Oleh:
Shinstya Kristina[1]
Abstrak
Kehidupan manusia tidak terbatas
pada masyarakat putih dan hitam saja. Terdapat kehidupan masyarakat lain yang
kerap dipandang sebelah mata karena dianggap sampah masyarakat. Kelompok
masyarakat minoritas ini merupakan masyarakat dengan perilaku yang dianggap
menyimpang. Salah satunya adalah kelompok homoseksual. Perbedaan orientasi
seksual, menyukai sesama jenis membuat mereka rentan mengalami diskriminasi
sosial dari masyarakat yang berkuasa secara dominan. Pandangan heteronormativitas yang memandang bahwa
heteroseksualitas adalah bentuk hubungan yang sah, sama sekali tidak
dipertanyakan kerap kali membuat mereka tersisih.
Penelitian dengan
judul Informasi
Dan Homoseksual – Gay (Studi
Etnometodologi Mengenai Informasi dan Gay Pada Komunitas GAYa Nusantara
Surabaya) ini berupaya mengungkapkan
mengenai bagaimana gay menginterpretasikan dunia homoseksual mereka akan
informasi. Penelitian dilakukan di komunitas GAYa Nusantara Surabaya karena GAYa Nusantara merupakan pelopor organisasi gay
di Indonesia yang terbuka dan bangga akan jati dirinya. Sekaligus merupakan
komunitas yang patut diperhitungkan keeksistensiannya di dunia internasional.
Dalam penelitian ini ditemukan
berbagai pandangan mengenai informasi seputar kehidupan homoseksual – gay yang
ditelaah menggunakan beberapa teori antara lain melalui pendekatan Dramaturgi
Erving Goffman dan juga Lancaster. Temuan lain menjelaskan mengenai
simbol-simbol yang kerap digunakan oleh homoseksual – gay sebagai bagian dari
proses informasi mereka.
Kata Kunci: Homoseksual, Gay, Informasi, Kualitatif, Dramaturgi, Lancaster
Pendahuluan
Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa
bantuan orang lain, maka dalam kesehariannya tidak terlepas dari berbagai macam
aktivitas yang melibatkan individu-individu lain untuk saling berkomunikasi dan
saling bersosialisasi. Setiap saat mereka saling membutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan masing-masing, baik itu kebutuhan biologis seperti makan dan minum
maupun kebutuhan psikologis, seperti rasa kasih sayang, dihargai, diakui, rasa
aman dan sebagainya.
Dalam upaya pemenuhan kebutuhannya, informasi memegang peranan penting.
Berbicara tentang informasi tidak seorangpun yang tidak membutuhkan informasi,
apapun jenis pekerjaan dan status mereka di masyarakat. Derr (1983)
mengemukakan bahwa kebutuhan informasi merupakan hubungan antara informasi dan
tujuan informasi seseorang, artinya ada suatu tujuan yang memerlukan informasi
tertentu untuk mencapainya. Dalam perkembangannya, kebutuhan pengguna akan
informasi juga akan berubah-ubah baik segi keragaman isi maupun akses terhadap
informasi tersebut (Darsono,
2004).
Chatman (2000) percaya bahwa rata-rata orang akan
senantiasa memecahkan permasalahan informasi dengan cara yang sesuai dengan
cara hidup mereka. Dalam ilmu informasi dan perpustakaan, telah ada fokus
penelitian yang mengeksplorasi perilaku pencarian informasi pada kelompok
berbeda dari populasi, namun sebaliknya secara relatif hanya beberapa yang
telah mengeksplorasi perilaku informasi dari kelompok yang terkucilkan (Chatman
1985, 1987; Harris dan Dewdney 1994; Hersberger 2001; Spink dan Cole 2001).
Dalam realita kehidupan bermasyarakat, kita menyadari
bahwa ada begitu beragam masyarakat dengan berbagai latar belakang kehidupan
sosialnya. Dan hal yang penting disadari adalah mereka semua membutuhkan
informasi. Sebagian orang menganggap bahwa masyarakat hanya terbagi menjadi
masyarakat putih dan hitam, yang putih sudah jelas merupakan masyarakat dari
golongan baik-baik dan terpelajar, sedangkan yang hitam merupakan sampah
masyarakat disebabkan oleh pelanggaran-pelanggaran dan penyimpangan yang
dibuatnya. Namun tak banyak yang mengetahui bahwa sebenarnya ada masyarakat
abu-abu, mereka nampak normal dan baik akan tetapi karena perilakunya yang
berbeda maka mereka dianggap menyimpang dan menjadi masalah sosial di
masyarakat. Kaum marjinal ini memiliki kebiasaan atau gaya hidup yang berbeda
dan unik jika dibandingkan dengan mayoritas individu atau golongan dalam
masyarakat. Hal ini mengakibatkan seringkalinya kaum minoritas masyarakat ini
mengalami diskriminasi dari masyarakat yang mengganggap bahwa mereka menyimpang
dan mengganggu kepentingan sosial. Fenomena sosial yang dewasa ini mulai
menyeruak adalah mengenai kehidupan kaum homoseksual, yang dianggap menyimpang
karena perbedaan orientasi seksual yang dimilikinya.
Secara sosiologis,
homoseksual (Soekanto, 2004: 381) adalah seseorang yang cenderung mengutamakan orang yang
sejenis kelaminnya sebagai mitra seksual. Homoseksual sudah dikenal sejak lama,
misalnya pada masyarakat Yunani Kuno. Di Inggris baru pada akhir abad ke 17
homoseksualitas hanya dipandang sebagai tingkah-laku seksual belaka, namun juga
peranan yang agak rumit sifatnya, yang timbul dari keinginan-keinginan maupun
aktivitas para homoseks. Kinsey, Pomeroy dan Martin (1984) dalam penelitian
yang terkenal tentang seksualitas di Amerika, mengungkapkan sebanyak 37%
laki-laki pernah mempunyai pengalaman homoseksual dalam suatu masa
kehidupannya, tetapi hanya 4% yang benar-benar homoseksual dan mengekspresikan
kecenderungan erotisnya pada sesama laki-laki. Adapun sisanya kemungkinan hanya
karena rasa ingin tahu, dianiaya, atau dibatasi seksualnya. Temuan ini
menjelaskan bahwa mempunyai hubungan homoseksual tidak berarti seseorang
menjadi homoseks. Yang lebih penting secara sosiologis adalah pengungkapan
identitas homoseksual. Melalui identitas itu, seseorang mengkonsepkan dirinya
sebagai homoseks (Siahaan, 2009: 43).
