setan dan malaikat. Pelaku-pelaku immaterial tidak ada. Tidak ada Tuhan atau dunia adikodrati/supranatural. Realitas satu-satunya adalah materi dan segala sesuatu merupakan manifestasi dari aktivitas materi. Materi dan aktivitasnya bersifat abadi. Tidak ada penggerak pertama atau sebab pertama. Tidak ada kehidupan, tidak ada pikiran yang kekal. Semua gejala berubah, akhirnya melampaui eksistensi, yang kembali lagi ke dasar material primordial, abadi, dalam suatu peralihan wujud yang abadi dari materi.
Kata materialisme terdiri dari kata materi dan isme. Materi dapat dipahami sebagai bahan; benda; segala sesuatu yang tampak. Materialisme adalah pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di dalam alam kebendaan semata-mata, dengan mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam indra. Sementara itu, orang-orang yang hidupnya berorientasi kepada materi disebut sebagai materialis. Orang-orang ini adalah para pengusung paham (ajaran) materialisme atau juga orang yang mementingkan kebendaan semata (harta,uang,dsb).  


Tokoh-tokoh pendiri
Filsuf yang pertama kali memperkenalkan paham ini adalah Epikuros (filsafat kuno) Selain Epikuros, filsuf lain yang juga turut mengembangakan aliran filsafat ini adalah Demokritos dan Lucretius Carus. Dua karangan karya La Mettrie yang cukup terkenal mewakili paham ini adalah L'homme machine (manusia mesin) dan L'homme plante (manusia tumbuhan).
Dalam waktu yang sama, di tempat lain muncul seorang Baron von Holbach yang mengemukakan suatu materialisme ateisme. Materialisme ateisme serupa dalam bentuk dan substansinya, yang tidak mengakui adanya Tuhan secara mutlak. Jiwa sebetulnya sama dengan fungsi-fungsi otak. Pada Abad 19, muncul filsuf-filsuf materialisme asal Jerman seperti Feuerbach, Moleschott, Buchner, dan Haeckel. Merekalah yang kemudian meneruskan keberadaan materialisme.
 

Ciri-ciri paham materialisme
Setidaknya ada 5 dasar ideologi yang dijadikan dasar keyakinan paham ini: [1]

  • Segala yang ada (wujud) berasal dari satu sumber yaitu materi (ma’dah).
  • Tidak meyakini adanya alam ghaib.
  • Menjadikan panca indra sebagai satu-satunya alat mencapai ilmu.
  • Memposisikan ilmu sebagai pengganti agama dalam peletakan hukum.
  • Menjadikan kecondongan dan tabiat manusia sebagai akhlak.
  • adalah sebuah paham garis pemikiran, dimana manusia sebagai nara sumber
dan juga sebagai resolusi dari tindakan yang sudah ada dengan jalan dialetis.

Kritik terhadap Materialisme
Kritik terhadap paham materialisme adalah Materialisme mengajarkan bahwa manusia pada akhirnya adalah thing, benda, sama seperti benda-benda lainnya. Bukan berarti bahwa manusia sama dengan pohon, kerbau, atau meja, sebab manusia dipandang lebih unggul. Akan tetapi, secara mendasar manusia dipandang hanya sebagai materi, yakni hasil dari proses-proses unsur kimia. 

Paham filsafat eksistensialisme memberikan kritik terhadap pandangan seperti ini. Cara pandang paham materialisme seperti ini mereduksi totalitas manusia. Manusia dilihat hanya menurut hukum-hukum alam, kimia, dan biologi, sehingga seolah sama seperti hewan, tumbuhan, dan benda lain. Padahal manusia memiliki kompleksitas dirinya yang tak dapat diukur, misalnya saja ketika berhadapan dengan momen-momen eksistensial seperti pengambilan keputusan, kecemasan, takut, dan sebagainya. 

Realitas dalam perspektif Idealisme 
Idealime adalah sebuah istilah yang digunakan pertama kali dalam dunia filsafat oleh Leibniz pada awal abad 18. ia menerapkan istilah ini pada pemikiran Plato, sekaligus memlawankannya dengan materialisme. Paham Idealisme adalah aliran filsafat yang memandang yang mental dan ideasional sebagai kunci ke hakikat Realitas. 
Idealisme berasal dari kata ide yang artinya adalah dunia di dalam jiwa (Plato), jadi pandangan ini lebih menekankan hal-hal bersifat ide, dan merendahkan hal-hal yang materi dan fisik. Realitas sendiri dijelaskan dengan gejala-gejala psikis, roh, pikiran, diri, pikiran mutlak, bukan berkenaan dengan materi.
 

Pandangan beberapa filsuf

Fichte
Fichte (Pendiri idealisme Jerman) memakai nama idealisme subyektif, jadi pandangan-pandangan berasal dari subyek-subyek tertentu, dia menyandarkan keunggulan moral untuk sebuah etika manusia yang ideal.
 

Hegel
Hegel mengangkat idealisme subyektif dan obyektif untuk menggambarkan tesisdan antitesis secara berturut-turut. Hegel sendiri mengemukakan pandangannya sendiri yang disebut idealisme absolut sebagai sintesis yang lebih tinggi dibanding unsur yang membentuknya (tesis dan antitesis).
 
