Let's Write !!!

MAHASISWA DAN TRANSFORMASI SOSIAL PERSPEKTIF FILOSOFIS DAN AL QUR’AN



Muttaqin Khabibullah, M.Pd.I[1]

Sebelum membicarakan panjang lebar mengenai tanggung jawab sosial sebagai mahasiswa, maka terlebih dahulu perlu memahami mengenai konsep mahasiswa dan transformasi sosial. Sebab dengan penjelasan mengenai kedua konsep ini paling tidak, pembaca dapat melihat dan mengidentifikasi aspek-aspek dari kedua konsep ini yang saling berdialog bukan malah berdiri sendiri (independent). Sebab jika dipahami secara independen maka akan mengakibatkan terhadap disparitas peran diantara kedua konsep tersebut.
Mahasiswa dilihat pada aspek administratif, ialah seseorang yang sedang berproses menimba ilmu yang terdaftar dan sedang menjalani pendidikan pada salah satu bentuk perguruan tinggi, baik akademik, politeknik, sekolah tinggi, institut maupun universitas. Sedangkan menurut Siswoyo mahasiswa merupakan individu yang sedang menuntut ilmu ditingkat perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta atau lembaga lain yang setingkat dengan perguruan tinggi.
Dilihat dari aspek psikologis, mahasiswa diartikan sebagai pelajar yang menimba ilmu pengetahuan tinggi, dimana pada tingkat ini mereka dianggap memiliki kematangan fisik dan perkembangan pemikiran yang luas, sehingga dengan nilai lebih tersebut mereka dapat memiliki kesadaran untuk menentukan sikap dirinya serta mampu bertanggungjawab terhadap sikap dan tingkah lakunya dalam wacana ilmiah. Sedangkan menurut Yusuf mahasiswa dapat dikategorikan pada tahap perkembangan usia 18-25 tahun. Tahap ini dapat digolongkan pada masa transisi remaja akhir sampai masa dewasa awal. Oleh karena itu, pada aspek perkembangannya, tugas mahasiswa ini ialah pemantapan pendirian hidup.
Sedangkan dilihat pada aspek sosial dan politik, A.M. Fatwa dalam Syaifullah Syam mengemukakan mahasiswa merupakan kelompok generasi muda yang mempunyai peran strategis dalam kancah pembangunan bangsa, karena mahasiswa merupakan sumber kekuatan moral (moral force) bagi bangsa Indonesia. Soe Hok Gie menyatakan bahwa mahasiswa merupakan “the happy selected few” yang dapat kuliah dan karena itu mereka harus juga menyadari dan melibatkan diri dalam perjuangan bangsanya. Sedangkan menurut Apudin, mahasiswa merupakan kaum menengah yang tercerahkan, sebagai kaum cendekiawan dan intelektual muda yang memiliki kecenderungan sebagai seorang pemimpin yang mapan dan bila dalam suatu realitas sosial selalu menjadi pembaharu. Karena dari catatan sejarah bangsa, mahasiswa banyak mengukir tinta dalam perjalanan bangsa Indonesia. Mulai dari 1908, 1928, 1945, 1966 hingga momentum reformasi 1998.
Dari beberapa pengertian dari konsep mahasiswa di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa mahasiswa adalah seseorang yang sedang berproses menimba ilmu yang terdaftar dan menjalani pendidikan jenjang perguruan tinggi yang berusia 18-25 tahun yang memiliki peran strategis dalam dalam perjuangan bangsa.