Pada
lingkungan kebudayaan yang relatif modern, keberadaan kaum homoseksual masih
ditolak oleh sebagian besar masyarakat sehingga eksistensinya berkembang secara
sembunyi-sembunyi. Gadpaille (1989) menyatakan bahwa pada masa sekarang
masyarakat modern cenderung bersikap negatif terhadap aktivitas erotik antar
sesama jenis kelamin. Pandangan negatif mengenai homoseksual inilah yang
menyebabkan homoseksual cenderung tidak diterima masyarakat, rentan mengalami
diskriminasi, cemoohan serta sanksi-sanksi sosial lainnya (Ary, 1987: 9). Sejumlah keberatan terhadap perilaku
homoseksual sebagian besar adalah karena alasan keagamaan. Lenhne (1976)
mencetuskan istilah homophobia[2]
untuk menggambarkan kekuatan irasional dan intoleransi terhadap
homoseksual. Seorang individu yang diketahui sebagai pria homoseksual atau gay
beresiko untuk mengalami diskriminasi dalam pekerjaan dan kehidupan sosialnya (Chumairoh, 2008: 5). Sanksi
sosial yang diberikan masyarakat pada umumnya beragam, mulai dari cemoohan,
penganiayaan, hingga hukuman mati seperti yang pernah terjadi pada
negara-negara di barat. Penolakan serta diskriminasi masyarakat terhadap kaum
homoseksual yang berupa tuntutan untuk menjadi heteroseksual dalam seluruh aspek
kehidupan melatarbelakangi keputusan sebagian kaum homoseksual untuk tetap
menyembunyikan keadaan orientasi seksualnya dari masyarakat sehingga
orang-orang yang memiliki orientasi homoseksual memilih untuk menutupi
orientasi seksualnya baik secara sosial, adat dan hukum.
Di kota – kota besar mulai bermunculan komunitas – komunitas homoseksual. Berdirinya beragam komunitas ini
diwarnai dengan latar belakang yang berbeda. Namun tujuan utamanya serupa yaitu
sebagai wadah bagi kaum homoseksual untuk mengorganisasikan diri sehingga mampu
mengembangkan potensi yang dimilikinya. Perjuangan mereka sekarang ini bukan
hanya untuk diakui dan diterima secara terbuka oleh masyarakat. Isu yang mereka
angkat adalah persamaan hak antara homoseksual dengan identitas gender lainnya.
Munculnya GAYa Nusantara adalah salah satu bentuk usaha yang dilakukan kaum
homoseksual di wilayah Surabaya dan sekitarnya untuk berani terbuka dan mulai
membuka diri kepada masyarakat. Tidak hanya itu, tapi juga bisa membaur bersama
masyarakat.
Peneliti menyadari bahwa masih belum ada kajian yang menyoroti perilaku
informasi di kalangan minoritas yang dianggap menyimpang oleh masyarakat, dalam
hal ini yaitu kaum homoseksual. Sehingga penelitian ini ingin mengetahui secara
mendalam mengenai bagaimana homoseksual – gay menginterpretasikan informasi
yang menjadi gaya hidup mereka. Tak banyak komunitas yang berani mengungkapkan
identitasnya terkait hal ini, berbeda dengan GAYa Nusantara yang merupakan
salah satu komunitas homoseksual terbesar di Surabaya yang menunjukkan
keeksistensiannya. Sehingga komunitas yang akan menjadi obyek penelitian adalah
GAYa Nusantara.
Fokus Penelitian
Keberadaan kaum homoseksual cenderung masih belum diterima masyarakat.
Realitas dalam masyarakat sampai saat ini menunjukkan bahwa kaum homoseksual
tidak mendapatkan kesempatan yang sama seperti orang-orang normal atau
heteroseksual dalam berbagai aspek kehidupan, misalnya ia akan kesulitan
mendapatkan pekerjaan yang layak. Selain itu mereka juga kerap mendapatkan perlakuan
yang tidak menyenangkan akibat orientasi seksualnya sebagai penyuka sesama
jenis, seperti dikucilkan dalam lingkungannya. Hal ini tentu saja membuat kaum
homoseksual mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan informasi mereka,
khususnya dalam mencari informasi mengenai homoseksualitas dan seluk beluknya.
Secara sosiologis, homoseksual adalah seseorang yang
cenderung mengutamakan orang yang sejenis kelaminnya sebagai mitra seksual.
Homoseksual mencakup empat kelompok besar yaitu LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual
dan Transgender). Sehingga hubungan ini tidak terbatas hanya antara pria
dengan pria saja yang dikenal dengan istilah Gay, namun dapat juga hubungan
antara perempuan dengan perempuan yaitu Lesbian. Seseorang yang menderita
konflik batin karena perbedaan identitas diri yang bertentangan dengan
identitas sosial sehingga mengubah karakteristik dirinya disebut dengan
Transgender. Sedangkan Biseksual memiliki kecenderungan untuk menyukai pria
maupun perempuan secara bersamaan.
Peneliti tertarik untuk meneliti secara mendalam mengenai
bagaimana gay menginterpretasikan informasi yang ada di dalam keseharian
hidupnya. Peneliti memfokuskan penelitian kepada kaum gay adalah dikarenakan
beberapa alasan keamanan bagi peneliti sendiri, sebagai pertimbangan apabila
peneliti mengambil subyek penelitian lesbian maka peneliti akan cenderung
kesulitan untuk netral dan juga orientasi seksual yang menyukai perempuan,
selain itu di dalam komunitas GN mayoritas beranggotakan gay dan juga mereka
bekerja full time di sana (standby) sehingga memudahkan dalam
penelusuran informasi.
Berdasarkan pemaparan latar belakang tersebut di atas,
maka dirumuskan fokus penelitian sebagai berikut:
“Bagaimanakah homoseksual khususnya gay komunitas GAYa
Nusantara Surabaya menginterpretasikan informasi?”
