Let's Write !!!

Fenomena Sosial-Budaya Dalam Perspektif Teori Interaksionis Simbolik

Tokoh utama yang mengembangkan teori interaksionis simbolik adalah Herbert Mead; Horton Cooley; Herbert Blumer; dan Erving Goffman. Dalam kajian ini penjelasan teori interaksionis simbolik akan banyak menguraikan pandangan-pandangan George Herbert Mead dan Herbert Blumer, karena dua tokoh ini dianggap oleh para teoritisi sosial sebagai pendekar teori interaksionis simbolik.  Perspektif  teori interaksionis simbolik  H.Mead  dan Blumer sebenarnya berada di bawah payung ‘perspektif fenomenologi’ dan termasuk dalam paradigma ‘definisi sosial’ (Rossides, 1978; Soeprapto, 2002). Perspektif fenomenologis adalah mewakili semua pandangan ilmu sosial yang menganggap ‘kesadaran atau jiwa manusia dan makna subjektif sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial-budaya’. Pandangan fenomenologi atau teori interaksionis simbolik juga sering disebut teori dalam ‘perspektif interpretif (Johnson dan Hunt, 1984; Mulyana, 2002). Ada beberapa pandangan penting teori interaksionis simbolik Herbert Mead dan Herbert Blumer, dalam memahami fenomena sosial budaya atau tindakan sosial individu dalam masyarakat.
Interaksionis simbolik dalam memahami ‘realitas sosial-budaya’,  baik versi Mead maupun Blumer, adalah: sejatinya realitas sosial-budaya itu tidak pernah ada di dunia nyata, melainkan secara aktif ‘diciptakan’ ketika manusia bertindak ‘di dan terhadap’  dunia atau lingkungan sekitarnya. Apa yang nyata bagi manusia tergantung pada definisi, interpretasi (penafsiran), dan pandangan individu itu sendiri. Jadi, manusia dalam melakukan sesuatu selama proses sosial budaya adalah mendasarkan pada pemahamannya dan pengetahuannya sendiri tentang dunia atau lingkungannya, apakah sesuatu itu bermakna atau berguna bagi hidupnya. Manusia mendefinisikan objek fisik dan non fisik adalah berdasarkan ‘kegunaan dan tujuannya’ (Mulyana, 2002; Soeprapto, 2002). Dalam pandangan teori Interaksionis simbolik H mead dan Blumer, manusia selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu, baik menyangkut pandangan tentang: Diri dan lingkungannya; Tujuannya; Orientasi hidupnya; Simbol-simbol yang digunakan; Aturan-aturan; Peralatannya dan sebagainya. Oleh karena itu memahami manusia harus dengan pendekatan dinamik dan kontekstual serta menyelami pikiran atau pendangannya (Poloma,  1979, Mulyana,  2002).
Interaksionis simbolik dalam memahami individu’, baik versi Mead maupun Blumer, adalah: bahwa Individu merespons suatu ‘situasi simbolik’. Individu merespons lingkungan, termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial-budaya (tindakan sosial di masyarakat)  berdasarkan makna yang terkandung dalam objek tersebut. Ketika individu menghadapi situasi, responnya bukan bersifat mekanis, tidak juga ditentukan oleh objek itu (eksternal seperti pandangan fungsional struktural), melainkan ditentukan oleh ‘Diri, Jiwa, Pikiran’ individu dalam mendefinisikan, menafsirkan atau menginterpretasikan situasi itu sesuai dengan kedalaman makna yang terkandung dalam situasi itu. Jadi, individu bersifat aktif bukan pasif (Ritzer,  2001). Dalam pandangan teori Interaksionis simbolik, hakikat ‘makna sesuatu’ adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan ‘dinegoisasikan’ melalui penggunaan bahasa. Makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu kewaktu, sejalan dengan perubahan situasi atau kondisi yang dialami dan ditemukan individu dalam proses interaksi sosial.
