
Ilmu
merupakan salah satu dari buah pemikiran
dan pengetahuan manusia. Untuk bisa
menghargai ilmu sebagaimana mestinya sesungguhnya kita harus mengerti
apakah hakekat ilmu sebenarnya. Orang-orang yang mendewa-dewakan ilmu sebagai
satu-satunya sumber kebenaran biasanya tidak mengetahui hakekat ilmu yang sebenarnya.Demikian juga
sebaliknya, dengan mereka yang memalingkan muka dengan ilmu, mereka yang tidak
mau melihat kenyataan betapa ilmu telah membentuk peradaban seperti apa yang kita punyai sekarang ini. Kepicikan
seperti ini kemunkinan besar disebabkan karena mereka kurang mengenal hakekat
ilmu yang sebenarnya. Menghadapi dua
pendapat yang ekstrim ini seyogyanya kita harus berdiri di tengah dengan
menyadari bahwa meskipun ilmu memang memberikan kebenaran, namun kebenaran
keilmuan bukanlah satu-satunya kebenaran
dalam hidup kita ini. Terdapat barbagi sumber kebenaran lain yang memperkaya
khazanah kehidupan kita, dan semua kebenaran itu mempunyai manfaat asal di
letakkan di tempat yang layak. Kehidupan terlalu rumit untuk di analisi hanya
oleh satu jalan pemikiran.
Dasar
antologi ilmu membatasi diri hanya menelaah seluruh aspek kehidupan yang dapat
di uji oleh panca indra manusia. Berdasarkan objek yang ditelaanya ilkmu dapat
disesbut sebagai pengetahuan empiris dimana objek-objek yang berbeda diluar
jangkauan manusia tidak termsuk kedalam bidang
penelaahan keilmulan tersebut. Pengetahuan keilmulanmengenai objek
empiris ini pada dasarnya merupakan abstraksi
yang disederhanakan.Hal ini perlu dilakukan, sebab kejadian alam yang
sesungguhnya begitu kompleks dengan sampel dari berbagai faktor yang terlibat
didalamnya.
Namun
lain halnya dengan dasar epistimologi,
ilmu merupakan teori pengetahuan yang membahas secara mendalam segala
proses yang terlihat dalam usaha kita
untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui
proses tertentu yang dinamakan metode
keilmuan. Metode inilah yang membedakan ilmu dengan buah pemikiran yang lainya.
Atau dengan kata lain, ilmua adalah pengetahuan yang diperoleh dengan
menerapkan metode keilmuan. Karena ilmu merupakan sebahagian dari pengetahuan, yakni
pengatahuan yangmemiliki sifat-sifat tertentu, maka ilmu dapat juga disebut
pengetahuan keilmuan. Untuk tujuan inilah, agar tidak terjadi kekacauan antara
pengertian “ilmu” dan “pengetahuan” maka kita mempergunakan istila “ilmu”dan
“ilmu pengetahuan”.
Ditinjau
dari pengetahuan ini, ilmu lebih bersifat merupakan kegiatan daripada sekedar
produk yang siap dikonsumsikan. Kegiatan ilmu juga dinamis dan tidak statis.
Kegiatan dalam mencari pengetahuan tentang apapun, selama hal ini terbatas pada
objek empiris dan pengetahuan tersebut diperoleh dengan mempergunakan metode
keilmuan adalah syah disebut keilmuan. Hakekat ilmu tidak berhubungan dengan
titel, profesi atau kedudukan, tetapi hakekat keilmuan ditentukan oleh cara
berpikir yang dilakukan menurut persyaratan keilmuan.Semoga hal ini bisa
menggugah kesadaran kita untuk tidak menempatkan ilmu pada suatu struktur
feodalisme yang terselubung. Ilmu bersifat terbuka, demokratis dan menjunjung
kebenaran diatas segala-galanya.
Pengertian Etika
Etika
adalah pembahasan baik buruk, semestinya, benar dan salah. Yang paling menonjol
adalah tentang baik dan teori tentang kewajiban. Keduanya bertalian dengan hati
nurani. Bernaung dalam filsafat moral (Herman Soewardi 1999). Etika merupakan
tatanan konsep yang melahirkan kewajiban itu, dengan argumen bahwa kalau
sesuatu tidak di jalankan berarti akan mendatangkan bencana atau keburukan bagi
manusia.
Selain
itu, etika merupakan ilmu yang menyelidiki
segala perbuatan manusia kemudian
menetapkan hukum baik dan buruknya.Etika mempersoalkan norma-norma yang dianggap berlaku, etika juga mengantar individu
kepada kemampuan untuk bertindak sesuai dengan apa yang dapat dipertanggungjawabkan.Oleh karena itu,
etika pada dasarnya adalah seperangkat kewajiban-kewajiban tentang kebaikan
yang pelaksanaanya tidak di tunjuk. Pelaksanaanya menjadi jelas ketika sang
subjek memghadapi opsi baik atau buruk yang baik itulah materi kewajiban
pelaksana dalam situasi ini.
