Oleh
: Pdt. Dr. Retnowati
Fakultas
Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana
Abstract
The
research discusses the settlement effort and reconciliation post riot in Situbondo,
East Java. Settlement effort and reconciliation have been carried out by
community in Situbondo. The data on the role of religious community, in this case
Islam and Christian as well as the community in Situbondo in general, is gathered
through observation interview initiated by a survey. Secondary data is gathered
through review of literure relevant to research problems. Conflict, social integration,
and re conciliation theories are used to explain and analyze research problems
based on the data gathered.
The
finding shows that integration in Situbondo community and reconsiliation effort
has been carried out by religious community, Islam, Christian and the whole community
of Situbondo. The local wisdom of community in Situbondo serves as social
capital in manifesting integration in the community and harmonious relation
among religious communities.
Keywords:
Conflict, social integration, and religious community
Abstrak
Penelitian
ini menyangkut upaya penyelesaian dan rekonsiliasi pasca kerusuhan di Situbondo
Jawa Timur. Telah dilakukan upaya-upaya penyelesaian konflik dan rekonsiliasi dari
seluruh warga masyarakat Situbondo dalam
hal ini umat beragama Islam dan Kristen untuk membangun integrasi dalam masyarakat
Situbondo. Untuk mendapatkan data tentang peran umat beragama dalam hal ini Islam
dan Kristen serta masyarakat Situbondo secara umum dilakukan melalui metode wawancara,
pengamatan yang didahului dengan obeservasi ringan sebelum dilakukan penelitian.
Data sekunder dilakukan mengkaji pustaka dan dokumen yang relevan dengan masalah
penelitian. Teori konflik, integrasi sosial dan rekonsiliasi digunakan untuk menjelaskan
dan menganalisa masalah penelitian berdasarkan data-data yang telah diperoleh di
lapangan.
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa integrasi dalam masyarakat Situbondo dan upaya rekonsiliasi
telah dilakukan oleh masyarakat dan umat beragama di Situbodo. Kearifan lokal yang
dimiliki masyarakat Situbondo menjadi modal sosial dalam mewujudkan integrasi dalam
masyarakat sehingga pasca kerusuhan kehidupan masyarakat dan hubungan antarumat
beragama di Situbondo yang mengalami keretakan dapat dipulihkan kembali.
Kata Kunci:
Konflik, Integrasi Sosial dan Umat beragama.
A.
Latar
Belakang Masalah
Konflik
sebagai kategori sosiologis bertolak belakang dengan pengertian perdamaian dan
kerukunan (Hendropuspito, 1984:151). Yang terakhir ini merupakan hasil dari
proses assosiatif, sedangkan yang pertama dari proses dissosiatif. Proses
assosiatif adalah proses yang mempersatukan dan proses dissosiasif sifatnya
menceraikan atau memecah. Konflik dan kerukunan atau perdamaian sebagai fakta
sosial melibatkan minimal dua pihak (golongan) yang berbeda agama. Konflik
menunjuk pada hubungan antara individu dan atau kelompok yang sedang bertikai,
sedangkan perdamaian atau kerukunan menunjuk pada hubungan baik antara individu
atau kelompok.
Dalam
kehidupan beragama sering terjadi friksi, konflik, pertikaian antar umat
beragama yang disebabkan oleh berbagai-bagai alasan yang bukan saja berkaitan
dengan persoalan doktrin agama, namun juga berkaitan dengan masalah di luar
agama seperti persoalan ekonomi, sosial, budaya dan politik. Dalam kehidupan
beragama di Jawa Timur dalam kurun waktu 10 tahun terakhir sering terjadi
berbagai persoalan menyangkut hubungan antar umat beragama. Dalam kasus
pertikaian atau konflik antar umat beragama di Situbondo telah mengakibatkan
kerugian yang sangat besar, bukan hanya infratrusktur, tetapi juga menyisakan
trauma yang mendalam bagi warga masyarakat dan umat beragama yang terlibat
konflik. Selain itu konflik antarumat beragama juga menghasilkan berbagai
persoalan baru yang merusak kehidupan dan keharmonisan antarumat beragama
bahkan tatanan dalam masyarakat Situbondo dan sekitarnya.
Belajar
dari pengalaman Jawa Timur, khususnya Situbondo hubungan antar agama yang
pernah mengalami berbagai persoalan dan konflik yang menyebabkan rusaknya hubungan
kedua agama, dalam hal ini islam dan kristen tidak berakhir dengan kehancuran,
namun justru memberi ruang dan waktu kedua umat beragama untuk melakukan
instropeksi dan saling mengenal kepelbedaan masing-masing agama.
Konflik
antar umat beragama di Situbondo ternyata dapat dikelola dan diselesaikan, dan
bukan hanya itu kedua umat beragama yang saling bertikai telah berhasil
membangun kehidupan bersama sebagai komunitas beragama di tengah masyarakat.
Berbagai kerjasama sosial dan kegiatan dilakukan untuk meningkatkan
persaudaraan. Tentu upaya pemulihan dan rekonsiliasi ini bukan perkara yang
mudah, tetapi membutuhkan perjuangan, komitmen dan kesadaran bersama sehingga konflik
benar-benar dapat diakhiri. Hal ini seperti yang dikatan Usman bahwa, integrasi
bisa saja hidup bersebelahan dengan konflik, bahkan melalui konflik keseimbangan
hubungan dapat ditata dan diciptakan kembali. Konsep yang ditawarkan tersebut
mengisyaratkan bahwa integrasi tercipta melalui proses yang panjang pasca
konflik yaitu melalui, interaksi dan komunikasi yang intensif.
Kelompok-kelompok sosial yang berintegrasi membangun sosial networks dalam
suatu unit sosial yang relatif kohesif.
Cara-cara
yang dilakukan Situbondo, khususnya oleh umat beragama yang terlibat konflik menarik
untuk diteliti yaitu, dengan menggunakan modal sosial yang dimiliki sebagai
sarana untuk mewujudkan perdamaian dan intergarsi dalam masyarakat. Kearifan
lokal yang dimiliki oleh kedua umat beragama yang terlibat konflik menjadi
modal sosial yang mendukung dalam terwujudnya integrasi pasca kerusuhan.
Penelitian
ini dilakukan di Situbondo Jawa Timur yang pernah mengalami konflik sosial
bernuansa agama, mengakibatkan retaknya hubungan antar umat beragama Islam dan
kristen serta rusaknya infrastruktur, menimbulkan kerugian sangat besar baik
milik pribadi masyarakat maupun pemerintah serta lembaga-lembaga sosial
keagamaan. Kiat-kiat yang dilakukan masyarakat Situbondo mengelola konflik
dapat digunakan sebagai model penyelesaian konflik bagi daerah-daerah lain.
Mengingat kebutuhan memelihara hubungan baik antarumat beragama paca konflik semakin
menjadi kebutuhan di berbagai tempat di Indonesia, maka penelitian ini sangat
bermanfaat baik secara teorit is maupun praktis, dalam konteks integrasi sosial
menyangkut kehidupan umat beragama. Di Siotubondo warga masyarakat masih
memelihara nilai-nilai lokal yang terbukti berhasil digunakan dalam rangka
penyelesaian konflik.
Penelitian
ini tidak hendak membahas sebab-sebab terjadinya konflik di Situbondo, tetapi
upaya integrasi sosial yang dilakukan oleh umat beragama yang terlibat konflik
pasca kerusuhan. Namun demikian bukan berarti tidak menjelaskan sama sekali
penyebab konflik, karena ketika hendak berbicara integrasi dan rekonsiliasi
pasca konflik tidak bisa dilepaskan dari konflik itu sendiri. Dalam hal ini
integrasi selalu terkait dengan penyebab konflik karena latar belakang
terjadinya konflik akan berpengarih terhadap bentuk atau model perdamaian yang
hendak dibangun. Dengan demikian teori konflik akan digunakan dalam penelitian
ini bertujuan untuk analisa data. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas
maka masalah penelitian yang hendak dijelaskan dalam peelitian ini adalah,
bagaimana umat beragama di Situbondo membangun integrasi sosial pasca
kerusuhan, dan bagaiaman peran agama dalam integrasi sosial di Situndo.