Bagi Mead dan Blumer, bahwa dengan ‘bahasa’  manusia memungkinkan untuk menjadi makhluk yang ‘sadar diri’ (self conscious) dalam proses interaksi sosial. Kunci dalam proses interaksi adalah ‘simbol’. Simbol merupakan sesuatu yang ‘berada demi’ (stands for) yang lain. Semua interaksi sosial antar individu atau antar kelompok individu adalah melibatkan suatu pertukaran simbol. Contoh, kata ‘mobil’ merupakan suatu simbol, artinya dengan menyebut kata mobil, maka antar individu dapat memikirkan ‘mobil’ sesuai konsep pikiran masing-masing (jenis mobil, baru/ bekas, warna mobil dsb) walaupun wujud mobil itu tidak terlihat, demikian juga semua tindakan sosial manusia dalam proses interaksi sosial merupakan ‘pertukaran simbol’.
Interaksionis simbolik dalam memahami tentang  Pikiran’ (Mind), yaitu, Pikiran adalah kemampuan manusia dalam menggunakan simbol untuk menunjukkan objek di sekitarnya, atau ‘Pikiran’ adalah kemampuan memahami simbol (Turner,J., 1982).. Pikiran lebih merupakan ‘proses’ daripada ‘struktur’ (dalam pandangan fungsional struktural, pikiran adalah bagian dari struktur). Sedangkan ‘Diri’ (self) pada dasarnya adalah kemampuan untuk menempatkan seseorang sebagai subjek sekaligus objek. Diri (self) tidak mungkin ada tanpa adanya pengalaman sosial. Setiap diri itu berkembang ketika orang belajar ‘mengambil peranan orang lain’ dalam proses interaksi sosial. Tindakan manusia dalam proses interaksi sosial tidak ditentukan oleh faktor eksternal, melainkan ditentukan oleh faktor internal, yaitu: pikirannya, motivasinya, pengetahuannya, pandangan hidupnya. Jadi, kualitas faktor internal tersebut itulah yang membentuk objek, menilai berdasarkan makna dan memutuskan untuk berbuat berdasarkan makna itu (Turner,J., 1982; Poloma,  2000). 
Interaksionis simbolik dalam memahami tentang  ‘Masyarakat’, baik versi Mead maupun Blumer, adalah: bahwa masyarakat sebagai suatu organisasi interaksi, tergantung pada pikiran atau pandangan individu-individu dalam masyarakat. Masyarakat juga tergantung pada kapasitas diri individu. Dengan demikan masyarakat secara terus menerus akan terjadi perubahan, karena pikiran individu terus berubah melalui interaksi simbolik (Turner,J., 1982). Masyarakat sebagai penyaji sistem sosialisasi yang dinamik, dan fenomena sosial-budaya  itu sendiri dirumuskan individu-individu dari proses interaksi dan sosialisasi melalui sejumlah tingkat yang berbeda (Soekanto, 2002).
Teori interaksionis simbolik Blumer adalah bertumpu pada tiga premis utama, yaitu: (a) manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka, (b) makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang lain, dan (c) makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial sedang berlangsung (Soeprapto, 2002).