Emanuel Kant
Emanuel Kant menyebut pandangannya dengan istilah idealisme transendental atau idealisme kritis. Dalam alternatif ini isi pengalaman langsung tidak dianggap sebagai benda dalam dirinya sendiri, dan ruang dan waktu merupakan forma intuisi kita sendiri. Schelling telah menggunakan istilah idealisme transendental sebagai pengganti idealisme subyektif.
Tokoh-tokoh lain cukup banyak ; Barkeley, Jonathan Edwards, Howison, Edmund Husserl, Messer dan sebagainya. 

Dalam dunia sastra, terdapat aliran idealisme juga, misalnya sebuah cerita, di dalamnya terdapat pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang. Berdasarkan pesan-pesan itu, seseorang dapat menganalisis tentang pandangan penulis. Idealisme yang dikemukakan terkait dengan tema cerita, misalnya tema yang berhubungan dengan cinta, perjuangan, dan pembangunan masa depan. 
Ada dua bentuk idealisme: yaitu idealisme aktif, yaitu idealisme yang melahirkan insipirasi-inspirasi baru yang bisa dilakukan dalam realitas, sedangkan idealisme pasif adalah idealisme yang hanya semu, tidak pernah bisa diwujudkan, bersifat utopis saja.  

William James
Realitas dalam Perspektif Pragmatisme
Pragmatisme adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan melihat kepada akibatakibat atau hasilnya yang bermanfaat secara praktis. Dengan demikian, bukan kebenaran objektif dari pengetahuan yang penting melainkan bagaimana kegunaan praktis dari pengetahuan kepada individu-individu. 

Dasar dari pragmatisme adalah logika pengamatan, di mana apa yang ditampilkan pada manusia dalam dunia nyata merupakan fakta-fakta individual, konkret, dan terpisah satu sama lain. Dunia ditampilkan apa adanya dan perbedaan diterima begitu saja. Representasi realitas yang muncul di pikiran manusia selalu bersifat pribadi dan bukan merupakan fakta-fakta umum. Ide menjadi benar ketika memiliki fungsi pelayanan dan kegunaan. Dengan demikian, filsafat pragmatisme tidak mau direpotkan dengan pertanyaan-pertanyaan seputar kebenaran, terlebih yang bersifat metafisik, sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan filsafat Barat di dalam sejarah.
 

Awal mula
Aliran ini terutama berkembang di Amerika Serikat, walau pada awal perkembangannya sempat juga berkembang ke Inggris, Perancis, dan Jerman. William James adalah orang yang memperkenalkan gagasan-gagasan dari aliran ini ke seluruh dunia. William James dikenal juga secara luas dalam bidang psikologi. Filsuf awal lain yang terkemuka dari pragmatisme adalah John Dewey. Selain sebagai filsuf, Dewey juga dikenal sebagai kritikus sosial dan pemikir dalam bidang pendidikan. 

Kata 'pragmatisme' berasal dari kata bahasa Yunani pragmatikos yang berarti cakap dan berpengalaman dalam urusan hukum, dagang, dan perkara negara. Istilah pragmatisme disampaikan pertama kali oleh Charles Peirce pada bulan Januari 1878 dalam artikelnya yang berjudul How to Make Our Ideas Clear.  

Teori tentang kebenaran
Menurut teori klasik tentang kebenaran, dikenal dua posisi yang berbeda, yakni teori korespondensi dan teori koherensi. Teori korespondensi menekankan persesuaian antara si pengamat dengan apa yang diamati sehingga kebenaran yang ditemukan adalah kebenaran empiris, sedangkan teori koherensi menekankan pada peneguhan terhadap ide-ide a priori atau kebenaran logis, yakni jika proposisi-proposisi yang diajukan koheren satu sama lain. Selain itu, dikenal lagi satu posisi lain yang berbeda dengan dua posisi sebelumnya, yakni teori pragmatis. Teori pragmatis menyatakan bahwa 'apa yang benar adalah apa yang berfungsi. Bayangkan sebuah mobil dengan segala kerumitan mesin yang
membuatnya bekerja, namun yang sesungguhnya menjadi dasar adalah jika mobil itu dapat bekerja atau berfungsi dengan baik.
 

Perkembangan pragmatisme
Apa yang disebut dengan neo-pragmatisme juga berkembang di Amerika Serikat dengan tokoh utamanya, Richard Rorty. Salah satu pemikirannya yang terkenal adalah bagaimana bahasa menentukan pengetahuan. Karena bahasa hadir dalam bentuk jamak, demikianlah pengetahuan pun tidak hanya satu dan tidak dapat dipandang universal, atau dengan kata lain, tidak ada pola yang rasional terhadap pengetahuan. Budaya atau nilai-nilai yang ada dilihat secara fungsinya terhadap manusia.
 

JA Ayer
Realitas dalam Perspektif Positivisme logis
Positivisme logis (disebut juga sebagai, empirisme rasional atau neopositivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina pada tahun 1920-an. Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali.

Tokoh-tokoh yang menganut paham positivisme logis ini antara lain Moritz Schlick, Rudolf Carnap, Otto Neurath, dan A.J. Ayer. Karl Popper, meski awalnya tergabung dalam kelompok Lingkaran Wina, adalah salah satu kritikus utama terhadap pendekatan neo-positivis ini.

