Let's Write !!!

“NGOPI SEBAGAI GAYA HIDUP” (ANALISIS TEORI LEISURE CLASS)



A.           Pendahuluan
Budaya ngopi merupakan kebiasaan yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia, baik di Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan khususnya daerah penulis yaitu kabupaten Gresik. Di Gresik budaya ngopi merupakan gaya hidup yang kerap kali dikonsumsi di berbagai kalangan baik, muda, tua, laki-laki maupun perempuan, di desa maupun dikota, diperumahan maupun di perkampungan. Secara mayoritas kopi menjadi konsumsi keseharian masyarakat Gresik. Masyarakat mengkonsumsi kopi tidak hanya di pagi hari tetapi juga siang, sore, malam bahkan diwaktu subuhpun ada.
Pada awal sejarahnya, ngopi merupakan aktivitas yang lebih banyak dikonsumsi oleh kalangan orang-orang tua yang digunakan untuk sekadar mengisi waktu istirahat mereka. Pada sisi kopinya, kopi dikenal dengan warnanya yang khas yaitu berwarna hitam pekat dengan rasa pahit sedikit manis. Rasa pahit ini dimaksudkan agar dapat menghilangkan rasa kantuk ketika bekerja nantinya. Karena tujuan inilah biasanya aktivitas ngopi dilakukan pada waktu pagi hari –sebelum kerja, siang hari –jam istirahat, dan malam hari. Selanjutnya meluas baik pada aspek konsumen, warung kopi, hingga waktu ngopi.
Dalam konteks Gresik kebiasaan ngopi umumnya dilakukan secara berkelompok, jarang yang sendirian –mungkin yang sering ngopi sendirian adalah penulis. Kebiasaan ini dilakukan dengan berbagai relasi, baik antara masyarakat biasa dengan pemangku kekuasaan –Sekretaris kecamatan- seperti yang terjadi di kecamatan penulis –Kecamatan Bungah. Bisa juga terjadi dalam relasi Kyai dan masyarakat sekitar. Bisa juga terjadi relasi antar kolega. Bisa juga terjadi antara orang tua dan anak.
Maksud dari informasi ini ialah penulis bermaksud menyuguhkan informasi bahwa sesungguhnya kebiasaan ngopi biasanya tidak lagi berbicara apakah ia Kyai, santri, kepala sekolah, guru, anak, orang tua, dosen, mahasiswa, dan sebagainya. Artinya kebiasaan ngopi terjadi dalam relasi semua kalangan. Di warung kopi itulah tidak lagi mengenal struktur, semua orang duduk di kursi yang sama, kopi yang sama dan fasilitas yang sama. Ini kebiasaan ngopi yang terjadi di Desa.
Berbeda dengan yang ada di desa, di Kota pada umumnya masih banyak Warung Kopi yang ada di pinggir-pinggir jalan. Namun dalam perkembangannya hingga saat ini, ternyata juga mulai marak muncul coffe shoop yang mulai berdiri di pinggir-pinggir jalan kota hingga malam seperti Starbucks, TJ Coffe Shop, Greenland Coffee Shop, dan sebagainya. Konsumen dari coffe shop di kota lebih banyak dikonsumsi oleh orang-orang yang kaya, pejabat, dan orang-orang kelas atas. Namun tidak jarang pula orang-orang yang tidak begitu kaya, kelas sosial rendah dan berpenghasilan kecil minum kopi di tempat tempat tersebut. Pada aspek menu kopi yang ditawarkan berbeda dengan yang ada di desa, kalau di desa umumnya kopi berwarna hitam pekat, di kota justru memiliki variasi-variasi minuman kopi yang memiliki perbedaan mencolok. Seperti coffe ice cream, banana coffe, dan sebagainya.