Sifat
dasar etika adalah kritis, yaitu membuat individu dapat mengambil sifat yang rasional
terhadap semua norma. Etika dapat menjadi alat pemikiran rasional dan bertanggung jawab
bagi masyarkat, artinya masing- masing bertanggungjawab terhadap perbuatannya
sendiri. Etika tidak membahas kebiasaan masyarakat yang didasarkan pada adat
istiadat yang terikat pada pengertian baik dan buruk tingkah laku manusia,
karena adat istiadat terikat pada suatu kondisi daerah, tempat dan geografis
kedaerahan.
Pada tingkat akseologis, pembicaraan
tentang nilai-nilai adalah hal yang mutlak. Nilai ini menyankut etika,moral dan
tanggung jawab manusia dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk dimanfaatkan
bagi sebesar-besarnya untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Karena dalam
penerapannya, ilmu pengetahuan juga punya bias negatif dan destruktif, maka
diperlukan patron nilai dan norma untuk mengendalikan nafsu manusia ketika
hendak bergelut dengan pemanfaatan ilmu
pengetahuan. Disinilah etika menjadi ketentuan mutlak, yang akan menjadi
pendukung yang baik bagi pemanfaatan ilmu pengetahuan dan tekhnologi untuk
meningkatkan derajat hidup dan kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Hakekat
moral, tempat ilmuan mengembalikan kesuksesannya.
Hubungan Antara Etika Dan Ilmu
Etika dan ilmu sesungguhnya hal yang tidak boleh
terpisahkan satu sama lain, dimana etika
lengket (inhaerent) dengan ilmu. Jujun S, Suriasumantri dalam bukunya ilmu
dalam perspektif mengatakan
bahwa dua faham yang berbeda itu tak perlu dilihat sebagai sumber pertentangn.
N.Daldjoeni menjelaskan hubungan etika dan ilmu dalam fase empiris
rasional,faham pragmatis, logos dan ethos serta kebenaran keilmuan.
Fase empiris rasional
Di zaman
Yunani dulu, Aristoteles mengatakan bahw ilmu itu tak mengabdi kepada pihak
lain. Ilmu digulati oleh manusia demi ilmu itu sendiri. Sebagai latar
belakangnya dikenal ucapan: Primum vivere, deinde philosophari yang artinya
kira-kira: berjuang dulu untuk hidup, barulah boleh berfilsafah. Memang,
kegiatan berilmu barulah dimungkinkan setelah yang bersangkutan tak banyak lagi
disibukkan oleh perjuangan sehari-hari mencari nafkah.
Pendapat
orang, kegiatan berilmu merupakan kegiatan mewah yang menyegarkan jiwa. Dengan
demikian orang dapat memperoleh banyak pengertian tentang dirinya sendiri dan
dunia di sekelilingnya. Menurut faham Yunani, bentuk tertinggi dari ilmu adalah
kebijaksanaan. Bersama itu terlihat suatu sikap etika.Di zaman Yunani itu etika
dan politik saling berjalan erat. Kebijaksanaan politik mengajarkan bagaimana
manusia harus mengarahkan negara. Sebaliknya ilmu tak dapat mengubah apa-apa,
baik yang ada maupun yang akan datang. Pada masa itu, ilmu adalah sekedar apa
yang dicapai; ilmu tak dirasakan sebagai suatu tantangan.
Tugas suatu
generasi terbatas pada mencapai ilmu tersebut, untuk kemudian diteruskan kepada
generasi berikutnya. Belum ada tuntutan supaya sebelum ilmu diteruskan harus
terlebih dulu dikembangkan. Baru sejak abad ke-17 ilmu giat dikembangkan di
Eropa; orang juga mencari apa tujuan sebenarnya dari ilmu. Dengan itu fase yang
sifatnya empiris rasional mulai bergeser ke fase eksperimental rasional. Sifat
progresif ini menunjukkan bahwa ilmu bukan sekedar tujuan bagi dirinya sendiri
melainkan suatu sarana untuk mencapai sesuatu.
Faham pragmatis
Jika
sekarang ditanyakan kepada kita: apakah sebenarnya tujuan dari ilmu itu;
jawaban dapat beraneka. Misalnya, untuk kemajuan, perkembangan ekonomi dan teknik,
kemewahan hidup, kekayaan, kebahagiaan manusia. Mungkin ada yang mau
menambahkan yang lebih mulia lagi seperti: untuk menemukan harta-harta ciptaan
Tuhan.Demikian, tadi cara manusia merenungkan tujuan ilmu. Bukan ilmu sebagai
sesuatu yang abstrak, melainkan yang kongkret kita hayati. Ilmu yang
memunculkan diri berdampingan dengan gejala kerumitan spesialisasi, rutin
kerja, krisis ekonomis, teknik perang modern, aneka gangguan rohani dan
dehumanisasi.Dalam menggerayangi hakekat ilmu, sewaktu kita mulai menyentuh
nilainya yang dalam, di situ kita terdorong untuk bersikap hormat kepada ilmu.