Asal dan Gagasan Positivisme Logis
Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teoriteori paham realisme, materialisme, naturalisme filsafat dan empirisme. 

Salah satu teori Positivisme Logis yang paling dikenal antara lain teori tentang makna yang dapat dibuktikan, yang menyatakan bahwa sebuah pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika dan hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara empiris. Konsekuensi dari pendapat ini adalah, semua bentuk diskursus yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya adalah etika dan masalah keindahan, tidak memiliki makna apa-apa, sehingga tergolong ke dalam bidang metafisika.
 

Kritik terhadap Positivisme Logis
Para pengkritik Positivisme Logis berpendapat bahwa landasan dasar yang digunakan oleh Positivisme Logis sendiri tidak dinyatakan dalam bentuk yang konsisten. Misalnya, prinsip tentang teori tentang makna yang dapat dibuktikan seperti yang dinyatakan di atas itu sendiri tidak dapat dibuktikan secara empiris.

Masalah lain yang muncul adalah dalam hal pembuktian teori. Masalah yang dinyatakan dalam bentuk eksistensi positif (misalnya: ada burung berwarna hitam) atau dalam bentuk universal negatif (misalnya: tidak semua burung berwarna hitam) mungkin akan mudah dibuktikan kebenarannya, namun masalah yang dinyatakan sebaliknya, yaitu dalam bentuk eksistensi negatif (misalnya: tidak ada burung yang berwarna hitam) atau universal positif (misalnya: semua burung berwarna hitam) akan sulit atau bahkan tidak mungkin dibuktikan.
 

Aristoteles
Realitas dalam Perspektif Anti-realisme

Pada perkembangan dunia filsafat, beberapa filsuf, termasuk sejumlah feminis, telah mulai mendukung pandangan yang dalam banyak hal kembali ke idealisme tradisional dan menolak terhadap keberadaan realitas eksternal, dan kembali kepada tampilan pragmatisme, yaitu terdapat banyak "realitas". 

Antirealisme kontemporer yang dapat digolongkan (characterizable) sebagai idealis pragmatis menyatakan bahwa: 
  1. Re litas tergantung pada pikiran atau produknya;
  2. Ada realitas yang berbeda banyak.
Antirealisme kontemporer banyak yang berpendapat bahwa fitur realitas tergantung pada bahasa atau sistem konsep yang kita gunakan untuk menggambarkan atau berpikir tentang realitas. Karena ada bahasa yang berbeda, ada realitas yang berbeda, masing-masing tergantung pada pikiran dan sistem konsep. 
Nelson Goodman berpendapat "kita membuat apa yang kita temukan" pada kenyataannya oleh "batas-batas tertentu menggambarkan diri orang lain" di sekitar hal. Dengan menggunakan bahasa yang berbeda dan sistem pemikiran, kita membangun realitas, masing-masing tergantung pada pikiran. 
Hilary Putnam berpendapat bahwa sama seperti sistem yang berbeda dari penghitungan menunjukkan bahwa nomor yang berbeda dari objek dalam wadah, jadi realitas adalah tergantung pada sistem pikiran kita gunakan untuk menggambarkannya. 
Spender Dale berpendapat bahwa kita tidak dapat mengetahui "ini sebagaimana adanya", karena sistem klasifikasi bahasa kita menggunakan "bentuk" realitas yang kita lihat. Dengan menciptakan bahasa seksi kami, laki-laki telah membentuk realitas kita "sesuai dengan tujuan mereka sendiri." Tapi ada banyak realitas sama-sama benar lain dan bukan hanya satu yang benar "obyektif" realitas.
 

Husserl
Fenomenologi Sebagai Aliran Pemikiran FIlsafat

Pengertian Umum
Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, yang asal katanya adalah “phenomenon’’ dan “logos”. Phenomenon berarti: yaitu yang muncul dalam kesadaran manusia. Sedangkan logos, berarti ilmu. Phenomenologi berarti studi tentang phenomenon, atau yang muncul dengan sendirinya.

Fenomenologi berarti uraian tentang phenomenon. Atau sesuatu yang sedang menampilkan diri, atau sesuatu yang sedang menggejala. Dengan keterangan ini mulai tampaklah tendensi yang terdalam dari aliran phenomenologi yang sebenarnya merupakan jiwa dan cita-cita dari semua filsafat, yaitu mendapatkan pengertian yang benar, yang menangkap realitas itu sendiri.
Objek fenomenologi adalah fakta atau gejala, atau keadaan, kejadian, atau benda, atau realitas yang sedang menggejala. Phenomenologi berpegang atau berpendirian bahwa segala pikiran dan gambaran dalam pikiran kesadaran manusia menunjuk pada sesuatu, hal atau keadaan seperti ini, yaitu pikiran dan gambaran yang tertuju atau mengenai sesuatu tadi disebut intensional.