B.
Kerangka
Teoritik
1.
Agama
dan Konflik Sosial
Weber
dan kaum Weberian (Sanderson,1995) menyatakan fenomena munculnya konflik tidak
sekedar disebabkan oleh ketimpangan sumber daya ekonomi atau produksi saja,
sebagaimana yang disinyalir oleh berbagai pihak selama ini. Dalam hal ini Weber
menekankan bahwa konflik terjadi dengan cara jauh lebih luas dari hal-hal
tersebut. Walaupun demikian ia juga mengakui bahwa sumber daya ekonomi
merupakan ciri dasar kehidupan sosial. Weber melihat banyak tipe-tipe konflik
yang terjadi dalam masyarakat.
Dalam
hal ini ia membedakan dua tipe konflik. Pertama, konflik dalam arena politik.
Konflik ini tidak hanya didorong oleh nafsu untuk memperoleh kekuasaan atau
keuntungan ekonomi oleh sebagian individu atau kelompok. Dikatakan Weber
konflik tipe ini tidak hanya terjadi pada organisasi politik formal, tetapi
juga dalam setiap tipe kelompok, organisasi keagamaan dan pendidikan. Kedua,
konflik dalam hal gagasan dan cita-cita. Konflik tipe ini ditekankan Weber
bahwa individu atau kelompok seringkali tertantang untuk memperoleh dominasi
dalam pandangan dunia mereka, baik yang menyangkut doktrin agama, doktrin nilai
budaya, filsafat sosial, ataupun konsepsi gaya hidup kultural. Jadi dapat
dikatakan di sini di samping kesenjangan ekonomi masih banyak faktor lain yang
bisa menyebabkan terjadinya konflik dalam masyarakat. Seperti yang dikatakan
Robertson(1998) konflik dapat pula ditimbulkan oleh agama.
Dalam
hal ini Dhurkeim menguatkan, meskipun agama dalam tingkat sosial berfungsi
sebagai integrasi kelembagaan masyarakat, tetapi fungsi agama sebagai integrasi
kelembagaan masyarakat pada tingat individu bukannya tidak pernah menimbulkan
masalah, karena kebutuhan masing-masing warga masyarakat yang tidak seragam
sehingga kemungkinan yang timbul dalam persamaan ialah perbedaan kebutuhan
masyarakat yang berfariasi yang pada gilirannya bisa menimbulkan konflik.
Gejala seperti alienasi yang meluas, sinisme yang meningkat, standart moralitas
pribadi yang berubah cepat misalnya dalam pola pekerjaan, seks, keluarga dan
banyak lagi suara pelbagai kelompok yang mengejar kepentingan ekonominya tanpa
memperhatikan kelompok lain juga merupakan keadaan yang oleh Dhurkeim sebagai
ancaman konflik sosial yang pada gilirannya dapat menyebabkan integrasi
(Johnson, 1986:166).
Dalam
hal ini konflik keagamaan dalam kehidupan sosial masyarakat dapat timbul karena
perbedaan pemahaman dalam mengintrepetasikan sumber yang dicampuri atau
didukung oleh aspekaspek lain misalnya politik, ekonomi dan sebagainya.
Perbedaan tersebut menajam disertai batas-batas yang makin jelas satu sama lain
ketika ekonomi dan politik dalam masyarakat mengimplikasi kepelbedaan paham
yang ada. Jadi dapat dikatakan di sini bahwa agama dapat pula memberi andil
terjadinya pertikaian hubungan antar umat beragama.
Dengan
demikian semakin jelas bahwa berbagai masalah sosial dapat menjadi penyebab
konflik dalam masyarakat, seperti yang disebutkan Soekamto (1990), sebab-sebab
konflik antara lain, (1) perbedaan individu-individu, perbedaan pendirian,
sikap dan perasaan bisa melahirkan bentrokan (2) perbedaa kebudayaan. Setiap
anggota masyarakat tidak lepas dari pola-pola yang menjadi latar belakang
pembentuk serta perkembangan kebudayaan kelompok yang bersangkutan. Perbedaan
tersebut dapat disebabkan oleh lingkungan fisik maupun lingkungan sosial
budayanya (3) perbedaan kepentingan. Perbedaan ini menyangkut kepentingan
ekonomi, politik dan sebagainya (4) perubahan sosial.
Perubahan
sosial yang begitu pesat yang didukung globalisasi, modernisasi secara langsung
maupun tidak langusung dapat berpengaruh terhadap nilai -nilai yang ada dalam
masyarakat. Sebagian masyarakat tersebut ada yang menerima perubahan, namun ada
pula yang tidak siap menerima perubahan. Akibat ketidaksiapan itu dapat memicu
konflik dalam masyarakat. Lebih jauh lagi konflik dapat disebabkan oleh perasan
curiga antara anggota masyarakat yang saling berinteraksi (Pranomo, 1998:115).
Perasaan curiga ini disebabkan oleh adanya pandangan yang tidak wajar, penuh
prasanka, mengenai golongan lain atau stereotype negatif yang seing telah
mendarah daging. Rasa curiga juga disebabkan karena perasaan deterministis
hanya pandangan golongan sendirilah yang benar dan golongan lain pada dasarnya
buruk, sehingga tidak ada tempat sikap yang menjiwai toleransi.
Mengacu
pada pendapat di atas dapat dikatakan bahwa konflik sosial dalam masyarakat
dapat disebebakan karena masalah-masalah sosial budaya, idiologi yang tidak
sama. Dan adanya perasaan curiga, tidak senang, cemburu disertai dengan
stereotype terhadap individu, kelompok yang berbeda dengan kelompoknya. Dalam
hal ini faktor prasangka (predjudice), yaitu sikap negatif terhadap seseorang
disebabkan karena kurangnya keterbukaan dan saling mengenal secara benar dan
baik antara orang atau kelompok satu terhadap yang lain.
Dari
berbagai pengalaman sejarah tentang pertikaian atau konflik antar umat manusia
dapat dipastikan bahwa konflik tidak pernah dapat membawa perdamaian dalam
hubungan antar individu maupun kelompok. Selanjutnya ketidak damaian tidak
pernah menghasilkan kesejahteraan bagi umat manusia, melainkan melahirkan
kekacauan dan ketidaktentraman dalam hidup. Karena itu konflik tidak perlu
berkepanjangan melainkan perlu diakhiri dan diselesaikan. Dalam hal ini Simmel
dalam Johnson (1994) mengemukakan beberapa cara untuk mengakhiri konflik.
Pertama,menghilangkan
dasar-dasar konflik dari tindakan mereka yang terlibat konflik. Kedua,
kemenangan pihak yang satu dan kekalahan pihak yang lain. Ketiga, kompromi,
keempat, perdamaian. Kelima, ketidak mungkinan untuk berdamai. Dengan demikian
meskipun konflik meripakan gejala sosial alamiah namun tidak perlu
berkepanjangan. Alasan atau motivasi mengakhiri konflik bisa karena bosan atau
lelah atau adanya keinginan untuk mencurahkan tenaganya untuk hal-hal lain.
Nasikun
(1995) menawarkan beberapa cara untuk pengendalian konflik, pertama, melalui
konsiliasi yaitu, pengendalian konflik yang terwujud melalui lembaga-lembaga
tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan
diantara pihak-pihak yang terlibat konflik mengenai persoalan-persoalan yang
dipertentangkan melalui cara-cara yang bersifat damai. Kedua, pengendalian
konflik melalui mediasi. Cara ini diperlukan bila pengendalian melalui
konsiliasi tidak berhasil. Pengendalian konflik melalui jalan mediasi ini dapat
dilakukan dengan penunjukkan pihak ketiga yang diharapkan dapat memberi
nasehatnasehat tentang bagaimana orang yang terlibat konflik sebaiknya
menyelesaikan konflik di atarata mereka. Namun dalam hal ini nasehat pihak
ketiga tidak mengikat pihak-pihak yang terlibat konflik, nasehat pihak ketiga
ini boleh dilaksanakan atau tidak dilaksanakan. Ketiga, pengendalian konflik
melalui cara perwasitan. Jika konflik terus berlanjut, maka dibutuhkan
pengendalian konflik melalui cara pewasitan. Melalui cara ini pihak-pihak yang
terlibat konflik bersepakat atau terpaksa menerima pihak ketiga untuk
memberikan keputusankeputusan tertentu untuk menyelesaikan konflik yang
terjadi, dalam hal ini pihak-pihak yang terlibat konflik berada dalam kedudukan
untuk mengambil keputusan-keputusan yang diambil wasit.