Konsep Informasi
Penjelasan mengenai “informasi” kini menjadi semakin
rumit. Sejak informasi mengalami perkembangan yang seharusnya dapat mengurangi
ketidakpastian, hal ini malah mengakibatkan “informasi” menjadi ambigu karena
digunakan dalam konteks yang berbeda-beda. Dihadapkan
dengan berbagai makna "informasi" maka dapat diambil pendekatan
pragmatis untuk dapat mengindentifikasi pengelompokan informasi berdasarkan
penggunaan istilahnya. Definisi yang didapat mungkin tidak dapat memuaskan,
batas-batas antara penggunaan mungkin tidak jelas, dan pendekatan semacam itu
tidak bisa memuaskan siapa pun bertekad untuk membangun makna yang benar dari
"informasi." Tetapi jika penggunaan utama dapat diidentifikasi,
diurutkan, dan ditandai, maka dapat disimpulkan definisi informasi yang paling
mendekati. Melalui pendekatan ini dapat diidentifikasi penggunaan kata
“informasi” sebagai berikut:
- Information – as – process (informasi sebagai proses):
Ketika seseorang mendapat informasi, apa yang mereka ketahui
juga berubah. Dalam hal ini "informasi" adalah tindakan
menginformasikan; mengomunikasikan pengetahuan atau berita baru dari beberapa
fakta atau kejadian; tindakan menceritakan atau kenyataan dari sesuatu.
- Information – as – knowledge (informasi sebagai
pengetahuan):
"Informasi" juga digunakan untuk menunjukkan apa
yang diterima dalam informasi sebagai proses; pengetahuan diterjemahkan menjadi
beberapa fakta, subyek atau kejadian; yang salah satunya diceritakan; berita.
Gagasan informasi sebagai sesuatu yang mengurangi
ketidakpastian dapat dipandang sebagai kasus khusus dari "informasi
sebagai pengetahuan". Kadang-kadang informasi meningkatkan ketidakpastian.
- Information – as – thing (informasi sebagai hal):
Istilah “informasi” ini juga digunakan attributive untuk
benda, seperti data dan dokumen, yang disebut sebagai "informasi"
karena mereka dianggap informatif, sebagai "memiliki kualitas menanamkan
pengetahuan atau menyampaikan informasi, instruktif "(Oxford English Dictionary, 1989:
946).
Pengertian Homoseksualitas
Homoseksualitas adalah
kesenangan yang terus menerus terjadi dengan pengalaman erotis yang melibatkan
kawan sesama jenis, yang dapat atau mungkin saja tidak dapat dilakukan dengan
orang lain atau dengan kata lain, homoseksualitas membuat perencanaan yang
disengaja untuk memuaskan diri dan terlibat dalam fantasi atau perilaku seksual
dengan sesama jenis (Olson, 2000: 10).
Dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia III (DepKes RI, 1998: 115), homoseksualitas dimasukkan dalam kategori gangguan psikoseksual dan
disebut sebagai orientasi seksual egodistonik, yaitu “identitas jenis kelamin
atau preferensi seksual tidak diragukan, tetapi individu mengharapkan yang lain
disebabkan oleh gangguan psikologis dan perilaku serta mencari pengobatan untuk
mengubahnya.” Artinya homoseksualitas dianggap suatu kelainan hanya bila
individu merasa tidak senang dengan orientasi seksualnya dan bermaksud
mengubahnya.
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa
homoseksual adalah ketertarikan secara emosional / kasih sayang, maupun secara
erotik terhadap sesama jenis, dengan atau tanpa hubungan fisik.
Orientasi dan Identitas Seksual Kaum Gay
Istilah
homoseksual dan heteroseksual digunakan merujuk pada orientasi seksual
seseorang. Orientasi seksual menunjuk pada jenis kelamin pasangan erotis, cinta
ataupun afeksi yang dipilih. Orientasi seksual terbentuk mulai saat hormon –
hormon seksual berkembang, yaitu pada saat seseorang memasuki usia remaja.
Sebelum masa tersebut, ketertarikan kepada orang lain masih belum dapat
dianggap sebagai ketertarikan seksual (Oetomo,
2001: 26). Seorang gay adalah seorang homoseksual karena ia
adalah laki-laki, sedangkan pasangan erotis, cinta, ataupun afeksinya adalah
juga laki-laki.
Identitas seksual (Oetomo, 2001: 26) berarti bagaimana seseorang memandang dirinya, baik sebagai laki-laki
ataupun sebagai perempuan. Identitas seksual mengacu pada hasil pembagian jenis
kelamin secara kromosomal, kromatinal (genetis), gonadal, hormonal, dan somatis
(fenotipis, biotipis). Atau dengan kata lain, identitas seksual mengacu pada
kejantanan (maleness) atau kebetinaan (femaleness) dari segi
ragawi (bentuk tubuh), khususnya alat kelamin luar. Akan tetapi, ada penelitian
yang menunjukkan bahwa identitas seksual bukan merupakan bawaan saat lahir,
tetapi lebih merupakan pembelajaran melalui pengalaman yang diberikan secara
tidak resmi dan tidak terencana. Bila seorang anak, yang pada saat dilahirkan
diperlakukan menurut identitas seksualnya yang berbeda dari jenis kelamin
biologisnya, maka ia akan tumbuh sesuai dengan identitas seksual yang diberikan
kepadanya (Darmawanto,
2002).
Kaum gay masih tetap merasa dan menganggap dirinya
sebagai laki-laki. Dalam mewujudkan seksualitasnya, ada yang bertindak sebagai
pihak pasif (seperti peran perempuan dalam hubungan seksual) dan ada yang
bertindak sebagai pihak aktif (seperti peran laki-laki), tetapi masing-masing
tetap menganggap diri sebagai laki-laki, baik secara fisik maupun psikis.
Konsep Gender dan
Seksualitas
Ketika seksualitas
berada dalam konsep bangsa dan negara, ia menjadi sesuatu yang tidak bisa
berdiri sendiri, terkait dengan banyak hal. Keterkaitan ini menyebabkan
seksualitas tidak lagi menjadi milik pribadi tetapi bagian dari nilai komunal,
sehingga seksualitas diatur sedemikian rupa. Dalam masyarakat Indonesia di masa
sebelum kemerdekaan, seksualitas yang baik adalah seksualitas yang
dilakukan oleh lelaki dan perempuan untuk memperoleh
keturunan, antara penis dan vagina, harus melalui pernikahan serta
dilakukan di ruang pribadi. Seksualitas selain itu dianggap sesuatu yang salah
dan melanggar norma, tidak beretika dan lainnya. Lalu muncul permasalahan
heteronormativitas, yaitu ideologi tentang keharusan untuk menjadi
heteroseksual, yang didasarkan pada penindasan orientasi seksual lain yang
tidak berorentasi reproduksi keturunan seperti homoseksualitas. Juga keharusan
akan kesesuaian antara identitas gender dan identitas seksual. Kalau beranatomi
laki-laki, maka harus maskulin, dan sebaliknya bila beranatomi perempuan maka
harus feminin. Heteronormativitas (Dermatoto, 2010) adalah ideologi yang
menyatakan bahwa heteroseksualitas adalah bentuk hubungan yang sah, sama sekali
tidak dipertanyakan.