Secara umum dapat dikatakan bahwa fenomenologi adalah cara dan bentuk berpikir, atau apa yang disebut dengan “the styie of thingking”. Biasanya dikatakan bahwa dasar pikiran itu ialah intensionalisme. Menurut Edmund Husserl (tokoh filsafat fenomenologi) bahwa intention, kesengajaan mengarahkan kesadaran dan reduksi. 
Edmund Husserl memang berbagi jenis reduksi; reduksi fenomenologis, editis, dunia dan kebudayaan menjadi lebenswelt, dan reduksi transedental. Akan tetapi tokoh fenomenologi yang lain, seperti Martin Heidegger dan Maurice Morleau Ponty menolak reduksi-reduksi itu.
Fenomenologi di satu pihak adalah hubungan antara menusia dengan dunia, dan di pihak lain, ia merupakan hubungan antara dirinya dengan dirinya sendiri. Dalam masalah keagamaan, fenomenologi adalah cara untuk memahami hal ekspresi manusiawi terhadap latar belakang hubungan yang fundamental. Sebagai suatu usaha pemikiran, fenomenologi mencoba memahami manusia dalam kerangka filsafat antropologi. Sebagai suatu usaha riset ilmiah, fenomenologi berusaha untuk mengklarisifikasikan seluk-beluk kumpulan fenomena, termasuk fenomena keagamaan.

Dengan cara demikian, fenomenologi menentukan terhadap pengertian mereka sendiri.
 

Pendekatan Fenomenologi
Sebagaimana di kemukakan sebelumnya bahwa masalah dasar dari filsafat fenomenologi adalah bagaimana mendapatkan atau memperoleh pengetahuan yang benar, sah dan sejati. 

Cara kerja atau pendekatan secara fenomenolog adalah manusia mencoba untuk menganalisa struktur-struktur intentionalitas (karakteristik kesadaran tentang sesuatu), dalam hal cara yang paralel dengan cara seorang psikoanalisis dalam mengupas emosiemosi ketidak-sadaran. Atau paralel dengan seorang anthropologis aliran strukturalis dalam menganalisa untuk memperoleh struktur dari kenyatan sosial. Selanjutnya adalah mencari teori atau hipotesa yang bertalian untuk memecahkan problema-problema yang berhubungan dengan sekumpulan data yang ada. Teori atau hipotesa semacam itu kemudian diuji validitasnya dalam penelitian empiris berikutnya. Dalam fenomenologi yang menjadi objeknya adalah fakta, gejala, atau keadaan, kejadian, atau benda, atau realitas yang menggejala. Realitas yang menggejala itu akan mengambil pengertiannya menurut tuntunan realitas itu sendiri, artinya pengertian yang sebenarnya dari realitas itu, bukan pengertian yang tidak asli. Misalnya, pengertian yang sudah terpengaruh oleh warna sesuatu teori tertentu atau pengertian yang populer sebelumnya. Dalam perspektif demikian, masalah agama yang dipandang sebagai gejala kemanusiaan, yang menurut fenomenologi adalah untuk merekonstruksi pengertian-pengertian keagamaan atas dasar bahan-bahan dokumentasi yang ada. 
Menurut keyakinan aliran fenomenologi, pengertian realitas yang sedang menggejala itu sering tertutup kabut, baik kabut suasana alam sekitarnya juga kabut pemikiran subjektivitas pengamat, serta kabut teori yang sedang dominan pada saat terjadinya penatapan terhadap realitas itu. Semua kabut itu harus ditembus oleh para pengamat atau ilmuan yang menutupi realitas yang menggejala itu, dan menatap langsung berulang-ulang realitas sehingga terlihat atau tertangkap pengertiannya yang murni dan asli, yang tidak terpengaruh oleh aneka macam kabut yang mengitarinya. Inilaj benang merah persamaan antara aneka macam aliran fenomenologi, yaitu adanya keyakinan bahwa manusia dapat menangkap pengertian yang murni dari realitas yang menggejala dengan menatap langsung menembus kabut-kabut yang menutupinya, dengan bertemu langsung dan mengamat-amati realitas. 
Dalam lapangan agama, metode ini juga dianggap mampu dan cocok untuk digunakan, karena agama dianggap sebagai gejala, baik sebagai gejala yang terpisah dari manusia maupun bagian dari gejala kemanusiaan. Suatu keharusan manusiawi, keharusan mana tidak mungkin terdapat dalam salah satu kemampuan istimewa, tapi harus dicari dalam keadaan manusia sebagai individu terhadap dunianya, dalam dasar eksisitensi manusia. Dengan kata lain, agama dapat dianggap sebagai jawaban manusia terhadap eksistensinya.
 

Eksistensialisme
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. 

Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar. 
Eksistensialisme yang merupakan aliran besar dalam filsafat Barat, mempersoalkan keber-Ada-an manusia, dan keber-Ada-an itu dihadirkan lewat kebebasan. Pertanyaan utama yang berhubungan dengan eksistensialisme adalah melulu soal kebebasan. Apakah kebebasan itu? bagaimanakah manusia yang bebas itu? dan sesuai dengan doktrin utamanya yaitu kebebasan, eksistensialisme menolak mentah-mentah bentuk determinasi terhadap kebebasan kecuali kebebasan itu sendiri.

Jean Paul Satre
Dalam studi sekolahan filsafat eksistensialisme paling dikenal hadir lewat Jean-Paul Sartre, yang terkenal dengan diktumnya "human is condemned to be free", manusia dikutuk untuk bebas, maka dengan kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak. Pertanyaan yang paling sering muncul sebagai derivasi kebebasan eksistensialis adalah, sejauh mana kebebasan tersebut bebas? atau "dalam istilah orde baru", apakah eksistensialisme mengenal "kebebasan yang bertanggung jawab"? Bagi eksistensialis, ketika kebebasan adalah satu-satunya universalitas manusia, maka batasan dari kebebasan dari setiap individu adalah kebebasan individu lain.