Tulisan ini menjadi seksi untuk dikaji karena dalam asumsi penulis ada disparitas kebiasaan ngopi antara di desa dan dikota, baik pada aspek makna dan motif dari kebiasaan ngopi. Selain itu ngopi merupakan kebiasaan yang membudaya dikalangan manapun dan sudah terinternalisasi bahwa aktivitas ngopi hukumnya wajib. Hal ini dapat dilihat dari berbagai simbol-simbol yang tercitra di publik, seperti : “gak ngopi gak keren”, “ngopi sek ben gak salah paham”, “ngopi sek ben gak loro pikir”, “gak ngopi gak sangar”, ”ngopi budaya khas Gresik” dan sebagainya.

B.            Kajian Teori
Kata Leisure berarti “waktu luang”. Dari term ini menunjukkan bahwa Leisure Class merupakan teori yang menjelaskan tentang perilaku seseorang dalam menggunakan waktu luangnya. Dari pengertian ini menunjukkan bahwa Leisure ada kaitannya dengan penggunaan waktu luang yang dalam perkembangannya diartikan menjadi “kelas pemboros”. Ketika diartikan demikian, maka Leisure Class mengalami perkembangan pengertian, yaitu suatu kelas pemboros yang mengeluarkan banyak cost demi mengaktualisasikan keinginan atau hasrat dalam penggunaan waktunya. Oleh karena itu, kelompok yang disebut sebagai Leisure Class menjadikan gaya hidup mereka sebagai bagian identitas diri. Tujuannya adalah untuk meningkatkan status sosial dengan cara berlomba-lomba dalam menggunakan barang yang bernilai tinggi baik sadar maupun tidak.
Menurut Baudrillard konsumsi merupakan tindakan yang tersusun secara sistematis untuk memanipulasi tanda, baik sadar maupun tidak. Untuk memperoleh obyek konsumsi, maka obyek yang digunakan harus memuat tanda atau menjadi tanda itu sendiri. Oleh karena itu konsumsi dapat diartikan tanda (sign), sebab konsumsi membutuhkan manipulasi simbol-simbol secara aktif.
Dalam aktivitas konsumsi, seseorang tidak lagi mengkonsumsi sesuatu berdasarkan pada aspek nilai guna (use value) dan nilai tukar (exchange value), tetapi pada aspek nilai tanda (symbolik value). Artinya seseorang hanya akan mengkonsumsi nilai-nilai simbolis yang bersifat abstrak dan terkonstruksi. Baudrillard menjelaskan, orang pada zaman ini mulai mementingkan konsumsi sebagai bentuk usaha dalam mengekspresikan diri yang digunakan untuk mengkomunikasikan dan menafsirkan tanda-tanda budaya kepada yang lain. Sehingga konsumsi dianggap sebagai upaya masyarakat untuk merebut makna-makna posisi atau kedudukan sosial tertentu.
Dalam konteks relasinya seorang Leisure Class tidak lagi terjadi ikatan antar manusia, tetapi antara manusia dengan benda-benda konsumsi. Oleh sebab itulah masyarakat konsumen tidak tidak lagi terikat dengan moralitas, prinsip, budaya dan kebiasaan yang dianutnya selama ini. Namun mereka kini hidup dalam budaya baru yang melihat eksistensi dirinya dari kacamata kuantitas atau jumlah benda-benda yang telah dikonsumsi.
Dari praktek aktivitas inilah kelas sosial seseorang berkaitan erat dengan gaya hidup. Sebab pola konsumsi dalam gaya hidup seseorang akan melibatkan dimensi simbolik dimana tidak hanya yang berhubungan dengan kebutuhan hidup secara fisiologis. Simbolisasi dalam pola konsumsi seseorang pada era modern saat ini akan membentuk identitas diri seseorang diantara individu yang lain dalam masyarakat. sehingga gaya hidup seseorang dapat mencitrakan atau memberikan tanda pada eksistensi seseorang pada suatu kelas sosial tertentu.
Tindakan berkonsumsi dapat dilihat sebagai usaha pernyataan diri, dan cara seseorang untuk bertindak dalam hidupnya dengan cara mengekspresikan identitas dirinya. Sebab konsumsi didorong oleh hasrat untuk menjadi sama dan sekaligus berbeda dengan orang lain. Artinya masyarakat berkonsumsi bukan sebagai upaya untuk pemenuhan kebutuhan, tetapi lebih sebaga bentuk pemenuhan hasrat.