Bicara masalah
seksualitas gay maka tidak terlepas dari konsep gender. Untuk memahami konsep
gender, harus ada pembedaan antara konsep gender itu sendiri dengan konsep
jenis kelamin (sex). Menurut Fakih (2001: 8) jenis kelamin (sex) merupakan
pembagian dua jenis kelamin pada laki-laki dan perempuan yang ditentukan secara
biologis dan memiliki sifat-sifat permanen yang tidak dapat berubah dan ditukarkan
antara keduanya. Dalam kaitannya dengan ilmu sosial, menurut Macdonald (1999)
gender adalah pembedaan antara laki-laki dan perempuan dalam bentuk sosial yang
tidak disebabkan oleh perbedaan biologis yang menyangkut jenis kelamin.
Konsep Dramaturgi
Goffman
mengasumsikan bahwa ketika orang-orang berinteraksi, mereka ingin menyajikan
suatu gambaran diri yang akan diterima orang lain. Dia menyebut upaya tersebut
sebagai impression management atau
pengelolaan kesan, yaitu teknik yang digunakan aktor untuk memupuk kesan
tertentu, dalam situasi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Ketika
berinteraksi atau berkomunikasi, seseorang akan mengelola dirinya agar tampak seperti
apa yang dikehendakinya, sementara juga orang lain yang menjadi mitra
komunikasinya melakukan hal yang sama. Oleh karenanya setiap orang melakukan
pertunjukkan bagi orang lain, sehingga ia menjadi aktor yang menunjukkan
penampilannya untuk membuat kesan bagi lawannya: “People are actors, structuring their performances to make impressions
on audiences.” (Littlejohn, 1996: 169).
Dengan
mengikuti analogi teaterikal ini, Goffman (1969: 22–44) berbicara mengenai
panggung depan (front stage). Front adalah bagian pertunjukan
yang umumnya berfungsi secara pasti dan umum untuk mendefinisikan sesuatu bagi
orang yang menyaksikan pertunjukan. Dalam front stage, Goffman
membedakan antara setting dan front personal. Setting mengacu pada
pemandangan fisik yang biasanya harus ada di situ jika aktor memainkan
perannya. Tanpa itu biasanya aktor tak dapat memainkan perannya. Front
personal terdiri dari berbagai macam barang perlengkapan yang bersifat
menyatakan perasaan yang memperkenalkan penonton dengan aktor dan perlengkapan
itu diharapkan penonton dipunyai oleh aktor. Goffman kemudian membagi front
personal ini menjadi penampilan dan gaya. Penampilan meliputi berbagai
jenis barang yang mengenalkan kepada kita status sosial aktor. Gaya mengenalkan
pada penonton, peran macam apa yang diharapkan aktor untuk dimainkan dalam
situasi tertentu (menggunakan gaya fisik, sikap). Tingkah laku kasar dan yang
lembut menunjukkan jenis pertunjukan yang sangat berbeda. Umumnya kita
mengharapkan penampilan dan gaya saling bersesuaian.
Goffman
juga membahas panggung belakang (back stage) dimana fakta disembunyikan
di depan atau berbagai jenis tindakan informal mungkin timbul. Back stage biasanya
berdekatan dengan front stage, tetapi juga ada jalan memintas antara
keduanya. Pelaku tak bisa mengharapkan anggota penonton di depan mereka muncul
di belakang. Mereka terlibat dalam berbagai jenis pengelolaan kesan untuk
memastikannya. Pertunjukan mungkin menjadi sulit ketika aktor tak mampu
mencegah penonton memasuki pentas belakang.
Metodologi Penelitian
Untuk mengungkapkan
realitas sosial homoseksual seperti ini, maka peneliti perlu menggunakan
metodologi kualitatif. Oleh karena peneliti berupaya menggambarkan fenomena
dunia homoseksual – gay menurut dunia mereka sendiri maka penelitian
ini mengemukakan jenis penelitian Etnometodologi. Menurut Moleong (2004: 14), etnometodologi
sebagai sebuah studi pada dunia subjektif, tentang kesadaran, persepsi dan
tindakan individu dalam interaksinya dengan dunia sosial yang ditempatinya
sesuai dengan pokok penelitian kualitatif yang juga menekankan pada dunia
subjektif dengan setting sosial yang dilibatinya.
Lokasi Penelitian
Berdasarkan fokus penelitian dan ketertarikan peneliti pada perilaku
pencarian informasi kaum homoseksual, maka lokasi yang dipilih adalah Komunitas
GAYa Nusantara, bertempat di Jalan Mojo Kidul I No. 11A Surabaya. Penelitian
yang dilakukan tidak terbatas pada lokasi di Sekretariat GAYa Nusantara ini
saja, karena penelitian ini bersifat kondisional, tergantung kesediaan informan
untuk dilakukannya wawancara.
Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel
Sasaran dalam penelitian ini adalah individu yang
memiliki orientasi seksual sebagai homoseksual – gay dan merupakan anggota dari
komunitas GAYa Nusantara. Subyek penelitian akan ditentukan dengan cara snowball
sampling, dimana peneliti melakukan penggalian data secara berantai kepada
individu yang dirasa mengerti banyak dan memenuhi kualifikasi awal yang telah
ditetapkan oleh peneliti (Burhan, 2007: 77). Kriteria pemilihan
informan didasarkan atas kredibilitas dan juga kekayaan informasi yang mereka
miliki, antara lain adalah individu yang memiliki orientasi seksual sebagai
homoseksual – gay, aktif ikut serta dalam kegiatan komunitas GAYa Nusantara,
mengerti mengenai proses pencarian informasi yang dilakukan di dalam komunitas GAYa Nusantara, serta dapat
berkomunikasi dan memberikan informasi dengan cukup baik dan jelas.
Teknik Pengumpulan Data
Peneliti ingin menggali informasi secara mendalam
mengenai kaum homoseksual khususnya gay serta mengetahui keunikan perilaku
pencarian informasi spesifik, yang tidak mungkin dapat diperoleh dengan
menyebar kuesioner. Teknik pengumpulan data yang akan dipergunakan adalah
dengan observasi dan wawancara mendalam (indept interview).
Analisis
dan Intepretasi Pencarian Informasi Gay di GAYa Nusantara
Kebutuhan akan informasi menjadi suatu masalah ketika kebutuhan tersebut
tidak dapat dirumuskan dengan baik sehingga tidak mewakili kebutuhan itu
sendiri. Dan dalam kehidupan sehari-hari jelas individu akan selalu menemui
kesejangan ini, hal ini senantiasa menjadikan manusia aktif menambah kekayaan
informasinya guna mengatasi kesenjangan ini.
