Let's Write !!!

HUBUNGAN ETIKA DAN ILMU


Hakekat  Ilmu Berdasar pada Ontologi Ilmu dan Epistimologi ilmu

Ilmu merupakan salah satu dari buah pemikiran  dan pengetahuan manusia. Untuk bisa  menghargai ilmu sebagaimana mestinya sesungguhnya kita harus mengerti apakah hakekat ilmu sebenarnya. Orang-orang yang mendewa-dewakan ilmu sebagai satu-satunya sumber kebenaran biasanya tidak mengetahui  hakekat ilmu yang sebenarnya.Demikian juga sebaliknya, dengan mereka yang memalingkan muka dengan ilmu, mereka yang tidak mau melihat kenyataan betapa ilmu telah membentuk peradaban seperti  apa yang kita punyai sekarang ini. Kepicikan seperti ini kemunkinan besar disebabkan karena mereka kurang mengenal hakekat ilmu yang sebenarnya.  Menghadapi dua pendapat yang ekstrim ini seyogyanya kita harus berdiri di tengah dengan menyadari bahwa meskipun ilmu memang memberikan kebenaran, namun kebenaran keilmuan bukanlah satu-satunya  kebenaran dalam hidup kita ini. Terdapat barbagi sumber kebenaran lain yang memperkaya khazanah kehidupan kita, dan semua kebenaran itu mempunyai manfaat asal di letakkan di tempat yang layak. Kehidupan terlalu rumit untuk di analisi hanya oleh satu jalan pemikiran.

Dasar antologi ilmu membatasi diri hanya menelaah seluruh aspek kehidupan yang dapat di uji oleh panca indra manusia. Berdasarkan objek yang ditelaanya ilkmu dapat disesbut sebagai pengetahuan empiris dimana objek-objek yang berbeda diluar jangkauan manusia tidak termsuk kedalam bidang  penelaahan keilmulan tersebut. Pengetahuan keilmulanmengenai objek empiris ini pada dasarnya merupakan abstraksi  yang disederhanakan.Hal ini perlu dilakukan, sebab kejadian alam yang sesungguhnya begitu kompleks dengan sampel dari berbagai faktor yang terlibat didalamnya.

Namun lain halnya dengan  dasar epistimologi, ilmu merupakan teori pengetahuan yang membahas secara mendalam segala proses  yang terlihat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan  metode keilmuan. Metode inilah yang membedakan ilmu dengan buah pemikiran yang lainya. Atau dengan kata lain, ilmua adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menerapkan metode keilmuan. Karena ilmu merupakan  sebahagian dari pengetahuan, yakni pengatahuan yangmemiliki sifat-sifat tertentu, maka ilmu dapat juga disebut pengetahuan keilmuan. Untuk tujuan inilah, agar tidak terjadi kekacauan antara pengertian “ilmu” dan “pengetahuan” maka kita mempergunakan istila “ilmu”dan “ilmu pengetahuan”.

Ditinjau dari pengetahuan ini, ilmu lebih bersifat merupakan kegiatan daripada sekedar produk yang siap dikonsumsikan. Kegiatan ilmu juga dinamis dan tidak statis. Kegiatan dalam mencari pengetahuan tentang apapun, selama hal ini terbatas pada objek empiris dan pengetahuan tersebut diperoleh dengan mempergunakan metode keilmuan adalah syah disebut keilmuan. Hakekat ilmu tidak berhubungan dengan titel, profesi atau kedudukan, tetapi hakekat keilmuan ditentukan oleh cara berpikir yang dilakukan menurut persyaratan keilmuan.Semoga hal ini bisa menggugah kesadaran kita untuk tidak menempatkan ilmu pada suatu struktur feodalisme yang terselubung. Ilmu bersifat terbuka, demokratis dan menjunjung kebenaran diatas segala-galanya.


Pengertian Etika

Etika adalah pembahasan baik buruk, semestinya, benar dan salah. Yang paling menonjol adalah tentang baik dan teori tentang kewajiban. Keduanya bertalian dengan hati nurani. Bernaung dalam filsafat moral (Herman Soewardi 1999). Etika merupakan tatanan konsep yang melahirkan kewajiban itu, dengan argumen bahwa kalau sesuatu tidak di jalankan berarti akan mendatangkan bencana atau keburukan bagi manusia.

Selain itu, etika merupakan ilmu yang menyelidiki  segala perbuatan manusia  kemudian menetapkan hukum baik dan buruknya.Etika mempersoalkan norma-norma  yang dianggap berlaku, etika juga mengantar individu kepada kemampuan untuk bertindak sesuai dengan apa yang  dapat dipertanggungjawabkan.Oleh karena itu, etika pada dasarnya adalah seperangkat kewajiban-kewajiban tentang kebaikan yang pelaksanaanya tidak di tunjuk. Pelaksanaanya menjadi jelas ketika sang subjek memghadapi opsi baik atau buruk yang baik itulah materi kewajiban pelaksana dalam situasi ini.