Dari ilustrasi ini menunjukkan bahwa masyarakat pada zaman sekarang ini tidak lagi didasarkan pada kelasnya, tetapi didasarkan pada kemampuannya dalam mengkonsumsi benda-benda. Siapapun memiliki kesempatan untuk dapat menjadi anggota kelompok apapun jika sanggup mengikuti pola konsumsi atau gaya hidup kelompok tersebut. Dari hal inilah terjadi transisi konsumsi tradisional menjadi konsumerisme yang ditandai oleh pengorganisasian konsumsi ke dalam sistem tanda, tetapi cenderung terlibat dalam produk-produk konsumsi, pesan dan makna yang tersampaikan. Sebab seorang Leisure Class merupakan makhluk rasional yang akan mengejar status sosial untuk kebahagiaan mereka sendiri. Mereka cenderung meniru anggota kelompoknya yang lebih dihormati untuk mendapat status sosial yang lebih tinggi. Untuk memperoleh itu mereka akan membeli benda-benda tertentu meski mereka tidak sanggup melakukannya walaupun ada benda yang lebih murah dengan kualitas yang sama.
Dalam masyarakat Leisure Class nilai simbolis menjadi komoditas. Untuk itu, obyek konsumsi harus menjadi tanda. Sebab hanya dengan cara tersebut obyek itu dapat dipersonalisasikan dan bisa dikonsumsi. Hal itupun bukan karena materialnya saja, tetapi juga karena obyek tersebut berbeda dari obyek-obyek lainnya. Dari transformasi dari komoditas menjadi tanda, tanda itu dapat masuk ke dalam serangkaian tanda dan kemudian terserap dalam dunia tanda yang terkonstruk. Tanda-tanda tersebut akan selalu berkompetisi untuk mengalahkan tanda-tanda lainnya melalui iklan. Tanda tersebut kemudian mulai mendominasi pandangan orang lain, membutakan dan membuyarkan kesadaran orang lain dengan penetrasi tanda yang tiada henti.
Menurut Baudrillard akibat penetrasi simbol tersebut kemudian masyarakat menghilang dibalik simbol-simbol tersebut. Dominasi kode-kode, eksploitasi tanda dan jahatnya simbol pada puncaknya kemudian menghilangkan dan membunuh kenyataan. Sehingga karena proses produksi simbol dianggap mengalienasi orang lain tersebut, maka kemudian masyarakat mencari pemenuhan diri melalui konsumsi. Sebab identitas personal akan berfluktuasi dan tidak lagi terikat dengan tradisi-tradisi yang kaku, sebab konsumsi memberikan kesempatan bagi perkembangan nilai kedirian dan pemupukan identitas diri. Masyarakat kemudian juga menjadi seorang yang memiliki moral hedonisme yang mengedepankan kepentingan individu. Kepentingan ini kemudian dihubungkan dengan masyarakat konsumen yang pasif dan mendasarkan identitasnya pada tanda yang berada di belakang barang yang menjadi komoditas yang dikonsumsinya. Hal ini menjadi mungkin karena kapitalis global kegiatan produksi sudah bergeser dari penciptaan barang konsumsi ke penciptaan tanda.

C.           Pembahasan
Ngopi sebagai budaya hidup masyarakat kota maupun desa sesungguhnya dapat dijelaskan melalui teori leisure class yang ditulis oleh Thorstein Veblen dan Teori yang ditulis oleh Jean Baudrillard tentang Masyarakat Konsumsi dan konsep Gaya Hidup.