Namun, menjadi eksistensialis, bukan melulu harus menjadi seorang yang lain dari pada-yang-lain, sadar bahwa keberadaan dunia merupakan sesuatu yang berada diluar kendali manusia, tetapi bukan membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi dari eksistensialisme. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan tanggung jawabnya dimasa depan adalah inti dari eksistensialisme. Sebagai contoh, mau tidak mau kita akan terjun ke berbagai profesi seperti dokter, desainer, insinyur, pengacara, pebisnis dan sebagainya, tetapi yang dipersoalkan oleh eksistensialisme adalah, apakah kita menjadi dokter atas keinginan orang tua, atau keinginan sendiri.
Kaum eksistensialis menyarankan kita untuk membiarkan apa pun yang akan kita kaji. Baik itu benda, perasaaan, pikiran, atau bahkan eksistensi manusia itu sendiri untuk menampakkan dirinya pada kita. Hal ini dapat dilakukan dengan membuka diri terhadap pengalaman, dengan menerimanya, walaupun tidak sesuai dengan filsafat, teori, atau keyakinan kita.

Thomas Hobbes
Determinisme

Determinisme berasal dari bahasa Latin determinare yang artinya menentukan atau menetapkan batas atau membatasi. Secara umum, pemikiran ini berpendapat bahwa keadaan hidup dan perilaku manusia ditentukan oleh faktor-faktor fisik geografis, biologis, psikologis, sosiologis, ekonomis dan keagamaan yang ada. 

Determinisme juga berpegangan bahwa perilaku etis manusia ditentukan oleh lingkungan, adat istiadat, tradisi, norma dan nilai etis masyarakat. Istilah ini dimasukkan menjadi istilah filsafat oleh William Hamilton yang menerapkannya pada Thomas Hobbes. Penganut awal pemikiran determinisme ini adalah demokritos yang percaya bahwa sebab-akibat menjadi penjelasan bagi semua kejadian.

Beberapa Pengertian
  1. Determinisme beranggapan bahwa setiap kejadian pasti sudah ditentukan.
  2. Semua kejadian disebabkan oleh sesuatu.
  3. Segala sesuatu di dunia bekerja dengan hukum sebab-akibat.
  4. Sudut pandang filsafat alam melihat determinisme sebagai teori tentang satusatunya determinasi dari setiap peristiwa alam. 
Contoh bentuk pemikiran determinisme: Orang yang bertubuh lemah, geraknya lebih lamban dari orang yang bertubuh kuat; Orang yang berasal dari keluarga harmonis diharapkan dapat menjadi manusia yang lebih seimbang dari pada mereka yang berasal dari keluarga yang kacau.
Dampak Pemikiran Determinisme
Pemikiran determinisme yang melihat bahwa perilaku etis ditentukan oleh lingkungan, adat istiadat, tradisi, norma dan nilai masyarakat, mengakibatkan dua hal, yaitu: Pertama, adanya berbagai faktor yang memengaruhi perilaku etis manusia menyebabkan perilaku etis manusia bersifat relatif. Perilaku baik ataupun jahat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang ada di luarnya. Relativisme. Kedua, perilaku etis tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor yang mengelilinginya tetapi juga oleh kehendak pelakunya.


Libertarianisme
Libertarianisme adalah satu falsafah yang menyatakan bahawa setiap manusia adalah tuan mutlak atas dirinya dan bebas melakukan apa saja atas diri dan harta bendanya sepanjang dia menghormati kebebasan orang lain. 

Seseorang yang menganut falsafah ini dikenali sebagai seorang libertarian. Kadangkala, libertarianisme dikenali sebagai liberalisme klasikal, dan istilah lain yang juga digunakan Falsafah kebebasan.

Ada dua jenis libertarianisme.
Pertama, kelompok yang percaya bahwa semua pergaulan manusia itu harus dilakukan secara sukarela dan disetujui oleh semua orang yang terlibat di dalam pergaulan itu. 

Mereka menekankan bahawa segala bentuk paksaan atau kekerasan (initiation of force) terhadap seseorang atau harta bendanya adalah satu tindakan yang melanggar falsafah libertarianisme. Kata kerja "paksaan" di sini dimaksudkan penggunaan kekerasan phisik. Kebanyakan yang menganut aliran inii terdiri daripada anarkis individualis dan anarko kapitalis.Kedua pula menekankan pandangan consequentialism dan utilitarian. Berlainan dengan kelompok yang pertama, kelompok ini yang dipanggil minarkis berpendapat yang menggunakan kekuasaa paksaan secara minimum (seperti kutipan cukai untuk membiayai pertahanan, undang-undang dan jalanraya) dapat ditolerir sepanjang menjamin kebebasan peribadi yang sebesar mungkin. Anarko-kapitalis percaya bahwa pasar bebas dapat menguatkan fungsi-fungsi awam yang tradisional seperti pertahanan melalui sektor swasta.
 