Adapun konsep transformasi sosial (social change) menurut Rogers dkk adalah suatu proses yang melahirkan perubahan-perubahan di dalam struktur dan fungsi dari suatu sistem kemasyarkatan. Selo Soemarjan dan Soelaeman Soemardi mengemukakan bahwa perubahan sosial diartikan sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan-peubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, idiologi, maupun karena adanya difusi atau penemuan-penemuan baru dalam masyarakat tersebut. Sedangkan Soerjono Soekanto merumuskan bahwa perubahan sosial adalah segala perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap-sikap, dan pola perikelakuan di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Dari berbagai deskripsi di atas menunjukkan bahwa pengertian perubahan sosial masih kabur, sehingga butuh batasan yang jelas dan tegas. Oleh karena itulah Iver membatasi perubahan sosial sebagai perubahan dalam hubungan sosial (social relationship) atau sebagai perubahan terhadap keseimbangan (equilibrium) hubungan sosial. Sedangkan menurut Davis perubahan sosial dibatasi sebagai bagian dari perubahan kebudayaan.
Berbicara mengenai transformasi sosial dalam perspektif filsafat, tentu saja harus diawali dengan pembahasan mengenai paradigma yang berlaku dalam transformasi sosial yang berkaitan dengan pendidikan. Sebab mahasiswa merupakan bagian penting dalam proses pendidikan khususnya dalam jenjang pendidikan tinggi. Karena di perguruan tinggilah mahasiswa dapat memperoleh kekuatan intelektual dan kebebasan dalam berpikir. Sehingga aktualisasi dan pertukaran ide antar mahasiswa maupun mahasiswa dan dosen sering terjadi, sehingga disparitas pemahaman atas realitas dapat dihindarkan.
Oleh karena itu, mahasiswa sebagai agen transformasi sosial sudah semestinya memiliki karakter berpikir kritis sebagaimana paradigma kritis di atas. Sebab mahasiswa sebagai manusia pada hakikatnya dilahirkan dalam fitrah yang sama. Sebagai mahasiswa yang memiliki fitrah dan pola pikir kritis seyogyanya dapat merasakan penindasan-penindasan yang terjadi yang dilakukan oleh struktur sosial yang pada mulanya berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup masyarakat malah menjadi alat penindasan.
Dengan paradigma kritis ini, menghendaki mahasiswa untuk melakukan perubahan struktur secara fundamental dalam tatanan politik dan ekonomi masyarakat dimana mahasiswa berada. Dalam perspektif ini, mahasiswa harus mampu membuka wawasan dan cakrawala berpikir masyarakat dan menciptakan ruang bagi mereka untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis tentang diri mereka dan struktur dunianya dalam rangka transformasi sosial. Artinya, mahasiswa harus mampu mendorong masyarakat untuk menjadi subyek atas dunia mereka dan menjadikan dunia menjadi obyek bagi mereka.
Oleh karena itu, melalui perspektif kritis mahasiswa harus memiliki agenda besar untuk melakukan refleksi kritis terhadap the dominant ideology ke arah transformasi sosial (social change). Tugas utama mahasiswa adalah menciptakan ruang bagi masyarakat untuk bersikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil dan egaliter. Mahasiswa tidak mungkin bersikap netral, bersikap obyektif maupun mengambil jarak dengan masyarakat (detachment) seperti anjuran positivisme.[2] Kepeberpihakan kepada masyarakat tertindaslah –mustadh’afien- yang menjadi pilihan satu-satunya yang harus dipilih oleh mahasiswa. Dengan kata lain tugas mahasiswa sebagai agen perubahan yang terdidik adalah memanusiakan kembali manusia yang mengalami dehumanisasi yang disebabkan sistem dan struktur sosial yang tidak adil.[3]
Jadi, Pada hakikatnya paradigma kritis akan mendorong mahasiswa untuk melakukan proses pengembalian manusia pada konsep fitrahnya. Mahasiswa harus melakukan proses “memanusiakan manusia” (humanisasi). Yaitu mengembalikan kondisi manusia yang berada dalam jeratan krisis sosial akibat dominasi peran dari beberapa pelaku sosial yang ada.