Sifat dasar etika adalah kritis, yaitu membuat individu dapat mengambil sifat  yang rasional  terhadap semua norma. Etika dapat menjadi  alat pemikiran rasional dan bertanggung jawab bagi masyarkat, artinya masing- masing bertanggungjawab terhadap perbuatannya sendiri. Etika tidak membahas kebiasaan masyarakat yang didasarkan pada adat istiadat yang terikat pada pengertian baik dan buruk tingkah laku manusia, karena adat istiadat terikat pada suatu kondisi daerah, tempat dan geografis kedaerahan.

            Pada tingkat akseologis, pembicaraan tentang nilai-nilai adalah hal yang mutlak. Nilai ini menyankut etika,moral dan tanggung jawab manusia dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Karena dalam penerapannya, ilmu pengetahuan juga punya bias negatif dan destruktif, maka diperlukan patron nilai dan norma untuk mengendalikan nafsu manusia ketika hendak bergelut dengan pemanfaatan ilmu  pengetahuan. Disinilah etika menjadi ketentuan mutlak, yang akan menjadi pendukung yang baik bagi pemanfaatan ilmu pengetahuan dan tekhnologi untuk meningkatkan derajat hidup dan kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Hakekat moral, tempat ilmuan mengembalikan kesuksesannya.


Hubungan Antara Etika Dan Ilmu

            Etika dan ilmu sesungguhnya hal yang tidak boleh terpisahkan satu sama lain, dimana etika  lengket (inhaerent) dengan ilmu. Jujun S, Suriasumantri dalam bukunya ilmu dalam perspektif  mengatakan bahwa dua faham yang berbeda itu tak perlu dilihat sebagai sumber pertentangn. N.Daldjoeni menjelaskan hubungan etika dan ilmu dalam fase empiris rasional,faham pragmatis, logos dan ethos serta kebenaran keilmuan.

Fase empiris rasional

Di zaman Yunani dulu, Aristoteles mengatakan bahw ilmu itu tak mengabdi kepada pihak lain. Ilmu digulati oleh manusia demi ilmu itu sendiri. Sebagai latar belakangnya dikenal ucapan: Primum vivere, deinde philosophari yang artinya kira-kira: berjuang dulu untuk hidup, barulah boleh berfilsafah. Memang, kegiatan berilmu barulah dimungkinkan setelah yang bersangkutan tak banyak lagi disibukkan oleh perjuangan sehari-hari mencari nafkah.

Pendapat orang, kegiatan berilmu merupakan kegiatan mewah yang menyegarkan jiwa. Dengan demikian orang dapat memperoleh banyak pengertian tentang dirinya sendiri dan dunia di sekelilingnya. Menurut faham Yunani, bentuk tertinggi dari ilmu adalah kebijaksanaan. Bersama itu terlihat suatu sikap etika.Di zaman Yunani itu etika dan politik saling berjalan erat. Kebijaksanaan politik mengajarkan bagaimana manusia harus mengarahkan negara. Sebaliknya ilmu tak dapat mengubah apa-apa, baik yang ada maupun yang akan datang. Pada masa itu, ilmu adalah sekedar apa yang dicapai; ilmu tak dirasakan sebagai suatu tantangan.

Tugas suatu generasi terbatas pada mencapai ilmu tersebut, untuk kemudian diteruskan kepada generasi berikutnya. Belum ada tuntutan supaya sebelum ilmu diteruskan harus terlebih dulu dikembangkan. Baru sejak abad ke-17 ilmu giat dikembangkan di Eropa; orang juga mencari apa tujuan sebenarnya dari ilmu. Dengan itu fase yang sifatnya empiris rasional mulai bergeser ke fase eksperimental rasional. Sifat progresif ini menunjukkan bahwa ilmu bukan sekedar tujuan bagi dirinya sendiri melainkan suatu sarana untuk mencapai sesuatu.

Faham pragmatis

Jika sekarang ditanyakan kepada kita: apakah sebenarnya tujuan dari ilmu itu; jawaban dapat beraneka. Misalnya, untuk kemajuan, perkembangan ekonomi dan teknik, kemewahan hidup, kekayaan, kebahagiaan manusia. Mungkin ada yang mau menambahkan yang lebih mulia lagi seperti: untuk menemukan harta-harta ciptaan Tuhan.Demikian, tadi cara manusia merenungkan tujuan ilmu. Bukan ilmu sebagai sesuatu yang abstrak, melainkan yang kongkret kita hayati. Ilmu yang memunculkan diri berdampingan dengan gejala kerumitan spesialisasi, rutin kerja, krisis ekonomis, teknik perang modern, aneka gangguan rohani dan dehumanisasi.Dalam menggerayangi hakekat ilmu, sewaktu kita mulai menyentuh nilainya yang dalam, di situ kita terdorong untuk bersikap hormat kepada ilmu. Hormat ini pertama-tama tak diajukan kepada ilmu murni tetapi ilmu sebagaimana telah diterapkan dalam kehidupan.