Prinsip-prinsip
Perkara pokok di dalam libertarianisme adalah pemilikan peribadi (self-ownership) ataupun kedaulatan individu. Menurut libertarian, seseorang itu berdaulat atas dirinya dan ini termasuk nyawa, kebebasan dan harta bendanya. Oleh karena itu, kebebasan diartikan sebagai suatu keadaan yang bebas dalam perbuatan sepanjang tidak melakukan paksaan atau kekerasan terhadap jiwan, kebebasan dan harta benda orang lain. Prinsip ini dikenai sebagai prinsip ketiadaan paksaan (non-aggression principal).
 

Compatibilisme
Compatibilisme adalah keyakinan bahwa kehendak bebas dan determinisme adalah idei-de yang kompatibel, dan bahwa adalah mungkin untuk percaya keduanya tanpa secara logis tidak konsisten. compatibilists mendefinisikan "kehendak bebas" dengan cara yang memungkinkan untuk hidup berdampingan dengan determinisme (dalam cara yang sama bahwa incompatibilists mendefinisikan "bebas akan" sedemikian rupa sehingga tidak bisa). Compatibilists percaya kebebasan bisa hadir atau tidak dalam situasi untuk alasan yang tidak ada hubungannya dengan metafisika. Misalnya, pengadilan hukum membuat penilaian tentang apakah individu yang bertindak di bawah kehendak bebas mereka sendiri dalam keadaan tertentu tanpa membawa metafisika. Demikian pula, kebebasan politik adalah konsep non-metafisik. Demikian juga, compatibilists mendefinisikan kehendak bebas sebagai kebebasan untuk bertindak sesuai dengan motif seseorang ditentukan tanpa halangan dari orang lain. Sebaliknya, posisi incompatibilist prihatin dengan semacam "metafisik kehendak bebas", yang compatibilists mengklaim tidak pernah didefinisikan secara koheren. 

Compatibilists (determinis lunak alias) sering mendefinisikan sebuah contoh dari "kehendak bebas" sebagai satu di mana agen memiliki kebebasan untuk bertindak. Artinya, agen itu tidak dipaksa atau terkendali. 
Arthur Schopenhauer mengatakan "Manusia dapat melakukan apa yang dia kehendaki tetapi ia tidak dapat akan apa yang ia kehendaki". Dengan kata lain, meskipun agen sering mungkin bebas bertindak sesuai dengan motif, sifat motif yang ditentukan. Juga mencatat bahwa definisi kehendak bebas tidak bergantung pada kebenaran atau kesalahan Determinisme kausal.

Alternatif imajiner

Mengatakan "mungkin ada orang di balik pintu itu" hanya mengungkapkan ketidaktahuan tentang satu, kenyataan ditentukan. Compatibilist akan sering memegang kedua Determinisme kausal (semua efek memiliki penyebab) dan Determinisme Logis (masa depan sudah ditentukan) untuk menjadi kenyataan. Dengan demikian pernyataan tentang masa depan (misalnya, "hujan akan turun besok") adalah benar atau salah bila diucapkan hari ini. 

Hume menambahkan bahwa kehendak bebas Compatibilist itu tidak harus dipahami sebagai semacam kemampuan untuk benar-benar dipilih secara berbeda dalam situasi yang identik. Compatibilist berkeyakinan bahwa seseorang selalu membuat keputusan hanya benar-benar mungkin bahwa mereka bisa. Setiap pembicaraan alternatif secara ketat hipotetis. 
Jika compatibilist mengatakan "Saya dapat mengunjungi besok, atau aku mungkin tidak", ia tidak membuat klaim metafisik bahwa ada beberapa kemungkinan masa depan. Dia mengatakan dia tidak tahu apa masa depan akan ditentukan. 

John Locke
Empirisme

Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman manusia. Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan. Empirisme lahir di Inggris dengan tiga eksponennya adalah David Hume, George Berkeley dan John Locke.

Empirisme adalah suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan dan mengecilkan peranan akal. Istilah empirisme sendiri diambil dari bahasa Yunani yakni Empeiria yang berarti coba-coba atau pengalaman. Empirisme memilih sumber utama pengetahuan bukan dari rasio melainkan pengalaman.

Ciri Pokok Empirisme
Paham empirisme ini mempunyai ciri-ciri pokok. Di antara ciri-ciri pokok empirisme yaitu:
 

Teori tentang makna
Teori pada aliran empirisme biasanya dinyatakan sebagai teori tentang asal pengetahuan yaitu asal usul ide atau konsep. Pada abad pertengahan, teori ini diringkaskan dalam rumus Nihil Est in Intellectu Quod Non Prius Feurit in Sensu (tidak ada sesuatu di dalam pikiran kita selain didahului oleh pengalaman). Pernyataan ini merupakan tesis Locke yang terdapat dalam bukunya “An Essay Concerning Human Understanding” yang dikeluarkan tatkala ia menentang ajaran ide bawaan (Innate Idea) kepada orang-orang rasional. Jiwa (Mind) itu tatkala dilahirkan keadaannya kosong laksana kertas putih yang belum ada tulisan di atasnya dan setiap ide yang diperolehnya mestinya datang melalui pengalaman, yang dimaksud di sini adalah pengalaman inderawi. 

Hume mempertegas teori ini dalam bab pembukaan bukunya “Treatise of Human Nature (1793)” dengan cara membedakan antara ide dan kesan. Semua ide yang kita miliki itu datang dengan kesan-kesan, dan kesan itu mencakup penginderaan, passion dan emosi.
 