Mahasiswa dan kaitannya dengan perubahan sosial bagi masyarakat dalam bentuknya yang paling ideal ialah membangkitkan kesadaran (conscientizacao) diri masyarakat sebagai subjek. Dengan kesadaran sebagai subjek tersebut mahasiswa dan masyarakat dapat memerankan diri mereka sebagai liberative action. Kesadaran ini secara komunal akhirnya membentuk kesadaran sosial di mana kesadaran itu dibangun atas basis relasi intersubjektif masyarakat yang kemudian dapat memainkan peranan dalam rekonstruksi tatanan sosial baru yang lebih demokratis. Tatanan sosial yang demokratis ini merupakan kondisi yang kondusif bagi humanisme dan pembebasan. Pembentukan pola pandang tersebut akan memiliki hegemoni yang sangat represif ketika politik berkolaborasi dengan dimensi lainnya yang menjadi alat legitimasi politik oleh penindas yang ketetapan dan legalitasnya tidak boleh diganggu gugat.
Di dalam Al Qur’an dijelaskan bahwa perubahan sosial merupakan sebuah keniscayaan atau sunnatullah. Sunnatullah ini, menurut al-Qur`an, tidak akan mengalami perubahan, sebagaimana tercantum dalam Q.S. al-Ahzab [33]: 62 dan sejumlah ayat yang lain yang berbunyi:
سُنَّةَ اللَّهِ فِي الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلُ وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَبْدِيلا (٦٢)
Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati peubahan pada sunnah Allah.
Secara etimologi kata sunnatullah (سُنَّةَ اللَّهِ) terdiri dari dua kata, yaitu kata sunnah (سُنَّةَ) dan kata Allah (اللَّهِ). Salah satu pengertian sunnah, secara bahasa, adalah kebiasaan (‘adah/عادة). Kata sunnatullah dan variannya tercantum beberapa kali dalam al-Qur`an.
Selain kata sunnatullah, dalam al-Qur`an juga tercantum kata sunnatuna (سُنَّـتُـنَا), di samping kata sunnatul awwalin (سُنَّةُ الأَوَّلِيْنَ). Tidak kurang dari 13 kali kata sunnatullah dan sejenisnya tercantum dalam al-Qur’an. Dari penelusuran terhadap kata sunnatullah dan sejenisnya yang tercantum dalam al-Qur`an, secara umum dapat dinyatakan bahwa kata-kata tersebut digunakan oleh al-Qur`an dalam konteks kemasyarakatan. Dengan demikian kata sunnatullah dapat diartikan sebagai kebiasaan-kebiasaan yang diberlakukan Allah dalam masyarakat atau ketetapan-ketetapan Allah dalam memperlakukan masyarakat.
Adapun faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan di dalam al Qur’an tersebut pada Q.S. ar-Ra’d [13]: 11 yang berbunyi:
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ (١١)
Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri, dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
Menurut Quraish Shihab, ayat di atas menyatakan ada dua macam perubahan dengan dua pelaku. Perubahan pertama adalah perubahan masyarakat yang pelakunya adalah Allah. Sedangkan perubahan kedua adalah perubahan keadaan diri manusia (sikap mental) yang pelakunya adalah manusia. Perubahan kedua yang merupakan perubahan keadaan diri manusia ini dapat dipahami dari kata ma bi anfusihim (مَا بِأَنْفُسِهِمْ) yang terdapat pada ayat tersebut. Kata ma bi anfusihim (مَا بِأَنْفُسِهِمْ) ini dapat diterjemahkan dengan “apa yang terdapat dalam diri mereka”. Ma bi anfusihim atau apa yang terdapat dalam diri manusia ini, masih menurut Quraish Shihab, terdiri dari dua unsur pokok. Dua unsur pokok itu adalah nilai-nilai yang dihayati dan iradah (kehendak) manusia. Perpaduan antara nilai yang dihayati dan iradah (kehendak) ini dapat menciptakan kekuatan pendorong dalam diri manusia untuk melakukan sesuatu, seperti perubahan sosial.