Pengendalian
atau penyelesaian konflik yang dimaksud di sini bukan merupakan penyelesaian
semu, namun yang utama adalah mencari sebab-sebab yang terdalam yang
menyebabkan munculnya konflik dipermukaan. Pengendalian konflik ini untuk
mencegah timbulnya disintegrasi dalam masyarakat. Asumsinya adalah, jika
penanganan konflik ini cukup efektif maka dengan sendirinya akan tercipta
integrasi antara kedua kelompok yang terlibat konflik. Namun jika penanganan
konflik tidak efektif bukan tidak mungkin konflik atau kerusuhan akan terjadi
lagi pada masa-masa yang akan datang.
Selanjutnya
agar penyelesaian konflik bukan penyelesaian semu, maka pada pascakonflik perlu
dibangun kembali hubungan baik antara pihak yang terlibat konflik. Pemulihan
hubungan baik ini untuk mengatasi api dalam sekam, agar konflik semacam ini
tidak muncul lagi di masa-masa yang akan datang. Dalam hal ini pihak-pihak yang
terlibat konflik perlu mengupayakan berbagai langkah untuk mecapai rekonsiliasi.
Dan agar pencapaian rekonsiliasi dapat benar-benar terlaksana dan dapat
menemukan maknanya, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi.
Pertama,
pelaku atau korban harus ditemukan atau diakui oleh hukum dan masyarakat.
Kedua, Keadilan harus ditegakkan berarti dilaksanakan restribusi (sansi hukum)
terhadap pelaku dan restribusi (pemulihan) terhadap korban. Ketiga, pemisahan
antara pengampunan dan kepastian hukum. Keempat, bila hukum positif yang
berlaku tidak memiliki pasal-pasal yang mengatur dan memberi sanksi
pelanggaran, maka penyelesaian harus mengacu ke prinsip epiekeia (yang benar
dan adil). Selanjutnya masalah restitusi (pemulihan) terhadap korban juga tidak
bisa diabaikan, trauma, kerugian fisik, material maupun mental dari korban
merupakan luka-luka yang sulit untuk disembuhkan, bahkan akan terus menerus
membekas dan memerlukan pemulihan.
Karena
itu luka-luka dan penderitaan korban perlu disembuhkan dengan dilakukan
rekonsiliasi. Dalam hal ini aspek keadilan (restitusi) sungguh-sungguh harus
dijalankan agar rekonsiliasi dapat merupakan penyembuhan dan pendamaian bagi
pihak yang terlibat konflik. Pertanyaannya, apakah rekonsiliasi pasca konflik
benar-benar telah terjadi dalam persoalan yang terjadi dalam kehidupan
beragama. Sejauh ini rekonsiliasi memang sudah diupayakan oleh pihak-pihak yang
berkonflik, namun dalam upaya rekonsilaisi yang dilakukan oleh masyarakat atau
kelompok yang terlibat konflik sejauh ini tidak pernah ditemukan siapa yang menjadi
korban konflik dan siapa pelakunya. Dengan demikian rekonsiliasi dalam arti
yang sesungguhnya belum pernah dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat
konflik.
2.
Agama
dan Integrasi Sosial
Dhurkheim
menegaskan bahwa sumber-sumber ketegangan dalam masyarakat pada dasarnya
berkembang dari heterogenitas dan individualitas yang semakin besar.
Heterogenitas yang tinggi ini dapat mengendorkan ikatan bersama yang
mempersatukan pelbagai anggota masyarakat. Dalam hal ini individu mulai
mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok yang lebih terbatas yang terdapat
dalam masyarakat, seperti kelompok pekerjaan, profetis, etnis, ras dan agama.
Ketika setiap orang atau kelompok mengejar kepentingannya sendiri dengan
merugikan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, maka kemungkinan terjadi
konflik akan lebih besar (Johnson, 1986:169). Sementara itu di dalam kamus
populer, kata integrasi (bahasa Belanda) mengandung arti menjadikan satu,
penyatuan dari usaha-uaha yang terpecah-pecah (Habeyh, 1981:169). Sementara itu
dalam kamus Inggris-Indonesia, kata integration mengandung arti penggabungan
(Echols dan Shadly, 1984:326).
Menurut
Vocabulaire Philosophique Lalande, integrasi berarti suatu usaha untuk
membangun independensi yang lebih erat antara bagian-bagian dari organisme
hidup atau anggota dalam masyarakat, sehingga tercipta suatu kondisi yang
harmoni, yang memungkinkan terjalinnya kerjasama dalam rangka mencapai tujuan
yang ditentukan bersama (Duverger, 993:340). Senada dengan hal itu pendapat
Mas’oed (1991:2) adalah secara umum integrasi bisa diberi arti sebagai kondisi
atau proses mempesatukan bagian-bagian yang sebelumnya saling terpisah. Proses
ini berjalan melalui tahapan yang dilalui, akan merupakan landasan bagi
terselenggarakannya tahapan berikutnya. Adapun Karl Deutch (1957) mengatakan
bahwa integrasi harus berjalan secara damai dan berlangsung secara sukarela. Ia
memandang integrasi sebagai unit-unit yang sebelumnya terpisah kemudian mampu
menciptakan hubungan-hubungan independensi dan secara bersama menghasilakn
unsur-unsur suatu system yang tidak bisa mereka hasilkan ketika mereka saling
terpisah.
Mengacu
pada uraian di atas, maka seperti yang dikemukakan oleh Dhurkeim (Johnson,
1986:181-188) dalam studi tentang integrasi sosial, bahwa integrasi sosial
dapat terwujud jika terjadi saling ketergantungan antara bagian yang
terspesialisasikan. Dalam hal ini solidaritas didasrkan atas kesamaan dalam
kepercayaan dan nilai saling tergantung secara fungsional antara masyarakat
yang heterogen. Kesamaan dalam kepercayaan dan nilai saling tergantung ini akan
memberi kesadaran kolektif untuk menciptakan kesatuan . Dalam hal ini Dhurkeim
(David 1972:382) membedakan integrasi sosial atas 2 yaitu, integrasi normatif
dalam perspektif budaya, dengan menekan solidaritas mekanik yang terbentuk
melalui nilai dan kepercayaan membimbing masyarakat dalam mencapai sukses. Dan
integrasi fungsional dengan menekankan pada solidaritas organik, yaitu
solidaritas yang terbentuk melalui relasi saling tergantung antara bagian atau
unsur yang tergantung dalam masyarakat.
Dalam
hal ini Dhurkeim menekankan pembagian kerja dengan tidak saja mempertimbangkan
faktor ekonomi melainkan faktor moral. Sementara itu Cooley (David 1972:381)
membedakan integrasi atas dua yaitu, pertama, integrasi normatif, merupakan
tradisi baku masyarakat untuk membentuk kehidupan bersama bagi mereka yang
mengikatkan diri dalam kebersamaan itu. Kedua, integrasi komunikatip yaitu
komunikasi efektif hanya dapat dibangun bagi mereka yang memiliki sikap yang
saling tergantung dan mau diajak kerjasama menuju tujuan yang dikehendaki.
Ketiga, integrasi fungsional, hanya akan terwujud bila anggota yang mau
mengikat diri itu sungguh menyadari fungsi dan perannya dalam kebersamaan itu.