Hormat ini pertama-tama tak diajukan kepada ilmu murni tetapi ilmu sebagaimana
telah diterapkan dalam kehidupan.
Sebenarnya
nilai dari ilmu terletak pada penerapannya. Ilmu mengabdi masyarakat sehingga
ia menjadi sarana kemajuan. Boleh saja orang mengatakan bahwa ilmu itu mengejar
kebenaran dan kebenaran itu inti etika ilmu, tetapi jangan dilupakan bahwa
kebenaran itu ditentukan oleh derajat penerapan praktis dari ilmu. Pandangan
yang demikian itu termasuk faham pragmatis tentang kebenaran. Di situ kebenaran
merupakan suatu ide yang berlandaskan efek-efeknya yang praktis.
Logos dan Ethos
Apa yang sebenarnya merupakan daya
tarik dari ilmu bagi ilmuwan? Van Peursen sehubungan dengan ini
menunjukkan pada sifat ilmu yang tak akan selesai. Dijelaskan bahwa ilmu
itu beroperasi dalam ruang yang tak terbatas. Kegiatannya berisi aneka
ketegangan dan gerak yang penuh dengan keresahan. Keresahan ilmu itu memang
cocok dengan hasrat manusia yang tanpa henti ingin tahu segalanya.Muncul
pertanyaan ini: apakah keresahan itu sama dengan kebenaran? Apakah keresahan
itu yang menciptakan kebenaran? Tulis Van Peursen: keresahan itu keinginan yang
tak dapat dipenuhi atau jarak yang prinsipiil ke kebenaran.
Apakah
hubungan antara keresahan ilmu sebagai daya tarik bagi hasrat ingin tahu
manusia yang tanpa henti dan kebenaran? Apakah karena kebenaran itu lalu ilmu
bukan tujuan bagi dirinya sendiri, sehingga perlu diperhatikan etika sebagai
efek tambahan dari ilmu setelah diterapkan dalam masyarakat?. Untuk menjawabnya
perlu diketahui hubungan antara logos dan ethos sebagai berikut.
Martin Heidegger mengatakan bahwa jika kita sebutkan manusia itu memiliki
logos, itu tak berarti bahwa manusia sekedar ditabiati oleh akal.
Ditunjukkannya bahwa logos bertalian dengan kata kerja legein yang
artinya macam-macam, dari berbicara sampai membaca; kemudian diluaskan menjadi
memperhatikan, menyimak, mengumpulkan makna, penyimpan dalam batin, berhenti
untuk menyadari.
Dalam
arti yang disebut terakhir itu, logos bertemu dengan ethos dan ethos ini dapat
berarti penghentian, rumah, tempat tinggal, endapan sikap. Kemudian arti logos
selanjutnya: sikap hidup yang menyadari sesuatu, sikap yang mengutamakan tutup
mulut untuk berusaha mendengar, dengan mengorbankan berbicara lebih. Sehubungan
ini Karl Jasper menulis bahwa ilmu adalah usaha manusia untuk mendengarkan
jawaban-jawaban yang keluar dari dunia yang dihuninya. Di sinilah
lengketnya etika dengan ilmu!
Kebenaran Keilmuan
Apa hubungan
antara tak akan selesainya ilmu dan usaha mendengarkan jawaban? Batas dari ilmu
sesungguhnya bukanlah suatu garis yang dicoretkan dengan tergesa-gesa di
belakang gambaran tentang dunia yang terbatas ini, sebagai petunjuk tentang
selesainya sesutu. Batasnya justru berupa suatu pespektif baru yang membukakan
diri, sebagai petunjuk bahwa manusia siap untuk mendengarkan. Dengan demikian,
tak akan ada pertentangan antara masalah dan rahasia, antara pengertian dan
keajaiban, antara ilmu dan agama.
Kebenaran
intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu
dengan bidang-bidang kehidupan. Kebenaran memang merupakan ciri asli dari ilmu
itu sendiri. Dengan demikian maka pengabdian ilmu secara netral, tak berwarna,
dapat melunturkan pengertian kebenaran, sehingga ilmu terpaksa menjadi steril.
Uraian keilmuan tentang masyarakat sudah semestinya harus diperkuat oleh
kesadaran terhadap berakarnya kebenaran. Seperti disebutkan di depan, ilmu
bukan tujuan tetapi sarana, karena hasrat akan kebenaran itu berhimpit dengan
etika pelayanan bagi sesama manusia dan tanggung jawab secara agama. Sebenarnya
ilmuwan dalam gerak kerjanya tak usah memperhitungkan adanya dua faktor: ilmu
dan tanggung jawab, karena yang kedua itu sudah lengket dengan yang
pertama.Ilmu pun lengket dengan keberadaan manusia yang transenden dengan
kata-kata lain, keresahan ilmu bertalian dengan hasrat yang terdapat dalam diri
manusia. Di situ terdapat petunjuk mengenai kebenaran yang transenden. Dengan
ini berarti pula bahwa titik henti dari kebenaran itu terdapat di luar
jangkauan manusia!
0 Komentar untuk "HUBUNGAN ETIKA DAN ILMU"