Teori pengetahuan
Menurut rasionalis ada beberapa kebenaran umum seperti setiap kejadian tertentu mempunyai sebab, dasar-dasar matematika dan beberapa prinsip dasar etika dan kebenaran-kebenaran itu benar dengan sendirinya yang dikenal dengan istilah kebenaran apriori yang diperoleh keluar intuisi rasional.Empirisme menolak hal demikian karena tidak ada kemampuan intuisi rasional itu. Semua kebenaran yang disebut tadi adalah kebenaran kebenaran yang diperoleh lewat observasi, jadi ia kebenaran a posteriori.


Empirisme menurut David Hume
Pada awalnya teori Empirisme dicetuskan oleh John Locke, Locke memandang bahwa setiap manusia dilahirkan bagaikan selembar kertas bersih.Pemikiran Locke ini diteruskan dan ditentang oleh David Hume.Hume merupakan puncak aliran empirisme. Hume mengusulkan kita agar kita kembali kepada pengalaman spontan menyangkut dunia. .Hume tidak ingin kita terus-terusan dibelenggu oleh konsepsi tentang dunia.Kita sering membicarakan hal-hal yang berasal dari perenungan dan kehilangan kenyataannya dalam realitas.Kita telah terbiasandengan semua itu, dan tidak merasanperlu untuk menelitinya. Maka Hume menawarkan hal yang lain. Ia ingin tahu bagaimana seorang anak menjalani pengalamannya didunia, tanpa menambahkan sesuatu pada sesuatu yang dialaminya. Karena seorang anak belum menjadi budak harapan dan kebiasaan, jadi pikirannya sangat terbuka pada pengalaman. 

Dalam hidup kita dewasa ini, kita sering mengharapkan sesuatu hal yang berbeda dari yang kita alami.Misalnya seringkali menyebut-nyebut kata malaikat yaitu sosok manusia dengan sayap.Dari manakah kata itu berasal?Hume menyatakan bahwa itu adalah gagasan yang rumit dan tidak bertanggung jawab. 
Prinsip Prioritas Kesan-Kesan ( the principle of the priority of impressions) Hume mengajak kita untuk mengalami realitas memulai relasinya dengan realitas melalui persepsi.Persepsi adalah gambaran inderawi atas bentuk luar dari objek-objek. 
Menurut hume manusia memiliki dua jenis persepsi, yaitu kesan (impressions) dan gagasan (ideas). Kesan dimaksudkan sebagai penginderaan langsung atas realitas lahiriah, dan gagasan adalah ingatan akan kesan-kesan. Contohnya apabila tangan kita terbakar kita akan mendapatkan kesan panas dengan segera. Dan setelah itu kita mengingat bahwa tangan terbakar akan panas, ingatan inilah yang disebut gagasan. Dengan kata lain kesanlah yang membuat kita mengenal realitas. Sedang gagasan adalah tiruan samar-samar dari kesan. 
Hume mengemukakan bahwa kesan maupun gagasan dapat sederhana(tunggal) bisa juga rumit (majemuk). Sebuah gagasan merupakan perpanjangan dari kesan. Misalnya gagasan tunggal berasal dari kesan tunggal. Misalnya gagasan mengenai api, berasal dari kesan indera terhadap api. Sedang gagasan majemuk berasal dari kumpulan kesan majemuk. 
Selanjutnya dalam menyingkirkan istilah-istilah kosong, Hume mununjukkan suatu cara pembersih reduktif, artinya meneliti ide-ide kompleks yang lazim dipergunakan, sejauh mana ide itu dapat di pertanggung jawabkan. Apakah ide kompleks itu dapat dikembalikan pada ide sederhana yang membentuknya. Jika suatu istilah tidak terbukti menyajikan ide yang dapat dianalisa menjadi ide sederhana, maka istilah tersebut tidak mempunyai arti.

Kesan Sensasi dan Kesan Refleksi
Kita memiliki kesan dan gagasan, kesan-kesan itu dibagi Hume menjadi : Kesan sensasi dan kesan refleksi.Kesan sensasi adalah kesan-kesan yang masuk ke dalam jiwa yang tidak diketahui sebab musababnya. Misalnya (ketika kita melihat sebuah meja kayu): benda yang saya lihat adalah meja. Sedangkan kesan refleksi merupakan kesan hasil dari gagasan. Misalnya (ketika kita melihat sebuah meja dari besi): itu meja besi. (kita bisa menentukan itu meja walaupun terbuat dari bahan yang berbeda, karena kita sudah ada kesan sensasi terhadap meja kayu.