Masyarakat kota di Kabupaten Gresik yang melakukan gaya hidup ngopi di coffe shop dapat disebut sebagai kelompok Leisure Class, sebab dalam aktifitas ngopi mereka cenderung memilih ditempat-tempat yang memiliki nilai prestise yang tinggi sebagai bentuk pengaktualisasian hasrat diri meskipun mengeluarkan cost yang lebih tinggi daripada di warung-warung pinggiran jalan. Dengan ngopi di caffe shop dapat menjadikan mereka memiliki status sosial tinggi. Mereka enggan ngopi di warung-warung biasa yang berada di pinggiran jalan yang tentu saja bagi mereka tidak memiliki nilai prestise. Sehingga dalam aktifitas ngopi mereka terjadi konstruksi konsumsi tanda (sign).
Secara sadar maupun tidak seorang Leisure Class yang ngopi di coffe shop akan bertindak secara tersusun dan sistematis untuk memanipulasi tanda. Mereka secara aktif menggunakan aktivitas coffe shop untuk memperoleh tanda atau coffe shop menjadi tanda itu sendiri. Artinya coffe shop di jadikan simbol eksistensi dan prestise bagi mereka untuk memanipulasi masyarakat yang lain dari kenyataan.
Leisure Class –penikmat coffe shop- mengkonsumsi coffe shop tidak lagi disebabkan oleh kebutuhan nilai kegunaan coffe shop ataupun nilai tukar dari coffe shop, tetapi mereka ngopi di coffe shop lebih disebabkan nilai tanda. Sebab coffe shop itu sendiri dapat mereka manipulasi menjadi sebuah simbol status sosial tertentu. Mereka mengkonsumsi coffe shop sebagai bentuk upaya dalam menunjukkan diri mereka kepada orang lain melalui penafsiran tanda-tanda budaya kepada orang lain. Oleh karena itu bagi mereka coffe shop dianggap sebagai upaya dalam merebut makna posisi atau kelas sosial tertentu dari orang lain.
Pada konteks relasinya konsumen coffe shop tidak lagi memiliki ikatan dengan manusia lainnya, tetapi mereka memiliki ikatan dengan benda-benda yang berada di coffe shop atau coffe shop itu sendiri, sebab coffe shop sendiri dapat menjadi benda-benda konsumsi yang dapat mereka jadikan sebagai simbol kelas sosial mereka. Dalam hal ini penikmat coffe shop tidak lagi terikat dengan aturan, etika, prinsip, budaya dan kebiasaan yang selama ini dianutnya. Akan tetapi mereka kini hidup dalam budaya baru yang melihat eksistensi diri mereka melalui jumlah banyaknya coffe shop yang telah mereka konsumsi.
Dari praktek-praktek ngopi di coffe shop yang dilakukan secara terus menerus dan berulang-ulang inilah kelas sosial konsumen coffe shop sangat berkaitan dengan gaya hidupnya. Sebab pola ngopi di caffe shop dalam gaya hidup mereka akan melibatkan dimensi simbolik yaitu coffe shop yang tentu saja tidak hanya berhubungan dengan kebutuhan hidup fisiologis belaka. Tindakan penggunaan simbol-simbol dalam pola ngopi di coffe shop seorang Leisure Class kemudian dapat membentuk identitas diri mereka di antara individu-individu lainnya dalam kerumunan masyarakat. Sehingga gaya hidup seseorang kemudian dapat mencitrakan eksistensi diri mereka sebagai kelas sosial tinggi diantara kelas sosial yang lain.