Komunitas GAYa Nusantara sebagai suatu wadah bersosialisasinya kaum LGBT
di Surabaya pun memiliki serangkaian kebutuhan informasi. Kebutuhan informasi
bagi setiap individu berbeda-beda antara individu yang satu dengan
lainnya.
Informasi di Mata Gay GAYa
Nusantara
Informasi
menjadi kunci penting dalam masyarakat. Karena melalui informasi dapat
meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan pencapaian kehidupan sosial masyarakat
yang lebih baik. Secara umum, informasi telah tersimpan dalam pikiran manusia
dan mengalami perbaharuan serta modifikasi melalui interaksi sosial, proses
pembelajaran dan komunikasi.
Dalam
hal ini, gay sebagai bagian dari homoseksual pun memiliki kemampuan untuk dapat
menelusur informasi. Pemahaman information
as thing menunjukkan bahwa individu dapat menerima informasi (informasi
sebagai proses) dan juga menjadi bagian dari informasi itu (informasi sebagai
pengetahuan). Berdasarkan
pengamatan dan juga indepth interview, informan gay memiliki pemahaman yang
berbeda mengenai defisini informasi. Bagi sebagian informan, informasi
mengungkapkan kehidupan keseharian mereka sehingga pemahaman informasi tidak
sama persis satu dengan yang lainnya.
Informasi
tidak melulu hanya yang bersifat tangible
dan fisik semata, karena information as
knowledge juga menjadi keseharian mereka, khususnya yang menyangkut dengan
kehidupan terselubung mereka. Tidak banyak orang terutama masyarakat hetero
yang menyadari kehadiran kelompok homoseksual tanpa pihak homoseksual sendiri
yang membuka dirinya. Sebagai kaum minoritas yang sering mengalami diskriminasi
tak pelak membuat mereka menutup diri, hal ini menyulitkan mereka dalam
menemukan dunia mereka. Informasi yang dimaksud oleh sebagian besar informan
yang mewakili gay kota besar, mengungkapkan bahwa informasi merupakan sebuah
pengetahuan yang harus dicari dalam kaitannya untuk mempermudah proses coming out mereka. Maka dikatakan bahwa
informasi yang dimaksud bukanlah pengetahuan yang dirangkum secara fisik
seperti buku, video atau hal tangible lain
yang dapat ditemukan dengan mudah. Informasi memberikan gambaran utuh mengenai
bagaimana kehidupan sehari-hari yang dialami oleh gay dalam lingkup
homoseksual, komplit dengan segala macam polemik yang mewarnainya.
Informasi
yang dimaksud ini kebanyakan didapatkan dari rekan-rekan yang berada dekat di
lingkungan sekitar mereka. Kemudian mereka akan diantar untuk dapat memasuki
dan memahami dunia gay, yang kemudian berujung pada proses penting untuk
memutuskan apakah mereka merasa nyaman dan yakin akan menjadi seorang gay.
Analisis dan Interpretasi Informasi Gay di GAYa Nusantara
Informasi yang dimiliki tiap orang tidak sama
dengan orang lain, apalagi bagi kelompok homoseksual gay yang memiliki
orientasi seksual berbeda dengan mayoritas kelompok masyarakat lainnya.
Pemahaman akan informasi yang ditemukan dalam penelitian ini akan dipaparkan
menjadi beberapa garis besar gambaran umum tentang bagaimana mereka
menginterpretasikan informasi yang berada di sekeliling mereka.
Informasi Kesehatan
Informasi mengenai kesehatan juga
menjadi salah satu informasi yang cukup urgent untuk selalu dicari. Satu dari
lima pria gay dan biseksual aktif secara seksual memiliki virus AIDS. Namun
hampir setengah dari mereka tidak mengetahui bahwa mereka terinfeksi HIV.
Demikian hasil penelitian di 21 kota di AS. Para ahli mengatakan temuan ini
mirip dengan penelitian sebelumnya, namun penelitian kali ini yang terbesar
untuk melihat pria gay dan biseksual di AS berisiko tinggi untuk HIV. Lebih
dari 8.000 pria diuji dan diwawancarai, dan 44% dari mereka yang memiliki virus
HIB tidak tahu mereka telah tertular. Sebuah studi sebelumnya pada 2004-2005 di
lima kota juga menemukan hasil serupa. Studi baru, dilakukan pada 2008,
termasuk 16 kota tambahan.
Kebanyakan
gay seringkali tidak mengetahui apa yang mereka butuhkan. Kesenjangan informasi
akan bahaya dan dampak kesehatan yang akan dihadapi belum disadari benar
sebelum mereka mengalami gejala penyakit setelah mereka memeriksakan diri ke
dokter. Terutama bagi mereka yang masih belum coming out atau belum
berani terbuka pada orang lain mengenai identitas ke-gay-an mereka. Selain
informasi kesehatan berguna bagi diri sendiri, informasi ini nantinya juga akan
disebarkan kepada rekan-rekan homoseksual maupun heteroseksual lainnya. Karena
seperti kita ketahui bahwa pasangan LGBT rawan terkena virus HIV/AIDS. Hal ini
juga yang kebanyakan memicu mereka untuk aware akan bahaya apa saja yang
ditimbulkan dan cara penularan HIV/AIDS. GN menjalin kerjasama dengan Puskesmas
Perak Timur dalam menyediakan layanan jasa kesehatan, yakni Mobile Klinik.
Kegiatan ini diadakan secara berkala untuk membantu teman-teman LGBT dan wanita
PSK untuk mengetahui kesehatannya khususnya yang terkait dengan IMS dan
HIV/AIDS.
Stigma
– stigma semacam itu berpengaruh kuat bagi aktivis gay di GN untuk semakin
gencar berupaya mengatasi kesenjangan informasi agar tidak semakin banyak teman
– teman lain yang terjangkit virus mematikan tersebut. Karena seperti yang kita
ketahui bahwa jangkauan GN ini tidak hanya mencakup daerah Surabaya saja
melainkan juga seluruh Indonesia dan tidak menutup kemungkinan dari daerah yang
masih memegang kuat tradisi yang beresiko tinggi seperti itu.