Lebih
jauh Karsidi (1998:116) menggambarkan beberapa syarat bagi masyarakat heterogen
untuk dapat mencapai integrasi. Dikatakan di sini bahwa integrasi hanya terjadi
bila pertama, anggota masyarakat merasa tidak dirugikan bahkan keuntungan akan
diperoleh lebih besar. Kedua, adanya penyesuaian paham tentang norma. Artinya
tantangan dan bagaimana harus bertingkah laku untuk mencapai tujuan dalam
masyarakat. Ketiga, norma yang berlaku harus konsisiten, untuk membentuk suatu
struktur yang jelas. Integrasi sosial terjadi harus melalui tiga (3) tahapan.
Pertama, akomodasi, merupakan upaya para pihk yang berbeda pendapat atau
bertentangan untuk mencari pemecahan masalah atau upaya mempertemukan perbedaan
atau pertentangan atau upaya menyelesaikan perbedaan melalui koordinasi. Kedua,
Koordinasi merupakan perwujudan suatu bentuk kerjasama. Ketiga, asimilasi atau
akulturasi merupakan kontak kebudayaan yang berlainan atau pertemuan dua
kebudayaan yang lebih baik. Dalam membangun nilai harmoni akan ditemukan
tahapan ini atau dengan kata lain terdapat relasi saling tergantung sehingga
masing-masing-masing pihak menyadari perannya. Dalam proses ini tidak ada in
group (kita) dan out group (mereka), keduanya memiliki peran yang sama dalam
membangun kehidupan yang lebih baik.
Senada
dengan pendapat di atas dalam memahami konsep integrasi (Sunyoto Usman: 1995)
mengemukakan bahwa integrasi adalah suatu proses ketika kelompok-kelompok
sosial tertentu dalam masyarakat saling memelihara dan menjaga keseimbangan
untuk mewujudkan kedekatan hubungan sosial, ekonomi dan politik. Dalam konteks
tersebut integrasi bukanlah untuk menghilangkan diferensiasi, karena yang
terpenting adalah kesadaran untuk memelihara dan menjaga keseimbangan untuk
menciptakan hubungan sosial yang harmonis. Menurut Usman, integrasi merupakan
bentuk kontradiktif dari konflik, namun meskipun demikian integrasi dan konflik
bukanlah dua hal yang harus dipertentangkan. Karena integrasi bisa saja hidup
bersebelahan dengan konflik, bahkan melalui konflik keseimbangan hubungan dapat
ditata dan diciptakan kembali. Konsep yang ditawarkan tersebut mengisyaratkan bahwa
integrasi tercipta melalui proses interaksi dan komunikasi yang intensif.
Kelompok-kelompok
sosial yang berintegrasi membangun sosial networks dalam suatu unit sosial yang
relatif kohesif. Prasyarat integrasi yang ditawarkan oleh Usman agar masyarakat
dapat terintegrasi adalah, pertama, kesepakatan sebagian besar anggotanya
terhadap nilai-nilai sosial tertentu yaitu bersifat fundamental. Kedua, saling
ketergantungan diantara unit-unit sosial yang terhimpun di dalam nya untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi. Memang diakui bahwa akibat adanya perbedaan dalam
pemilikan dan penguasaan Sumber Daya ekonomi dapat melibatkan terjadinya
stratifikasi sosial berdasarkan (kaya, menengah, miskin). Akan tetapi dengan
model pembangunan masyarakat yang menekankan saling ketergantungan ekonomi
dapat mencegah kemungkinan tumbuhnya eksploitasi kelompok kaya terhadap
kelompok miskin, karena masing-masing kelompok berpendapatan tadi
terspesialisasi secara fungsional, sehingga ciri diferensiasi tidak terlalu
sukar diseimbangkan.
Masyarakat
sebagai konsep sosial menggambarkan berkumpulnya manusia atas dasar sukarela,
yang tidak harus terjadi secara fidik tetapi juga berupa keterikatan dan
keterkaitan batiniah (Ginandjar Kartasasmita, 1997:7). Dalam konsep masyarakat
yang demikian ini ada makna kesatuan antara kebinekaan atau keanekaan
(diversity) dan kekhasan atau kekhususan (uniquenness). Menurut Ginandjar “apa
yang menjadi kesamaan (what is Common to all) merupakan pertanyaan mendasar
setiap kali terjadi hubungan yang saling bergantung atau kerjasama yang
berintikan situasi simbiosi yang mutualistis.
Situasi
simbiosis yang mutualistis itu akan dapat tercipta bila elemen-elemen sosial
bisa disatukan hingga membentuk suatu kekuatan yang bersifat sinergis. Kekuatan
sinergis itu lahir dari proses interaksi sosial yang berlangsung secara
intensif di dalam dan diantara unit-unit sosial yang ada dalam masyarakat,
apakah itu keluarga, kelompok, asosiasi, golongan masyarakat (etnis dan agama)
dan sebagainya. Dalam kaitan itu Ginandjar menekankan pentingnya proses
interaksi sosial baik yang vertikal maupun horizontal. Pada interaksi vertikal
antara pemerintah dan masyarakat harus dikembangkan dari poros “kekuasaan”
menjadi poros “pemberdayaan”. Interaksi ini harus dikembangkan menjadi interaksi
dialogis. Sedangkan interaksi horizontal harus dikembangkan menjadi interaksi
solidaritas dan kemitraan. Dengan terciptanya situasi demikian maka diharapkan
tidak ada lagi dikatomi yang membedakan antara penduduk asli dan penduduk
pendatang.
C.
Metode
Penelitian
1.
Pendekatan
dan Metode Penelitian
Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan
pemdekatan naturalistik dalam pengumpulan datanya. Kenyataan tersebut
didasarkan pada pertimbangan bahwa yang diteliti merupakan masalah sosial dalam
arti orang-orang yang terlibat dan prosesnya mempunyai keunikan dan dinamikanya
masing-masing.
Pengumpulan
data dilakukan di Kabupaten Daerah Tingkat II Situbondo, dilakukan melalui
wawancara mendalam, pengamatan dan pengkajian dokumen-dokumen yang berkaitan
dengan masalah penelitian. Proses penelitian dilakukan melalui interaksi dan
memaknai bahasa dan tafsiran subyek penelitian.
2.
Jenis
dan Sumber data
Data
primer diperoleh dengan cara wawancara mendalam dan observasi yakni pengamatan
secara langsung terhadap subyek penelitian. Pelaksanaan obeservasi dilakukan
bersamaan dengan wawancara. Beberapa hal yang diobservasi meliputi, kegiatan
sosial yang dilakukan oleh umat beragama; keadaan dan kondisi sosial ekonomi,
budaya warga masyarakat pribumi, etnis madura beragama Islam dan etnis Cina
beragama kristen. Perayaan -perayaan hari besar keagamaan yang diikuti oleh
warga masyarakat. Semua kegiatan tersebut diobservasi pasca konflik.
3.
Tehnik
Pengumpulan data
Tehnik
pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam, pengamatan dan mengkaji
dokumentasi yang relevan dengan masalah penelitian. Dalam pengumpulan data,
selalu dilakukan komunikasi dan inteksi intensif dengan subyek yang diteliti.
Dalam pelaksanaannya ketiga metode pengumpulan data tersebut tidak dipergunakan
secara terpisah satu dengan yang lainnya melainkan dipergunakan secara
simultan. Metode yang satu melengkapi metode yang lain, sesuai dengan situasi
dan kondisi yang ada serta dimaksudkan untuk menghindari suasana terlalu kaku dan
formal yang bisa mengurangi suasana kekeluargaan.
4.
Analisa
data penelitian
Analisa
dilakukan melalui kegiatan klarifikasi data yang telah berhasil dikumpulkan dari
berbagai sumber berdasarkan unsur-unsur fenomenologi seperti data pola-pola
interaksi antar umat beragama, hubungan-hubungan sosial antar umat beragama dan
data-data penting lainnya. Data yang sudah diklarifikasikan dibantu dengan
teori-teori kemudian direkonstruksi dengan pendekatan kualitatif ke dalam
sebuah diskripsi yang kemudian di analisis hingga memungkinkan untuk diambil
kesimpulan.