Seorang penikmat coffe shop itu, dapat dilihat sebagai upaya mereka dalam menyatakan dirinya dan cara mereka bertindak dalam hidupnya. Mereka mengekspresikan identitas dirinya sebagai Leisure Class dengan cara ngopi di coffe shop. Perilaku ngopi di coffe shop didorong hasrat mereka untuk menjadi sama dengan kelompok high class sekaligus berbeda dengan kelompok low dan midle class. Artinya mereka ngopi di coffe shop bukanlah untuk berupaya sebagai pemenuhan kebutuhan biologis, akan tetapi sebagai bentuk pemenuhan hasrat diri mereka. Oleh karenanya, pada zaman sekarang ini yang dapat menikmati kopi di coffe shop tidak lagi didasarkan pada kelas sosialnya, tetapi lebih didasarkan pada kemampuannya dalam mengkonsumsi benda-benda coffe shop. Artinya siapapun dapat memiliki kesempatan untuk menjadi anggota kelompok apapun apabila sanggup mengikuti pola konsumsi atau gaya hidup kelompok tersebut. Seorang penikmat kopi di coffe shop akan mengejar status sosial yang lebih tinggi demi memperoleh kebahagiaan mereka sendiri melalui pemenuhan hasrat dengan cara memanipulasi tanda. Mereka meniru anggota kelompoknya yang lebih dihormati untuk memperoleh status yang lebih tinggi. Untuk mendapatkannya, mereka kemudian ngopi di coffe shop tertentu meskipun uang mereka terbatas dan walaupun sesungguhnya di sekitar mereka juga terdapat warung-warung yang menjual kopi yang lebih murah dengan kualitas kopi yang sama atau bahkan lebih baik.
Seorang penikmat kopi yang ngopi di coffe shop menjadikan coffe shop sebagai komoditas. Dengan cara ini coffe shop dapat dipersonalisasikan dan bisa dikonsumsi baik pada aspek kopinya tersebut maupun coffe shop itu sendiri, sebab coffe shop itu sendiri jelas sekali berbeda dengan warung-warung kopi biasa yang ada di pinggir jalan. Hal ini kemudian menjadi tanda bahwa telah terjadi transformasi dari komoditas yang berupa coffe shop menjadi simbol yang masuk dalam kumpulan simbol-simbol yang kemudian terserap dalam dunia simbol yang terkonstruk. Simbol-simbol ini kemudian saling berkompetisi untuk mengalahkan simbol-simbol lainnya melalui iklan. Kebanyakan dari penikmat coffe shop mempublikasikan aktivitas ngopi di coffe shop ini melalui media sosial yang berupa facebook, line, what’sup, tweeter dan semacamnya. Selanjutnya dari publikasi tersebut mulailah mendominasi pandangan, membuyarkan dan membutakan kesadaran orang lain dengan penetrasi simbol secara terus menerus dan berulang ulang dengan tiada henti.
Dari penetrasi simbol oleh penikmat coffe shop itu kemudian mengakibatkan masyarakat penikmat kopi di warung kopi pinggiran jalan menghilang dibalik simbol-simbol tersebut. Dominasi kode-kode, eksploitasi tanda dan jahatnya simbol yang diciptakan oleh penikmat coffe shop kemudian pada puncaknya menghilangkan dan membunuh kenyataan yang ada, kenyataan bahwa si penikmat coffe shop sebenarnya status sosialnya rendah, miskin, terbelakang dan sebagainya. Di hal inilah kemudian prosuksi simbol yang diciptakan oleh penikmat warung kopi dianggap mengaleniasi masyarakat penikmat warung kopi pinggir jalan. Maka masyarakat tersebut kemudian mencari kesempatan pemenuhan diri melalui konsumsi benda-benda yang sama yang dikonsumsi oleh penikmat coffe shop. Kemudian masyarakat itu berfluktuasi dan tidak lagi terikat oleh tradisi-tradisi kaku, sebab dengan konsumsi masyarakat tersebut memiliki kesempatan untuk mengembangkan nilai kediriannya dan kesempatan untuk memupuk identitas dirinya. Oleh karena itulah kemudian masyarakat yang mulanya ngopi di warung-warung pinggiran jalan akhirnya juga memiliki moral hidonisme yang lebih mengedepankan kepentingan pribadi mereka masing-masing. Kepentingan ini kemudian berhubungan dengan masyarakat konsumen yang pasif dan mendasarkan identitasnya pada simbol yang berada di balik coffe shop yang menjadi komoditas yang dikonsumsinya.
0 Komentar untuk "“NGOPI SEBAGAI GAYA HIDUP” (ANALISIS TEORI LEISURE CLASS)"

Back To Top