F Franchis Bacon
Ruang dan Waktu

Gagasan abstrak menurut Hume berasal dari gagasan particular yang digabung dalam suatu gagasan dengan arti yang bersifat umum.Gagasan mengenai waktu berasal dari urutan kesan terhadap suatu hal. Misalnya kita melihat buah mangga jatuh dari pohon : pada asalnya di dahan, di tengah-tengah, lalu ia berada di atas tanah. Pada saat itu kita melihat ada urutan kesan mengenai buah mangga : pada mulanya, dan kemudian ada di tanah.Pada saat itulah gagasan mengenai waktu terbentuk dalam imajinasi kita. Gagasan mengenai ruang berkaitan dengan keluasan (ukuran).Ide ruang dihasilkan oleh indera penglihatan dan penyentuh. Ketika kamu melihat mangga jatuh ,dibawah pohon sana, kesan kamu mengatakan bahwa mangga itu ada disana. Lalu kamu menyentuhnya dan memastikan bahwa mangga itu benar-benar ada.Pada saat itulah imajinasi kita menemukan gagasan mengenai ada disana, itulah ruang.
Lewat semua teori di atas Hume menentang semua pemikiran dan gagasan yang tidak dapat dilacak kaitannya dengan persepsi indera.Dia ingin menghapuskan seluruh omong kosong tak bermakna yang telah lama mendominasi pemikiran metafisika. Bagaimana cara yang digunakan Hume.

  • Jika kita menerima suatu gagasan. Kita harus memberikan pertanyaan pengujian.Hasil dari pertanyaan itu kita akurkan dengan pengalaman: ada atau tidak. Jika ada,  Apakah ia gagasan particular atau majemuk ? Berdiri di atas kesan apa gagasan itu ? Gagasan itu berasal dari kesan apa ? maka ia bisa dipercayai keberadaannya. 
  • Bagaimanakah Hume menanggapi gagasan mengenai substansi, ego, dan teori hume mengenai kausalitas.
Gagasan mengenai Substansi
Substansi adalah gagasan utama dari Aristoteles.Lawan substansi adalah aksidensi. Relasi / hubungan substansi dan aksidensi adalah sebagai berikut : Substansi merupakan sesuatu yang mendasari suatu hal, sedang aksidensi adalah suatu yang menampakkan diri.Aksidensi dapat berubah tanpa mengakibatkan perubahan substansi. Substansi dapat dikatakan sebagai suatu yang mendasari aksidensi. Atau dengan kata lain substansi adalah suatu yang tetap yang mendasari yang berubahubah. Misalnya, meja adalah tetap meskipun terbuat dari kayu atau besi .Kayu dan besi adalah aksiden, sedang meja adalah substansi. 

  • Apakah ia gagasan particular atau majemuk ? Substansi terdiri dari gagasan : sesuatu yang tetap, sesuatu yang berubah-ubah, Berarti substansi merupakan gagasan majemuk,
  • Gagasan tersebut berdiri atas kesan apa? Substansi terdiri dari gagasan, sesuatu yang tetap, sesuatu yang berubah-ubah.
Sesuatu yang tetap contohnya meja, sesuatu yang berubah-ubah contohnya kayu dan besi. Sesuatu yang tetap itu menurut Aristoteles bisa disimpulkan dari pengamatan kita terhadap sesuatu yang berubah-ubah. Artinya, gagasan tentang meja disimpulkan dari pengamatan kita terhadap: meja kayu dan meja besi. Walaupun terbuat dari bahan yang berbeda tetap dapat disebut meja.sesuatu yang tetap itu disebut substansi. 
Dari uraian Aristotelaes itu, kit adapt simpulkan bahwa yang ditangkap indera sebenarnya adalah sesuatu yang berubah-ubah itu, sedangkan sesuatu yang tetap tidak pernah ditangkap oleh indera. Artinya kesan terhadap substansi tidak pernah ada. Dengan demikian substansi tidak pernah ada.sibstansi merupakan gagasan yang tidak bertanggung jawab.
 

Gagasan mengenai ego
Pembicaraan ego bias dimulai dari pernyataan Descartes “saya berpikir, maka saya ada. Menurut Descartes saya itulah yang dimaksud ego.Substansi yang tetap ada dalam tibuh manusia di mana pun dan kapan pun, ego dianggap sebagai penggerak sekuruh aktivitas manusia.Ego itu secara mutlak adalah saya yang berpikir. Apakah ego gagasan particular atau majemuk ? Saya tidak serta merta berpikir, kadang-kadang saya juga melihat,saya juga mendengar dan lain-lain. Dengan demikian saya adalah gagasan majemuk. Ego berdiri atas kesan apa ? Jika ego merupakan gagasan tunggal seperti yang dikatakan Descartes, semuanya tidak pernah kita rasakan.Kesimpulannya, ego yang digagas Descartes itu tidak terbukti dalam pengalaman.Hume mengatakan ego sejenis itu tidak pernah ada. Omong
kosong !


Kepustakaan:

  1. Philosopy A Text With Reading, Manuel Velasques 10e, WADSWORD Chengage Learning
  2. Filsafat Ilmu: Telaah Analisa Dinamis & Dialektis, Mikhael Dua, Ledeiro 2007.
  3. id.wikipedia.org;
  4. Kamus Filsafat, Loren Bagas, 2000, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
  5. Percikan Filsafat, N. Drijakara, PT. Pembangunan Djakarta,
  6. Filsuf-filsuf Besar Tentang Manusia, Vander Vij, PT. Gramedia Pustaka Utama 1988;
  7. The Story Of Philosophy, Kanisius Yogya 2008;
  8. Pengantar Fenomenologi, Donny Gahral Adian,Koekoesan 2010.
  9. Filsafat Ilmu, HA Fuad Ihsan, Rieneka Cipta 2010.
0 Komentar untuk "REALITAS DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT"

Back To Top