Dilandasi
oleh ketidaktahuan dan keterbatasan informasi yang dimiliki, mendesak mereka
untuk segera menjembatani kesenjangan ini dengan memanfaatkan berbagai sumber
informasi. GN menjalin kerjasama dengan Puskesmas Perak Timur dalam menyediakan
layanan jasa kesehatan, yakni Mobile Klinik. Kegiatan ini diadakan secara
berkala untuk membantu teman-teman LGBT dan wanita PSK untuk mengetahui
kesehatannya khususnya yang terkait dengan IMS dan HIV/AIDS. Selain itu pemerintah kota seringkali
mengadakan pemeriksaan rutin melalui Survey Terpadu Biologis dan Perilaku
(STBP). Kegiatan ini telah berlangsung selama dua kali yaitu pada tahun 2007
dan Februari 2011, yang bertempat di GN. Siapapun boleh mengikuti pemeriksaan
kesehatan ini, biasanya mereka dikategorikan menjadi beberapa kelompok. Mereka
telah membagi respondennya meliputi antara lain: Inject
Drug User (IDU), Laki
Suka Laki (LSL) atau gay, lesbian, transgender dan pekerja seks komersial.
Lembaga survey yang berpusat di Jakarta ini bekerja sama dengan lembaga
kesehatan kota, dan dalam pemeriksaan kesehatan ini pun melibatkan anggota GN
sebagai panitianya.
Informasi Hubungan
Relasional
Hidup
sebagai homoseksual mengandung makna bahwa homoseksual selalu berusaha menjadi
bagian dari berbagai ruang sosial. Goffman dalam Littlejohn (1996: 169) mengasumsikan bahwa
ketika orang – orang berinteraksi, mereka ingin menyajikan suatu gambaran diri
yang akan diterima orang lain. Goffman menyebut upaya tersebut sebagai impression
management atau pengelolaan kesan, yaitu teknik yang digunakan aktor untuk
memupuk kesan tertentu dalam situasi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu.
Untuk menimbulkan kesan tertentu, seseorang akan mempresentasikan dirinya
dengan atribut atau tindakan tertentu, termasuk pakaian, tempat tinggal,
perabotan rumah tangga, cara berjalan, gaya berbicara, dan sebagainya. Ketika
berinteraksi atau berkomunikasi, seseorang akan mengelola dirinya agar tampak
seperti apa yang dikehendakinya, sementara juga orang lain yang menjadi mitra
komunikasinya melakukan hal yang sama. Oleh karenanya setiap orang melakukan
pertunjukkan bagi orang lain, sehingga ia menjadi aktor yang menunjukkan
penampilannya untuk membuat kesan bagi lawannya.
Tidak sedikit gay yang berusaha
menutupi akan orientasi seksualnya tersebut. Mereka berupaya melawan nalurinya
yang menyukai sesama jenisnya demi menjadi serupa dengan heteroseksual yang
dalam pandangan sosial merupakan kelompok masyarakat normal dan mayoritas.
Kesan yang diciptakan oleh aktor yaitu gay bergantung pada aktor itu sendiri.
Latar belakang kehidupan dapat menjadi salah satu pemicu atas kesan yang diciptakan
oleh aktor. Dengan mengikuti analogi teaterikal ini, Goffman berbicara mengenai
panggung depan (front stage). Front adalah bagian pertunjukan
yang umumnya berfungsi secara pasti dan umum untuk mendefinisikan sesuatu bagi
orang yang menyaksikan pertunjukan. Back stage biasanya berdekatan
dengan front stage, tetapi juga ada jalan memintas antara keduanya.
Pelaku tak bisa mengharapkan anggota penonton di depan mereka muncul di
belakang. Mereka terlibat dalam berbagai jenis pengelolaan kesan untuk
memastikannya.
Gay saat berada di front
stage yang berhadapan dengan orang
banyak, yang dalam hal ini berarti heteroseksual, maka mereka tidak akan terang
– terangan menyatakan identitas mereka. Namun saat mereka sudah berada di back
stage, di saat berada dalam kondisi dan situasi yang sebenarnya maka mereka
bisa berubah kembali dengan memperlihatkan gaya dan gesture homoseksual.
Selebihnya mereka pun
memiliki ruang pribadi dan menjalin hubungan sosial antar sesama kaum
homoseksual. Hubungan yang paling sederhana berawal dari kecocokan yang
dirasakan antar individunya, dalam hal ini menjadi hubungan pertemanan. Manusia akan selalu membutuhkan
orang lain dalam memenuhi setiap kebutuhan hidupnya. Dalam ketergantungan itu,
manusia akan terus menerus menjalin sebuah ikatan hubungan (bond relationship)
untuk saling mengisi kekurangan serta kelebihan masing-masing dan apabila
ikatan hubungan yang terjalin tersebut dirasa menguntungkan, maka tidak menutup
kemungkinan hubungan ini akan berlangsung sampai pada masa yang tidak dapat
ditentukan. Kaum homoseksual sebagai kaum minoritas yang masih dianggap menyimpang
oleh kebanyakan masyarakat Indonesia, sebenarnya juga sama dengan kaum hetero
lainnya yang juga membutuhkan pertemanan. Hanya saja pertemanan yang terjalin
ini harus dibatasi oleh serangkaian aturan dan kaidah-kaidah yang berlaku di
masyarakat. Mereka cenderung melakukan perkelompokan dikarenakan adanya rasa
persamaan dan juga latar belakang. Oleh sebab itu, bagi kaum homoseksual
penting bagi mereka untuk selalu menjaga pertemanan yang terjalin. Komunikasi yang terjalin dalam
hubungan ini biasanya bersifat lebih akrab dan juga hangat. Berawal dari pertemanan
akhirnya berujung pada kedekatan secara personal, yang kemudian membuat mereka
memutuskan untuk menjalin suatu komitmen dengan lebih serius. Pasangan kaum
homoseksual lebih sering disebut dengan istilah partner.
Ikatan hubungan yang dapat
berlangsung dalam dan permanen pada kehidupan manusia, dapat ditemui dalam
konteks komunikasi antar personal (interpersonal communications). Dari berbagai
macam komunikasi antar personal, hubungan percintaanlah (romantic
relationships) yang paling berlangsung dalam dan permanen, karena tidak hanya
melibatkan semua hidupnya seperti pada hubungan keluarga dan sahabat, tetapi
juga melibatkan romantisme dan perasaan seksual. Berdasarkan Attractive Theory,
Romantic Relationships dapat terjadi akibat Ketertarikan (Attractiveness) atau Physical Appearance and
Personality, Kedekatan fisik (Proximity) dan Persamaan (Similarity). Mereka
juga melakukan pertukaran sosial (social exchange) di antara satu dengan yang
lain karena mendapatkan ganjaran (reward) yang akan mereka dapatkan dari
partnernya. Selain itu apabila partner kita memberikan sesuatu maka kita juga
harus memberikan sesuatu yang sama (equity) sebagai balasan. Dalam hal ini,
hubungan percintaan (romantic relationships) yang tentunya juga sangat
membutuhkan suatu kedekatan fisik (proximity) untuk mempertahankan kelancaran
berkomunikasi (Wood, 2005: 294).