Dari penjelasan tersebut di atas, maka ‘asumsi dasar’ teori interaksionis simbolik H. Mead dan Blumer adalah: (a) Individu, adalah rasional dan produk dari hubungan sosial (interaksi sosial). Individu bukalah merupakan kepribadian yang terstruktur, pasif, terdeterminasi oleh faktor eksternal, tetapi individu adalah sosok dinamis; (b) Masyarakat, adalah dinamis dan berevolusi, menyediakan perubahan dan sosialisasi yang baru dari individu. Masyarakat dan kelompok selalu berubah dan tergantung oleh pikiran-pikiran individu; (c) Realitas sosial, adalah bersifat individu dan sosial yang dinamik. Individu memiliki ‘pikiran’ untuk menginterpretasikan situasi, menilai tindakan orang lain dan tindakannya sendiri; (d) Interaksi sosial, adalah meliputi ‘pikiran, bahasa dan kesadaran’ akan diri sendiri; Interaksi sosial mengarah pada komunikasi non verbal; Bahasa menciptakan pemikiran dan kelompok; (e) Sikap dan emosi individu dan kelompok dipelajari melalui bahasa; Kebenaran ide, sikap dan perspektif, semua di konseptualisasikan sebagai sebuah proses dari apa yang dia amati selama interaksi; Pola aktivitas sosial itu sendiri memiliki aspek kreatif dan spontan (Turner,J., 1982; Kinloch, 2005)
Para ahli teoritisi ilmu sosial menyimpulkan beberapa substansi pokok dari  asumsi teori interaksionisme simbolik dalam memahami individu dan masyarakat, kedalam tujuh kesimpulan, antara lain: (1) manusia, tidak seperti binatang yang lebih rendah, manusia dibekali dengan segala kemampuan berfikir dan merenung; (2) kemampuan berpikir manusia itu dibentuk oleh proses interaksi sosial dalam kehidupan kelompok; (3) dalam interaksi sosial-budaya orang belajar makna dan simbol yang memungkinkan mereka menerapkan kemampuan khas mereka sebagai manusia, yakni berpikir; (4) makna dan simbol memungkinkan orang melanjutkan tindakan (action) dan interaksi yang khas manusia; (5) orang mampu memodifikasi atau mengubah makna dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan interpretasi mereka atas situasi tertentu; (6) orang mampu melakukan modifikasi dan perubahan ini karena, antara lain, kemampuan mereka berinteraksi dengan dirinya sendiri, yang memungkinkan mereka memeriksa tahapan-tahapan tindakan, menilai keuntungan dan kerugian relatif, dan kemudian memilih salah satunya; (7) pola-pola tindakan dan interaksi yang jalin menjalin itu membentuk kelompok dan masyarakat (Ritzer,  2001; Poloma, 1997). 
Menurut para ahli ada beberapa kesamaan pemikiran antara Max Weber dan H. Mead, antara lain sama-sama: (1) mengambil pendekatan mikroskopik, induktif, evolusioner, sistematis dan normatif terhadap masyarakat sebagai dasar psikologi sosial modern; (2) tertarik pada hubungan antara sikap dan nilai, tertarik pada perubahan nilai sistem dan proses-proses sosialisasi, dan  tertarik dengan pengertian interpretatif mengenai tingkah laku sosial (Kinloch,  2005).
Sedangkan perbedaan pandangan antara teori fungsional struktural-konflik (paradigma fakta sosial) dengan teori interaksionis simbolik (paradigma definisi sosial) dalam memahami perubahan sosial budaya adalah bahwa perubahan sosial-budaya dalam perspektif interaksionis simbolik, sangat ditentukan oleh kemampuan individu dalam menangkap, menafsirkan dan memodifikasi simbol-simbol dalam proses interaksi sepanjang aktivitas sosialnya di masyarakat. Jadi, faktor ‘internal individu’ yang menentukan perubahan sosial budaya. Sedangkan dalam  teori fungsional struktural dan konflik, faktor penentu perubahan sosial budaya adalah  faktor ‘eksternal’, berupa lingkungan, struktur sosial-budaya, konsensus terhadap nilai dan norma, yang oleh Giddens diistilahkan imperialisme positivis atau imperialisme struktural (Giddens, 1985).  
Posisi individu menurut teori  interaksionis simbolik dalam proses perubahan sosial budaya adalah, diposisikan sebagai ‘sosok yang aktif, kreatif, dan dinamik’ dalam membuat kebijakan, memodifikasi pola dan bentuk-bentuk perubahan sosial-budaya melalui proses pemahaman dan pemaknaan simbol selama proses interaksi sosialnya. Sedangkan menurut teori fungsional struktural dan konflik, posisi individu dalam proses perubahan sosial budaya adalah ‘pasif, terdeterminasi oleh struktur norma sosial budaya, individu bagaikan wayang yang tidak punya kreativitas, semua tindakan individu sudah ditentukan oleh faktor eksternalnya’ (Turner,J., 1982; Ritzer, 2001; Soeprapto, 2002).
0 Komentar untuk "Fenomena Sosial-Budaya Dalam Perspektif Teori Interaksionis Simbolik"

Back To Top