5.
Derajat
kepercayaan penelitian
Keadaan
dikaji seobyektif mungkin melalui penelitian dalam jangka waktu yang cukup
panjang, hal ini sejalan dengan sifat penelitian kualitatif yang bukan bersifat
impresionalistik atau melalui percakapan sekilas dengan subyek yang diteliti.
Bukan juga dengan kunjungan singkat ke lokasi penelitian. Penelitian dilakukan
secara intensif dilokasi penelitian dengan cara tinggal dilokasi untuk
melakukan wawancara dan pengamatan serta mengkaji dokumen yang relevan.
Penelitian dilengkapi dengan catatan lapangan (field note), alat perekam
informasi, pencatatan data sebagai alat kontrol dan pelengkap kejadian
-kejadian di lapangan. Kelemahan akibat prasangka dihindari dengan melengkapi subyek
yang diteliti dengan variasi data yakni dengan menjaring informasi berkaitan
dengan pendapat, penilaian dan wawasan dari para pimpinan agama dan tokoh
masyarakat di Situbondo. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kelemahan
terhadap sumber-sumber data yang mempunyai potensi bias atas pelaksanaannya.
D.
Hasil
Penelitian dan Pembahasan
Dalam
konteks penelitian di Situbondo, telah terwujud integrasi dalam masyarakat
pasca konflik dan hubungan baik antarumat beragama serta integrasi dalam
masyarakat dapat terpelihara dalam jangka waktu yang lama hingga saat ini.
Masyarakat menggunakan modal sosial untuk mewujudkan integrasi di Situbondo.
Integrasi dalam masyarakat dilakukan dengan menggunakan modal sosial yaitu, :
(1) bahasa sebagai alat komunikasi warga masyarakat sehari-hari (2),
ketergantungan secara fungsional dalam pekerjaan dan ekonomi (3), kegiatan
sosial, gotong royong dan tolong menolong dan (4) kegiatan keagamaan yang
dirayakan bersama oleh warga masyarakat (5) Kultur Madura
1.
Pemakaian
bahasa lokal dalam kehidupan sehari-hari
Bahasa
mempunyai kekuatan integratif untuk melakukan interaksi antara satu kelompok
dengan kelompok lainnya dalam kehidupan sehari-hari. Kesamaan dalam pemakaian
bahasa telah menciptakan hubungan yang saling berdekatan antara warga
masyarakat yang berbeda agama dan etnis. Dalam konteks Situbondo bahasa yang
digunakan adalah bahasa Madura. Bahasa Madura adalah bahasa lokal yang
digunakan oleh semua warga masyarakat Situbondo baik penduduk asli Madura
maupun non-Madura di samping bahasa Indonesia.
Berkomunikasi
dengan bahasa lokal sangat mempengaruhi kedekatan emosi dalam pergaulan dan
hubungan dengan pihak yang diajak berkomunikasi. Sebaliknya apabila seseorang
memakai bahasa Indonesia dalam berkomunikasi hubungan menjadi kurang akrab,
kaku dan sangat formal. Bahakan pemakaian bahasa Indonesia dalam berkomunikasi
bisa menjadi tanda bahwa yang sedang berkomunikasi adalah pendatang baru atau
orangorang yang sedang berkunjung di daearah tersebut. Di tempat-tempat lain
misalnya seperti Jember, Kraksaan dan Probolinggo yang adalah daerah-daerah
pantura Jawa Timur lainnya, meskipun bahasa Madura digunakan, tetapi bukan
merupakan bahasa sehari-hari yang digunakan untuk komunikasi dalam pergaulan
dalam masyarakat seperti yang terjadi di Situbondo, namun hanya digunakan di
pasar-pasar atau dalam keluarga Madura saja.
Sementara
bahasa yang digunakan sehari-hari menggunakan bahasa Indonesia dan campuran
bahasa Jawa dan Madura. Di Situbondo, bahasa Madura sangat melekat dalam
kehidupan masyarakat sebagai alat komunikasi di berbagai waktu dan mendekatkan
hubungan secara emosi, meskipun berbeda agama atau bukan berasal dari suku
Madura. Dengan demikian bahasa Madura sebagai alat komunikasi sehari-hari dapat
menjadi alat perekat dan kekerabatan dalam masyarakat.
2.
Saling
ketergantungan dalam hal pekerjaan dan Ekonomi
Dalam
kehidupan sehari-hari, hubungan saling tergantung secara fungsional antara
etnis Cina dengan etnis Madura Situbondo terjadi pada bidang pekerjaan dan
ekonomi. Yaitu ketergantungan secara fungsional antara pemilik toko atau
swalayan dengan para karyawannya. Ketergantungan semacam ini telah menciptakan
hubungan saling membutuhkan dan menjadi alat perekat sosial. Hubungan yang
saling bergantung ini dapat mengikat dalam kebersamaan, dijauhkan dari
perbedaan agama dan etnis. Dalam hal ini kedua belah pihak yang berbeda etnis
dan agama saling membutuhkan, dan akan mengalami kesulitan jika ditinggalkan
oleh pihak yang lain.
Saling
ketergantungan ini terjadi dalam hal hubungan kerja, etnis Cina di Situbondo
yang mayoritas beragama kristen sangat besar peranannya di bidang ekonomi.
Perekonomian masyarakat Situbondo banyak didukung oleh etnis Cina terutama
dalam usaha dagang seperti toko sembako, percetakan, bangunan, dsb. Dalam hal ini
mereka berusaha untuk tetap menjalin hubungan baik dengan etnis Madura.
Hubungan baik ini diwujudkan melalui sikap dan prilaku etnis Cina terhadap
karyawannya yang hampir seluruhnya berasal dari etnis Madura beragama Islam.
Dalam
kehidupan sehari-hari dan hubungan kerja para karyawan dianggap sebagai saudara
dan dibutuhkan dalam usaha dagang yang dijalankan etnis Cina. Agama tidak
menjadi masalah dan penghalang dalam pergaulan dan kerjasama di wilayah ini.
Toleransi dan sikap mengharagai agama Islam diwujudkan dengan menyediakan
tempat sholat dan atau Mosallah bagi karyawan yang beragama Muslim, sehingga
mereka bisa melakukan shalat pada waktu-waktu tertentu dengan bebas.
Dalam
hal ekonomi, beberapa pemilik took-toko swalayan di Situbondo menyediakan kupon
potongan harga sebesar 20 % bagi para konsumen. Dalam hal ini semua anggota NU,
santri, kyai dan warga masyarakat Situbondo mempunyai kartu potongan untuk
keperluan belanja di toko swalayan milik etnis Cina. Kebiasaan yang terjadi di
Situbondo ini menjadi sarana perekat sosial dan hubungan yang saling tergantung
diantara anggota masyarakat.
Dalam
kehidupan sehari-hari selama bertahun-tahun telah terjadi penguasaan bidang
ekonomi oleh etnik Cina di Situbondo. Keadaan dan kondisi yang demikian ini
bukan tidak mungkin akan menimbulkan terjadinya gejolak sosial. Dalam hal ini
faktor eksternal, yaitu kesenjangan sosial cukup dirasakan oleh warga
masyarakat. Para pendatang, non Islam dalam hal ini etnis Cina memiliki
kemampuan ekonomi yang baik, sedangkan warga pribumi, Islam etnis Madura berada
pada ekonomi bawah.
Selain
itu ada anggapan yang mengatakan bahwa kaum atau golongan tertentu sejak jaman
kolonial telah lama menikmati fasilitas dan selalu mendapatkan privilage akan
sangat rentan menjadi pemicu kecemburuan sosial dan emosi warga masyarakat
pribumi, beragama Islam. Namun selama ini untuk mencegah timbulnya gejolak
sosial etnis Cina cukup tanggap mengantisipasi hal tersebut sehingga gejolak
warga pribumi dapat diredam dan diatasai.