Sebenarnya nilai dari ilmu terletak pada penerapannya. Ilmu mengabdi masyarakat sehingga ia menjadi sarana kemajuan. Boleh saja orang mengatakan bahwa ilmu itu mengejar kebenaran dan kebenaran itu inti etika ilmu, tetapi jangan dilupakan bahwa kebenaran itu ditentukan oleh derajat penerapan praktis dari ilmu. Pandangan yang demikian itu termasuk faham pragmatis tentang kebenaran. Di situ kebenaran merupakan suatu ide yang berlandaskan efek-efeknya yang praktis.

Logos dan Ethos

Apa yang sebenarnya merupakan daya tarik dari ilmu bagi ilmuwan? Van Peursen sehubungan dengan ini menunjukkan pada sifat ilmu yang tak akan selesai. Dijelaskan bahwa ilmu itu beroperasi dalam ruang yang tak terbatas. Kegiatannya berisi aneka ketegangan dan gerak yang penuh dengan keresahan. Keresahan ilmu itu memang cocok dengan hasrat manusia yang tanpa henti ingin tahu segalanya.Muncul pertanyaan ini: apakah keresahan itu sama dengan kebenaran? Apakah keresahan itu yang menciptakan kebenaran? Tulis Van Peursen: keresahan itu keinginan yang tak dapat dipenuhi atau jarak yang prinsipiil ke kebenaran.

Apakah hubungan antara keresahan ilmu sebagai daya tarik bagi hasrat ingin tahu manusia yang tanpa henti dan kebenaran? Apakah karena kebenaran itu lalu ilmu bukan tujuan bagi dirinya sendiri, sehingga perlu diperhatikan etika sebagai efek tambahan dari ilmu setelah diterapkan dalam masyarakat?. Untuk menjawabnya perlu diketahui hubungan antara logos dan ethos sebagai berikut. Martin Heidegger mengatakan bahwa jika kita sebutkan manusia itu memiliki logos, itu tak berarti bahwa manusia sekedar ditabiati oleh akal. Ditunjukkannya bahwa logos bertalian dengan kata kerja legein yang artinya macam-macam, dari berbicara sampai membaca; kemudian diluaskan menjadi memperhatikan, menyimak, mengumpulkan makna, penyimpan dalam batin, berhenti untuk menyadari.

            Dalam arti yang disebut terakhir itu, logos bertemu dengan ethos dan ethos ini dapat berarti penghentian, rumah, tempat tinggal, endapan sikap. Kemudian arti logos selanjutnya: sikap hidup yang menyadari sesuatu, sikap yang mengutamakan tutup mulut untuk berusaha mendengar, dengan mengorbankan berbicara lebih. Sehubungan ini Karl Jasper menulis bahwa ilmu adalah usaha manusia untuk mendengarkan jawaban-jawaban yang keluar dari dunia yang dihuninya. Di sinilah lengketnya etika dengan ilmu!

Kebenaran Keilmuan

Apa hubungan antara tak akan selesainya ilmu dan usaha mendengarkan jawaban? Batas dari ilmu sesungguhnya bukanlah suatu garis yang dicoretkan dengan tergesa-gesa di belakang gambaran tentang dunia yang terbatas ini, sebagai petunjuk tentang selesainya sesutu. Batasnya justru berupa suatu pespektif baru yang membukakan diri, sebagai petunjuk bahwa manusia siap untuk mendengarkan. Dengan demikian, tak akan ada pertentangan antara masalah dan rahasia, antara pengertian dan keajaiban, antara ilmu dan agama.

Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang kehidupan. Kebenaran memang merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Dengan demikian maka pengabdian ilmu secara netral, tak berwarna, dapat melunturkan pengertian kebenaran, sehingga ilmu terpaksa menjadi steril. Uraian keilmuan tentang masyarakat sudah semestinya harus diperkuat oleh kesadaran terhadap berakarnya kebenaran. Seperti disebutkan di depan, ilmu bukan tujuan tetapi sarana, karena hasrat akan kebenaran itu berhimpit dengan etika pelayanan bagi sesama manusia dan tanggung jawab secara agama. Sebenarnya ilmuwan dalam gerak kerjanya tak usah memperhitungkan adanya dua faktor: ilmu dan tanggung jawab, karena yang kedua itu sudah lengket dengan yang pertama.Ilmu pun lengket dengan keberadaan manusia yang transenden dengan kata-kata lain, keresahan ilmu bertalian dengan hasrat yang terdapat dalam diri manusia. Di situ terdapat petunjuk mengenai kebenaran yang transenden. Dengan ini berarti pula bahwa titik henti dari kebenaran itu terdapat di luar jangkauan manusia!
0 Komentar untuk "HUBUNGAN ETIKA DAN ILMU"

Back To Top