Informasi
pertemanan diperoleh melalui sumber-sumber yang biasanya diakses oleh mayoritas
gay
lainnya. Situs-situs
yang menjadi rujukan yaitu MIRC yaitu media chatting namun kini sudah mulai jarang
digunakan, social networking melalui Facebook dan Twitter serta social
networking khusus
LGBT. Yang cukup menarik ini adalah social networking khusus LGBT, karena ini merupakan
situs jejaring khusus bagi kaum LGBT di seluruh dunia. Situs jejaring LGBT
antara lain Manjam, Gaydar, Gaydar Girls, Gaydate, dan masih banyak lagi. Namun
yang sering digunakan oleh kaum gay yaitu Manjam dan Gaydar. Tampilannya sekilas
menyerupai Facebook, hanya saja konten dalam situs ini semuanya berhubungan
dengan LGBT. Di sana member dapat menyertakan informasi umum mengenai
diri mereka sampai ke informasi yang sangat personal, seperti misalnya ukuran
tubuh dan bentuk tubuh.
. Tak
banyak sumber informasi yang cukup memberikan informasi perilaku seksual,
kesehatan seksual, dan tentunya yang berkaitan dengan kehidupan homoseksual.
Hal ini tentu sangat menyulitkan bila informan harus mencarinya melalui sumber
informasi yang tercetak. Gaydar disini berperan penting untuk membantu mereka
mengenali siapa sesame jenis mereka, tidak mudah memang karena secara informasi
ini tidak kasat mata dan hanya dapat diperoleh melalui pengalaman hidup bersama
dengan homoseksual lain. Dewasa ini banyak kalangan hetero yang juga mengadopsi
budaya homoseks melalui simbol-simbol yang biasa dikenakan oleh homoseks.
Seperti cincin di kelingking dan ibu jari, anting-anting, gelang, kalung, sapu
tangan atau simbol lain, saat ini sudah banyak digunakan oleh laki-laki bukan
homoseksual. Tentu mereka tidak menyadari bahwa sebenarnya yang mereka kenakan
merupakan simbol homoseksual untuk dapat saling berinteraksi dengan homoseksual
lain. Mereka hanya mengenakannya sebagai bagian dari trend fashion atau sekedar
alasan hobi dan kesenangan. Hal ini menimbulkan bias bagi kalangan homoseksual
karena orang-orang di luar kelompoknya juga menggunakannya, sehingga mungkin
saja dapat terjadi kesalahpahaman dan kekacauan simbol yang diterima. Sehingga
banyak informan lebih percaya kepada rekan-rekan mereka, yang tentu saja
berdasarkan dari pengalaman hidup mereka. Seperti contohnya bagaimana seorang
gay dapat mengetahui sesamanya gay. Bagi mereka jawabannya hanya ditemukan dari
body
language gay itu. Dan
tentu saja bahasa tubuh ini tidak dapat dijelaskan melalui serangkaian
informasi yang tertulis. Walaupun memang ada, namun belum tentu dapat
menggambarkan secara sempurna.
Informasi Pekerjaan
Kelompok
homoseksual tidak begitu saja dengan mudah memperoleh informasi yang mereka
butuhkan, mereka cenderung bersifat inklusif sehingga penyebaran dan akses
informasi tidak semudah kalangan heteroseksual lain. Kecaman dari berbagai
pihak hetero yang homophobic menghalangi mereka untuk dapat segera coming out, membuat mereka harus
mengalami dilema atas keadaan orientasi seksual yang berbeda. Perlakuan diskriminasi
yang seringkali dihadapi membuat mereka cenderung memiliki kelompok sendiri,
yang kebanyakan dilandasi oleh kesamaan pandangan maupun latar belakang histori
kehidupan mereka. Kebanyakan dari mereka mengenal kehidupan gay secara
inklusif, dalam artian bahwa hanya segelintir orang yang menjadi teman dekat
mereka (tentu saja telah menjadi gay sebelumnya) yang kemudian membantunya
untuk menemukan dunia gay. Akses ini tidak mudah ditembus oleh orang awam
(hetero) karena tentu saja mereka sangat berhati-hati agar tak banyak orang
mengetahui orientasi seksualnya, demi alasan keamanan juga.
Oleh
sebab itu sikap tertutup yang dilakukan oleh sebagian besar dari gay bukan
tanpa sebab, mereka ingin melindungi diri dari serangan pihak-pihak yang tidak
menyukai keberadaan mereka. Diskriminasi yang kerap dirasakan adalah di dalam
lingkungan pekerjaan, mereka dituntut untuk dapat bersikap professional, yang
berarti dalam hal ini mereka harus menunjukkan perilaku sesuai dengan gender
mereka, laki-laki harus bersikap maskulin, keras, tegar dan bukannya feminin,
lembut dan halus. Tentu saja hal ini menyiksa batin mereka khususnya bagi
homoseksual gay feminim (kecenderungan menjadi pihak perempuan), transgender
dan juga lesbian butchy
(kecenderungan menjadi pihak laki-laki). Keanomalian seksual tersebut tidak
dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat. Pandangan masyarakat mengenai heteronormativitas, ideologi yang menyatakan bahwa heteroseksualitas adalah bentuk hubungan
yang sah, sama sekali tidak dipertanyakan, membuat mereka kesulitan saat
harus menghadapi dunia pekerjaan dan kehidupan sosial yang mengharuskan
berinteraksi dengan kelompok heteroseksual. Masih kuatnya fakta sosial yang
masih meyakini benar akan stigma bahwa gay adalah “sampah masyarakat” dan
termarjinalkan, serupa dengan pandangan Goffman tentang stigma yang dibagi
menjadi dua, yaitu stigma fisik (cacat lahir, seperti buta, dsb) dengan stigma
sosial (misalnya mantan pembunuh, lesbian, dsb). Goffman melihat kesenjangan
antara citra diri yang seseorang inginkan ketika berinteraksi dengan orang
lain, dengan stigma – stigma yang ia miliki (Mulyana, 2001: 121-122). Maka
tidak semua gay dapat dengan mudah memperoleh kesempatan yang sama dalam
bersaing mendapatkan pekerjaan di seluruh lapisan bidang profesi.