Nampaknya
etnis Cina cukup tanggap mengantisipasi hal tersebut sehingga gejolak sosial
yang bersumber pada kesenjangan ekonomi masih bisa diatasi dan dicegah.
Sebagaimana yang ditegaskan Ginandjar “apa yang menjadi kesamaan (what is
Common to all) merupakan pertanyaan mendasar setiap kali terjadi hubungan yang
saling bergantung atau kerjasama yang berintikan situasi simbiosi yang
mutualistis. Situasi simbiosi yang mutualistis itu akan dapat tercipta bila
elemen-elemen sosial bisa disatukan hingga membentuk suatu kekuatan yang
bersifat sinergis. Kekuatan sinergis itu lahir dari proses interaksi sosial
yang berlangsung secara intensif di dalam dan diantara unit-unit sosial yang
ada dalam masyarakat, apakah itu keluarga, kelompok, asosiasi, golongan
masyarakat (etnis dan agama) dan sebagainya.
3.
Perkumpulan-perkumpulan
sosial, partisipasi, solidaritas dan kekerabatan
Yang
dimaksud partispasi, solidaritas dan kekerabatan dalam hal ini adalah
keikutsertaan dan keperdulian warga masyarakat yang didasari oleh perasaan
persaudaraan sebagai sesama masyarakat Situbondo. Salah satu kelompok agama
biasanya memprakarsai untuk menunjang kegiatan sosial tertentu.
Selain
itu keikutsertaan individu masing-masing kelompok agama untuk menunjang
berbagai kegiatan sosial yang diprakarsai pemerintah juga turut mendukung
terbangunnya partisipasi, solidaritas dan kekerabatan dalam masyarakat.
Indikator terpeliharanya partisipasi, solidaritas dan kekerabatan nyata dalam keikutsertaan
orang-orang dari kelompok agama yang berlainan dalam kegiatan slamatan, tolong
menolong yang diprakarsai kelompok agama; perkumpulan -perkumpulan sosial tertentu
dalam kegiatan gotong royong; perkumpulan sosial dan perayaan hari-hari raya
keagamaan.
Melakukan
kegiatan bersama merupakan kebutuhan setiap individu sebagai mahkluk sosial.
Kegiatan tolong menolong antar tetangga dan warga masyarakat yang lebih luas
adalah salah satu sarana kekuatan integratif sosial di daerah Situbondo dan
sekitarnya. Kegiatan gotong royong dan saling membantu ini nampaknya sudah
merupakan tradisi yang melekat pada masyarakat Situbondo. Untuk urusan tolong
menolong atau gotong royong ini etnis Madura sebagai mayoritas penduduk dapat
dikatakan pelopornya. Dengan didukung karakter suka bergaul, terbuka dan mudah
akrab dengan orang lain maka usuran tolong menolong bukalah hal yang sulit bagi
mereka orang Madura.
Selain
itu etnis Madura juga dikenal sebagai etnis yang ringan tangan dan suka
membantu jika ada kenalan, tetangga bahkan siapa saja yang membutuhkan
bantuannya. Kegiatan saling tolong menolong ini bahkan dilakukan tanpa diminta,
tetapi terjadi secara getok tular. Mereka akan datang dan segera memberi
bantuan meskipun kegiatan itu harus dilakukan selama dua sampai tiga hari.
Baiasanya para wanita membantu didapur, sedangkan laki-laki memasang tenda,
mengangkat kusi dan berbagai urusan luar. Mereka rela mengorbankan tenaga dan
waktunya haya untuk membantu tetangga yang punya hajatan. Bahkan mereka lebih
memilih untuk tidak masuk bekerja demi membantu tetangga atau kerabat yang
sedang mempunyai hajatan.
Budaya
gotong royong ini sampai sekarang masih melekat di masyarakat Situbondo. Selain
kegiatan tolong menolong dan gotong royong, kegiatan sosial seperti
perkumulan-perkumpulan sosial baik secara ritien diselenggrakan oleh kelompok
Kelurahan, Kecamatan, Rukun Warga (RW) sampai Rukun Tetengga (RT). Dalam
perkumpulan-perkumpulan sosial tersebut warga masyarakat Situbondo biasanya
bertemu satu bulan sekali untuk mengadakan pertemuan-pertemuan PKK, Arisan, dan
kgiatankegiatan sosial lainnya. Dalam pertemuan-pertemuan tersebut semua agama
dan etnis lain berkumpul sebagai satu komunitas yang saling mendukung dan bisa
berinteraksi dengan baik. Perbedaan agama tidak pernah mempengaruhi keakraban
dan hubungan sosial yang sudah terjalin diatara mereka.
Dari
pengalaman Situbondo, masyarakat sebagai konsep sosial menggambarkan
perkumpulan manusia atas dasar sukarela yang tidak harus terjadi secara fisik
tetapi juga keterikatan dan keterkaitan secara batiniah (Kartasasmita,1997).
Dalam konsep masyarakat demikian ada makna kesatuan antara kebinekaan atau
keanekaan (diversity) dan kekhasan atau kekhususan (uniquenness). Hubungan yang
saling bergantung atau kerjasama yang berintikan situasi simbiosis yang
mutualistis. Situasi simbiosis ini akan terjadi bila elemenelemen sosial bisa
disatukan hingga membentuk satu kekuatan yang bersifat sinergis.
Kekuatan
sinergis tersebut lahir dari proses interaksi sosial yang berlangsung secara
intensif di dalam dan di antara unit-unit sosial yang ada dalam masyarakat
apakah itu keluarga, kelompok asosiasi, golongan masyarakat, etnis, agama dan
sebagainya. Dalam konteks Situbondo menjadi penting artinya memelihara hubungan
sosial yang didasari kebutuhan bersama yang saling menguntungkan.
4.
Perayaan-perayaan
hari besar Keagamaan
Perayaan
hari besar agama yang dilakukan oleh kelompok agama tertentu dan didukung
kelompok agama yang lain merupakan bentuk toleransi sosial yang berhasil
diwujudkan umat beragama di Situbondo pasca konflik. Toleransi sosial yang
dimaksud di sini adalah bersedianya kedua belah pihak yang berbeda agama saling
mengakui dan menghormati pendirian satu sama lain.
Indikatornya
meliputi, menerima dan menghargai nilai-nilai, pandangan, pendapat, kepercayaan
umat beragama yang berbeda walaupun berbeda ajaran atau doktrin yang
diyakininya; kesadaran diri untuk bersedia berkorban demi pemeluk agama lain,
dalam hal ini pengorbanan yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial
merupakan bentuk-bentuk toleransi sosial. Melalui silaturahmi, pengajian dan
kegiatan agama lainnya warga masyarakat berusaha untuk tetap menjaga dan
mempertahankan integritas dan toleransi sosial di Situbondo.
Masyarakat
Situbondo pada dasarnya sangat memperhatikan perayaan-perayaan hari besar
keagamaan seperti, Idhul Fitri, Idhul Adha, Isra’miraj, Maulud Nabi dsb. Hari-hari
besar keagamaan ini menjadi alat integratif antar warga masyarakat. Sedangkan
untuk mempertahankan dan memelihara ikatan sosial dengan warga masyarakat yang
berbeda agama dilakukan dengan cara saling mengundang dalam kegiatan keagamaan,
atau acaraacara keagamaan tertentu seperti misalnya sykuran setelah pulang dari
ibadah haji dsb.
Bagi
masyarakat Situbondo, perayaan Natal yang diperingati umat Kristen juga menjadi
bagian dari masyarakat, karena umat kristen selalu mengundang agama lain dalam
memperingati Natal, khususnya dalam perayaan-perayaan Natal. Kegiatan keagamaan
berupaya perayaanperayaan tersebut merupakan sarana membagung kehidupan umat
beragama yang saling menghormati dan menghargai. Demikian juga dengan Idul
Fitri bukan lagi menjadi perayaan umat Islam saja tetapi menjadi perayan semua
umat beragama, karena seluruh warga masyarakat Situbdondo turut bersukacita
dalam perayaan-perayaan idul fitri tersebut.