Faktor lain yang juga dapat mempercepat perubahan sosial adalah faktor ideologi. Ideologi merupakan sistem ide atau gagasan yang dimiliki sekelompok orang yang dijadikan landasan bagi tindakannya. Ideologi dapat menyebabkan kemajuan, di samping dapat menimbulkan kemunduran dan melahirkan berbagai konflik sosial. Jika dihubungkan dengan makna yang tercantum dalam kata ma bi anfusihim (مَا بِأَنْفُسِهِمْ) Q.S. al-Rad [13]: 11, ideologi termasuk dalam kata ma bi anfusihim (مَا بِأَنْفُسِهِمْ) yang terdapat pada ayat tersebut.
Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa, menurut al-Quran, pada hakikatnya perubahan sosial adalah perubahan atau transformasi kesadaran. Kesadaran ini termasuk dalam kata ma bi anfusihim (مَا بِأَنْفُسِهِمْ) yang terdapat pada Q. S. al-Rad [13]: 11. Transformasi kesadaran yang dimaksud adalah kesadaran untuk mencerahkan, membebaskan diri atau jiwa dari kebodohan, penindasan dan dari segala bentuk simbol-simbol zhulumat (kegelapan dan kezaliman), menuju nur (sinar yang terang, cerah). Hal ini dapat dilihat pada firman Allah dalam Q.S. al-Ma`idah [5]: 16 yang berbunyi:
يَهْدِي بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلامِ وَيُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (١٦)
Dengan kitab Itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.
Agen perubahan (agent of change) merupakan seseorang atau kelompok masyarakat yang mendapat kepercayaan sebagai pemimpin pada satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan. Individu kreatif dan individu bermotivasi merupakan salah satu agen perubahan di masyarakat. Agen perubahan sosial ini memiliki peranan penting dalam suatu perubahan sosial yang direncanakan, mengingat bahwa perubahan sosial yang direncanakan senantiasa berada di bawah kendali agen perubahan (agent of change) tersebut.[21]
Oleh karena itulah mahasiswa dianggap memiliki posisi yang strategis sebagai the agent of change sebab dalam diri mahasiswa selain sebagai pemuda, mahasiswa juga memiliki kualitas intelektual yang tinggi atau yang sering disebut sebagai kelompok intelektual.
Di akhir tulisan ini, penulis ingin memberikan sebuah motivasi kepada pembaca, bahwa perubahan merupakan sebuah keciscayaan. Di akhir tulisan Gus Dur dalam buku menggerakkan tradisi berujar lewat ungkapan Cicero bahwa “yang senantiasa berubah adalah perubahan itu sendiri”. Seseorang selamanya tidak akan pernah menemukan kondisi yang sama. Sebab setiap tahun, setiap bulan, setiap pekan, setiap hari, setiap jam, dan setiap detik akan selalu terjadi perubahan. Tugas mahasiswa sebagai the agen of social adalah bagaimana cara mengarahkan perubahan itu pada arah perbaikan kondisi masyarakat yang lebih baik, sejahterah, berkeadilan dan egaliter. Sehingga apa yang dicita-citakan bangsa ini bisa terwujud yaitu, duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi.
Untuk itu mahasiswa perlu mengembangkan wacananya secara radikal, komprehensif dan utuh untuk memahami, menjelaskan dan menganalisis terhadap realitas. Selanjutnya mengembangkan jaringan untuk menambah amunisi sebagai bentuk kolektivitas untuk diarahkan pada tahap selanjutnya, yaitu gerakan sosial dan gerakan perubahan. Salam tangan terkepal maju kemuka, mundur satu langkah adalah sebuah penghianatan.

Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamit Tharieq
Wassalamu’alaikum, Wr., Wb.

Bungah, 06 September 2015



Daftar Rujukan

A’la, Abd. Masyarakat dalam Belenggu “Institusionalized Ignorance” http:// www. radartarakan. co. id/ berita/ default.
Apudin, Mahasiswa dan Masyarakat. Buletin Socius Edisi 1, Januari 2005.
Davis, Kingsley. Human Society. Cetakan ke-13. The Macmillan Company: New York, 1960.
Freire, Paulo Pendidikan yang Membebaskan, pendidikan yang Memanusiakan, dalam terj. Omi Intan Naomi, Menggugat Pendidikan: Fundamentalisme, Konservatif Liberal Anarkis, cet. III, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Ganda, Yahya. Petunjuk Praktis Cara Mahasiswa Belajar di Perguruan Tinggi. Jakarta: Grasindo, 1987.
Gie, Soe Hok. Catatan Seorang Demonstran, Pustaka LP3ES: Jakarta, 2005.
Hartaji, Damar A. Motivasi Berprestasi Pada Mahasiswa yang Berkuliah Dengan Jurusan Pilihan Orangtua. Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma, 2012.
Iver, Mac Negara Modern, Jakarta: Aksara Baru, 1977.
Martono, Nanang Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta: Raja Grafindo, 2012.
Mu’arif, Wacana Pendidikan Kritis; Menelanjangi Problematika Meretas masa depan Pendidikan Kita, Yogyakarta: Ircisod, 2005.
O’Neill, William F. Educational Ideologie; Kontemporari Expressions of Educational Philosophies, a.b. Omi Intan naomi, Pustaka Pelajar; Yogyakarta, 2002.
Shihab, Quraish, Tafsir al-Mishbah, jld. 11, Jakarta: Lentera Hati, 2005.
Shihab, Quraish, Wawasan Al-Quran, Bandung: Mizan, 1996.
Siswoyo, Dwi. Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Pers, 2007.
Soekanto, Soerjono, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Pengantar, edisi keempat, PT Raja Grafindo Persada: Jakarta, 1990.
Sugihen, Bahrein T. Sosiologi Pedesaan; Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada; Jakarta, 1997.
Suwito, Transformasi Sosial: Kajian Epistemologis Ali Syari'ati tentang Pemikiran Islam Modern, Yogyakarta & Purwokerto: Unggun Religi & STAIN Purwokerto Press, 2004.
Syam, Syaifullah. Pola Adaptasi Mahasiswa Baru Jurusan PMPKN FPISP UPI; Studi Analitik pada Mahasiswa Baru Jurusan PMPKN FPISP UPI, Jurnal Civicus (1), 5.
Yusuf, Syamsu. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012.



[1] Muttaqin Khabibullah, M.Pd.I lahir di Gresik pada tanggal 16 Pebruari 1989. Penulis merupakan dosen prodi MPI yang mengampu mata kuliah Filsafat Ilmu di IAI Qomaruddin Gresik. Di samping itu, penulis juga aktif di beberapa lembaga sosial dan pemuda antara lain: SAGAF, GP Ansor, PMII, KNPI, PPK Bungah dan beberapa lembaga lainnya. Selain itu, penulis saat ini sedang melanjutkan studi Doktoralnya di UIN Malang. Adapun buku-buku penulis yang pernah terbit antara lain: The Sunan Giri Award (Perubahan dan Pengalaman Penyelenggaraan Pelayanan Publik Kab. Gresik yang diterbitkan oleh Interpena Yogyakarta tahun 2014); Manajemen Sumber Daya Manusia (diterbitkan oleh Kopertais4 Press 2015). Blog: muttaqinkhabibullah.blogspot.com; email: averoos13@gmail.com.
[2] Positivisme sebagai suatu paradigma ilmu sosial yang dominan juga menjadi dasar bagi model pendidikan liberal. Positivisme pada dasarnya adalah ilmu sosial yang di pinjam dari pandangan, metode dan teknik ilmu alam dalam memahami realitas. Positivisme sebagai suatu aliran filsafat berakar pada tradisi ilmu-ilmu sosial yang dikembangkan dengan mengambil cara ilmu alam menguasai benda, yakni dengan kepercayaan adanya universalisme dan generalisasi, melalui metode determinasi, “fixed law” atau kumpulan hukum teori. Positivisme berasumsi bahwa penjelasan tunggal dianggap “appropriate” untuk semua fenomena. Oleh karena itu mereka percaya bahwa riset sosial ataupun pendidikan dan pelatihan harus di dekati dengan metode ilmiah yakni obyektif dan bebas nilai. Pengetahuan selalu menganut hukum ilmiah yang bersifat universal, prosedur harus dikuantivisir dan di verifikasi dengan metode “scientific” dengan kata lain, positivisme mensyaratkan pemisahan fakta dan values dalam rangka menuju pada pemahaman obyektif atas realitas sosial. 
[3] Dehumanisasi adalah pembengkokan cita-cita untuk menjadi manusia yang lebih utuh, cepat atau lambat kaum tertindas akan bangkit berjuang melawan mereka yang telah mendehumanisasikan kaumnya. Agar perjuangan ini bermakna,kaum tertindas jangan sampai, dalam mengusahakan memperoleh kemanusiaan mereka, berubah menjadi penindas kaum tertindas, melainkan mereka musti mamanusiakan kembali keduanya. 
0 Komentar untuk "MAHASISWA DAN TRANSFORMASI SOSIAL PERSPEKTIF FILOSOFIS DAN AL QUR’AN"

Back To Top