Biasanya
mereka melakukan kunjungan ke rumah-rumah tetangga atau kerabat yang merayakan
Idul Fitri. Umat beragama non-Islam beiasa berkunjung ke pondok-pondok
pesantren untuk bersilaturahmi dengan kyai dan para santri. Sebagaimana di
jelaskan di atas bahwa peranan Kyai sangat besar dan dihormati oleh masyarakat Situbondo.
Menjadi sebuah kewajiban yang melekat dalam warga masyarakat Situbondo untuk
datang ke rumah kediaman kyai setiap hari raya Idul Fitri. Dengan demikian Idul
Ftri menjadi perayaan dan kegembiraan seluruh warga masyarakat, baik muslim
maupun non-muslim.
5.
Kultur
Madura
Kultur
masyarakat Madura cendrung memiliki sikap terbuka, blak-blakan atau berterus
terang dalam berbagai hal. Relasi dan komunikasi antar warga masyarakat
ditandai dengan keterbukaan dan keterus terangan, penggunaan bahasa Madura sebagai
alat komunikasi sehar-hari merupakan tanda hubungan dekat antara seorang dengan
yang lain. Kebersamaan dan kekerabatan ditunjukkan dengan cara-cara yang wajar,
alamiah dan tidak dibuat-buat. Hubungan kekerabatan nampak dalam kehidupan
sehari-hari dalam sikap yang saling perduli dan membantu jika ada tetangga atau
kerabat mengalami kesulitan dan masalah. Hubungan yang dekat ini mudah sekali
dibangun, hanya dengan kehidupan sosial sehari-hari di tengah masyarakat
seperti ngobrol bersama, jaga ronda di pos kamling kampung, kerja-bakti,
perayaan-perayaan HUT Kemerdekaan RI dsb. Tidak sulit bagi orang Madura menjadi
dekat dengan dan akrab dengan orang lain meskipun baru mengenalnya.
Karakter
masyarakat Situbondo baik langsung maupun tidak langsung sangat berpengaruh dalam
hubungan antar umat beragama. Dalam konteks Situbondo, kultur Madura adalah kultur
yang paling dominan. Masyarakat Situbondo sejak lama dikenal sebagai masyarakat
yang mempunyai karakteristik religius bahkan cendrung fanatik dalam beragama,
dan taat beribadah. Bagi orang Madura memberikan collective sentiment, melalui upacara-upacara
ibadah dan ritualnya. Keharusan beragamalah yang membuat orang Madura menjadi sebuah
masyarakat dengan membentuk organisasi sosial berdasarkan pada agama dan otoritas
para ulama (Kyai). Budaya dan sifat masyarakat Madura yang energik penuh
gairah, percaya diri, pemberani, extrovert, terus terang serta memiliki keperdulian
dan gotong royong yang amat tinggi sangat berpengaruh positif bagi kehidupan sosial
sehari -hari.
6.
Peran
agama dalam integrasi
Agama
yang dimaksud di sini adalan institusi atau lembaga agama, pimpinan atau tokoh
agama dan umat. Dalam kapasitasnya masing-masing ketiga unsur ini turut menyumbang
terwujudnya perdamaian dan integrasi dalam masyarakat pasca kerusuhan. Kultur
agama Islam sangat mewarnai kehidupan masyarakat Situbondo, hal tersebut disebabkan
karena peran NU, ulama dan pesantren sangat besar dan ternama di Situbondo.
Bahkan
beberapa buah pesantren mempunyai pengaruh yang besar di masyarakat seperti Walisongo,
Sletreng, Salafiah Safiah dan lain sebagainya. Pesanten-pesantren ini turut meramaikan
dan memberi power spiritual di Situbondo. Secara struktural kokohnya pengaruh
ulama tidak dapat dilepaskan dari perannya sebagai cultural broker, yakni keyakinan
untuk menghubungkan tatanan keagamaan dan faktor lokal. Kyai atau ulama sering
disebut sebagai agent of change dalam masyarakat. Bahkan sering disebut sebagai
informal leader yang kerap diberi kepercayaan oleh pemerintah sebagai salah
satu pembawa pesan-pesan pembangunan untuk masyarakat. Program-program
pemerintah dapat berhasil 100 % dan mendapat dukungan penuh dari warga
masyarakat apabila telah direstui dan didukung oleh kyai.
Peran
ulama di bidang keagamaan tidak dapat dipisahkan dengan peran mereka di tengah
masyarakat. Berpusat dari perannya sebagai guru dan ahli agama para ulama di Situbondo
seringkali memainkan peran penting dalam kehidupan sosial, kemasyarakatan dan
politik. Pandangan bahwa Islam tidak memisahkan antara agama dan negara ikut mendorong
munculnya gejala ini.
Di
samping itu sistem sosial di sekitarnya juga ikut mendukung dalam hal ini. Para
ulama di Situbondo memperoleh tempat yang sangat terhormat di Situbondo dan
sangat berpengaruh di Masyarakat. Nasehat dan petunjuknya sangat didengar dan
diperhatikan oleh seluruh warga masyarakat juga yang beragama non Islam. Hal
ini juga berkaitan dengan watak Situbondo yang religius, sehingga kyai menempati
posisi yang terhormat di mata masyarakat. Nasehat dan petunjuknya bisa dijadikan
acuan dalam masyarakat, terutama jika warga masyarakat hendak melakukan suatu kegiatan.
Suara kyai didengar, perintahnya dipatuhi secara penuh, karena selain dianggap mempunyai
pengetahuan di bidang agama juga dipandang sebagaiorang yang memahami keagungan
Tuhan dan rahasia alam lainnya. Bahkan kyai juga menjadi tempat mengadu untuk
mencarikan jalan keluar bagi problematika yang dihadapinya, yang tidak hanya terbatas
pada masalah agama tetapi juga persoalan hidup lainnya. Pemerintah juga sangat menghargai
kyai dan melibatkan di berbagai sektor-sektor tertentu dalam pemerintahan, terutama
kyai-kyai “vokal” dalam berbicara.
Sumber
kewibawaan kyai utamanya adalah kewibawaan moral yang muncul dari superioritasnya
di bidang keagamaan. Kyai dianggap umat sebagai orang yang memiliki pengetahuan
keagamaan tinggi dan memiliki kekuatan spiritual yang melebihi kebanyakan orang.
Kyai juga mempunyai relasi yang kuat dengan pemerintah dan pusat-pusat kekuasaan
di luar, seperti dengan NU, PKB, LSM yang merupakan basis kekuasaan beberapa orang
kyai. Dalam konteks masyarakat situbondo, para kyai sangat dihormati oleh orang
Madura, kedudukan kyai sama dengan penguasa karena dianggap memiliki kekuatan spiritual.
Dalam sejarah Madura kekuatan para kyai menjadi semakin terinstitusikan bersamaan
dengan menebarnya tarekat dan pesantren-pesantren di masyarakat. Dari sejarah
Madura tampak bahwa para kyai telah melestarikan dirinya bukan hanya sebagai pemimpin
informal, tetapi juga sebagai institusi kritis terhadap kekuasaan yang ada.
Dengan
kekuatan dan kewibawaan yang dimilki Kyai maka ketika terjadi konflik dalam
masyarakat, maka peranan kyai sangat besar untuk dapat menghentikan dan menyelesaikan
konflik tersebut. Perintah, petunjuk dan nasehat kyai akan sangat didengar dan
diperhatikan oleh warga masyarakat. Di sinilah peranan pimpinan agama,
khususnya ulama, kyai sangat besar pengaruhnya bagi penyelesaian konflik dan
membangun rekonsiliasi pada piha-pihak yang terlibat konflik.
Penyelesaian
konflik dapat dilakukan melalui mediasi. Dalam hal ini pemimpin agama duduk
bersama untuk saling mendengarkan apa yang menjadi permasalahan masing-masing agama
dan dicarikan alternatif solusinya secara bersama-sama pula. Melalui
pertemuanpertemuan ini telah tumbuh diskusi dan pengambilan keputusan atau
kesepakatan penting antara keduapihak yang berkonflik untuk langkah ke depan.
Melalui diskusi antar lembaga ini masing-masing agama dapat mengetahui
kekukarangan masing-masing dan selanjutnya dapat memperbaiki kesalahannya
sendiri ke arah yang lebih baik demi untuk kepentingan dan kebaikan bersama.
Langkah seperti ini dilakukan untuk menghentikan dan atau mencegah konflik yang
berkepanjangan.
7.
Menuju
Rekonsiliasi
Dalam
banyak kasus konflik di berbagai wilayah di Indonesia nampaknya rekonsiliasi secara
menyeluruh belum pernah terjadi. Artinya upaya untuk mencapai kesepakatan berdamai
akibat masa lalu yang kelabu masih merupakan proses yang masih terus menerus harus
diperjuangkan. Dalam kasus konflik bernuansa agama Situbondo, rekonsiliasi yang
sesungguhnya belum terwujud. Ketika kita mengacu pada pengertian rekonsiliasi
maka ada beberapa hal yang mensyaratkan terjadinya rekonsiliasi. Pertama, perlu
ada pengakuan hukum dan masyarakat terhadap pelaku dan korban. Kedua, keadilan
harus ditegakkan berarti dilaksanakan restribusi (sanksi hukum) terhadap pelaku
dan restribusi (pemulihan) terhadap korban. Ketiga, adanya pemisahan antara
pengampunan dan kepastian hukum. Keempat, bila hukum positif yang berlaku tidak
memiliki pasal-pasal yang mengatur dan memberi sangsi pelanggaran, penyelesaian
harus mengacu ke prinsip epiekeia (yang benar yang adil). Dalam hal ini masalah
resitusi (pemulihan) terhadap korban tidak dapat diabaikan karena hal ini
merupakan aspek keadilan.
Dalam
kasus-kasus konflik di Indonesia, rekonsiliasi belum pernah dilakukan secara benar,
hal ini perlu menjadi perhatian semua pihak khususnya lembaga hukum untuk mengupayakan
rekonsiliasi pada setiap selesai konflik. Dalam kasus konflik di Situbondo belum
terjadi rekonsiliasi dalam arti yang sesungguhnya, namun baru dilakukan
upayaupaya untuk mencapai perdamaian dan pemulihan hubungan keduapihak yang
terlibat konflik.
Saling
ketergantungan merupakan prasyarat agar keduabelah pihak yang terlibat konflik
dapat menyatu kembali. Ketergantungan dalam hal ini bisa melingkupi berbagai aspek
kehidupan. Namun demikian biasanya ketergantungan dalam memenuhi kebutuhan ekonomi
merupakan hal yang dapat mencegah terjadinya eksploitasi antara golongan yang satu
terhadap golongan yang lain karena masing-masing kelompok berpendapatan terspesialisasi
secara fungsional. Hal ini didasari oleh adanya penguasaan sumber daya ekonomi
yang menyebabkan adanya stratifikasi sosial dalam masyarakat berdasarkan kaya, menengah
dan miskin (Usman,1995). Akibat adanya pebedaan tersebut akan terjadi konflik antar
golongan. Untuk dapat mencapai kesepakatan dalam rangka memperbaiki hubungan yang
terganggu akibat konflik dibutuhkan waktu dan proses yang tidak pendek.
E.
Penutup
Dalam
banyak kasus konflik sosial bernuansa agama pada dasarnya disebabkan oleh banyak
faktor yang mempengaruhi baik, ekonomi, politik dan budaya. Disamping beberapa faktor
penyebab konflik, faktor agama juga bisa menjadi penyebab terjadinya konflik
dalam masyarakat yang menyebabkan disintegrasi dalam masyarakt. Namun demikian
konflik bukan tidak bisa diselesaikan sejauh ada keinginan dan usaha bersama,
terutama pihak yang terlibat konflik untuk mewujudkan perdamaian tersebut.
Dalam
kasus Situbondo umat beragama Islam dan Kristen berhasil menyelesaikan konflik.
Peran kyai, pendeta dan pimpinan agama sangat besar dalam penyelesaian konflik
selain juga upaya-upaya yang dilakukan oleh keduaumat beragama yang terlibat
konflik itu sendiri. Pasca Konflik telah dibuat kesepakatan dan upaya-upaya
membangun kehidupan antarumat beragama yang lebih kondusif sehingga integrasi
dapat dibangun di Situbondo.
Penyelesaian
konflik dan integrasi sosial dalam masyarakat dapat diupayakan melalui kearifan
lokal yang dimiliki oleh warga masyarakat Situbondo. Melalui modal sosial ini
masyarakat menyadari bahwa mereka pada hakekatnya adalah saudara, kerabat yang
saling membutuhkan dan tergantung. Sebagai sesama warga masyarakat yang tinggal
di Situbondo kultur Madura berhasil merekatkan hubungan kedua uamt beragama
dalam tataran lokal dan nasional.
Dari
hasil penelitian menunjukkan bahwa pihak yang paling berperan dalam
penyelesaian konflik adalah masyarakat lokal yang terlibat konflik itu sendiri,
dan bukan datang dari pihak-pihak luar yang tidak terlibat konflik seperti
militer dan pemerintah. Nilai-nilai lokal, kultur masyarakat setempat sangat
besar artinya bagi terwujudnya perdamaian. Kearifan dan kultur masyarakal lokal
yang terlibat konflik merupakan kekuatan integratif yang dapat menjadi pintu
masuk dalam mewujudkan integrasi dalam masyarakat yang mengalami kerusakan
akibat terjadinya pertikaian. Dalam kasus ini masyarakat Situbondo berhasil menggunakan
modal sosial berupa kekuatan kultur sebagai sarana menciptakan kehidupan bersama
yang harmonis pasca kerusuhan.
Daftar Pustaka
Ahmad
Fedyani Saiffudin (1986) Konflik dan Integrasi. Pubahan Faham dalam agama
Islam. Jakarta CV Rajawali.
Bogdan
RC andBiklen SR (1982) Qualitative Research for Education. Boston Allyn and
Bacon Inc.
Doyle
Paul Johnson (1986) Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid I diindonesiakan oleh
Robert MZ Lawang. Jakarta Gramedia.
Dahrendorf
Ralf. Terjemahan Ali Mandan (1986) Konflik-konflik dalam masyarakat Industri. Jakarta
CV Rajawali.
Hass
Erns (1971) The Study Regional Integration, dalam Mohtar Mas’oedd. Handouts
“Dunia Ketiga dan Politik”. Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta.
I
Tanya Victor (1998) Pluralisme Agama dan Problema Sosial. Jakarta, CIDESINDO
Knopp
Bilken (1991) Metodologi Penelitian Kualitatif lebih menjamin masalah sosial di
Indonesia, Kompas 15 Juni 1998.
Miles
M.B and Huberman AM (1984) Qualitative Data Analysis. California : Sage
Publication.
Nasution
(1988) Metode Penelitian Naturalistic Kualitatif. Badung Tarsito
Nasikun
(1995) Sisitem Sosial di Indonesia. Jakarta Raja Grafindo Persedia.
Pranomo,
M Bamabang (1988). Stereotype Etnik, Asimilasi dan Integrasi Sosial. Grafika
Kita. Jakarta.
Robertson,
Roland (1988) Agama dalam Analisa dan Intrepetasi Sosiologis. Penerjemah Achmad
Fedyani Saifuddin. Jakart. CV Rajawali.
Usman
Sunyoto (1995) Integrasi dan Ketahanan Nasional. Sumbangan sosial terhadap ketahanan
nasional, penyunting: Ichlasul Amal dan Armaidy Armani. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
0 Komentar untuk "AGAMA, KONFLIK DAN INTEGRASI SOSIAL (Refleksi Kehidupan beragama di Indonesia: Belajar dari komunitas Situbondo membangun Integrasi Pasca Konflik)"