Bagaimana
mereka harus mengondisikan perilakunya agar dapat diterima oleh mayoritas
masyarakat sedangkan hal itu sangat bertentangan dengan batinnya. Sehingga
kebanyakan dari mereka menjalin relasi bisnis dengan sesama homoseksual lainnya
yang lebih settle secara kehidupan
sosial dan ekonomi. Selain itu pada lingkungan pekerjaan tersebut, orientasi
seksual mereka bukan menjadi permasalahan utama, yang dituntut adalah
kreativitas dan juga semangat bekerja. Seperti misalnya bekerja menjadi capster di salon kecantikan, penata make up professional, fashion designer, MC, penyiar radio,
atau pekerjaan lain yang memiliki hubungan dekat dengan dunia homoseksual.
Namun tak jarang pekerjaan sebagai penjaja seks pun mereka geluti, terbanyak
dialami oleh kalangan transgender dan juga gay yang memutuskan untuk bekerja di
dunia malam seperti itu.
GAYa
Nusantara sebagai wadah individu homoseksual paham benar akan problem dunia
pekerjaan seperti ini, sehingga GN turut membantu mereka dengan merekrut
menjadi volunteer di dalam komunitas
ini. Selain disebabkan oleh histori yang sama, GN bukan hanya komunitas yang
bertujuan untuk menjadi tempat kumpul-kumpul atau ngeber semata bagi kelompok LGBT. GN menjaring mereka dengan maksud
agar mereka tidak semakin terjerumus ke dalam kehidupan yang salah, yang
identik dengan stigma negatif yang berkembang di masyarakat. GN ingin
menghapuskan pandangan sampah masyarakat dan diskriminasi orientasi seksual,
ingin mengangkat harkat martabat yang sama dengan manusia lain.
Informan
merasa bangga dan bersyukur karena mereka terlibat dan menjadi bagian dari
komunitas GN, komunitas homoseksual yang cukup diperhitungkan di dunia
internasional. Dari GN mereka banyak mendapatkan informasi, pengetahuan
mengenai kesehatan dan isu-isu seputar LGBT menjadi bertambah. Informan pun
memilih untuk menyebarkan pengetahuan yang dimilikinya dari kegiatan-kegiatan
bermanfaat GN kepada teman-teman LGBT yang belum mendapatkan pengetahuan
tersebut. Banyaknya kegiatan positif yang diselenggarakan GN turut membangun
kepercayaan diri mereka sehingga mereka dapat kembali membangun relasi dengan
orang lain, termasuk dengan homophobic di sekitar mereka.
Informasi Personal
Informasi personal merupakan
informasi yang ditentukan oleh gay itu sendiri, diinterpretasikan secara bebas
dan tidak terpaku pada kaidah umum yang biasa dipahami oleh orang lain. Tiap
individu memiliki kebutuhannya sendiri, sehingga peneliti merangkumnya ke dalam
kelompok informasi personal.
Gay
terkenal dengan gaya busana yang berbeda dari kelompok homoseksual lain dan
juga heteroseksual. Hal ini cukup terlihat dari fashion yang dikenakan, gay
akan selalu up to date dalam menentukan gaya berbusananya. Ia
tidak mau nampak asal-asalan dalam berpakaian dan memang selalu mengikuti trend
busana dan gaya rambut terkini. Dan hal ini juga merupakan simbol khusus bagi
para gay untuk menunjukkan keeksistensiannya. Menurutnya, untuk membedakan gay
dengan pria lainnya, kebanyakan para gay selalu lebih menonjol dalam mengikuti
tren serta menggunakan barang branded. Goffman menyebut appearance atau penampilan bagian
daripada personal front. Seperti juga
bahasa non verbal lainnya, bahasa penampilan menjadi symbol tersendiri bagi
gay. Penampilan bisa dibagi dua, yaitu pertama penampilan karena bukan yang
direncanakan (misalnya cacat fisik, karena sejak lahir, kecelakaan, dsb).
Kedua, karena kesengajaan (penampilan melalui busana yang dipakai). Biasanya
mereka mendesain penampilan mereka dengan lebih menonjolkan pakaian yang
sengaja menunjukkan identitas gay. Oleh sebab itu, fashion menjadi hal yang penting dalam kehidupan mereka.
Pengorganisasian Informasi dalam Lingkup Komunitas
Lancaster dalam Turner (1987: 5)
memaparkan mengenai bagaimana informasi diorganisasikan dengan baik agar
informasi yang jumlahnya sangat banyak dapat tersampaikan kepada pengguna atau
individu. Ledakan informasi dapat membingungkan individu, mereka harus dapat
memilah mana informasi yang penting dan mana yang harus dibuang. Demikian pula
yang dialami oleh kelompok homoseksual gay, saat awal mereka akan mengalami
kesenjangan informasi yang kemudian berujung pada pencarian informasi oleh
mereka, namun setiap data akan diterima. Informasi yang datang berbagai macam
termasuk diantaranya dalam bahasa yang berbeda-beda. Individu gay akan berupaya
menyeleksi dan mengakuisi informasi tersebut melalui berbagai cara, salah
satunya dapat melalui akses yang dapat ditelusur secara fisik, misalnya melalui
buku, kamus, internet dsb. Namun seperti yang kita ketahui bahwa gay cenderung
inklusif maka upaya penyeleksian informasi melalui akses pertemanan atau peer group yang mereka bangun
sebelumnya. Kebanyakan informasi tersebut intangible,
berupa berita maupun simbol-simbol khusus. Hal ini merupakan fase translation, mereka berupaya
menerjemahkan bahasa dari informasi yang diterima, dalam hal ini merupakan
simbol-simbol khusus yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Sebagai
contoh simbol yang menunjukkan bagaimana mereka dapat mengenali dan
mengidentifikasi sesama jenisnya menjadi suatu pemahaman baru dan disimpan
dalam database, dalam hal ini database berada dalam pikiran mereka. Setelah itu
informasi dan pengetahuan baru ini akan diteruskan kepada individu lainnya,
namun untuk memudahkan maka database yang ada dalam pikiran mereka dituangkan
dalam rupa penulisan, misalnya buku atau penelitian yang kemudian dibaca oleh
orang lain sehingga orang lain dapat dengan mudah memahami informasi tersebut.
Kesimpulan
Dalam realita kehidupan bermasyarakat,
kita menyadari bahwa ada begitu beragam masyarakat dengan berbagai latar
belakang kehidupan sosialnya. Termasuk di dalamnya kelompok sosial masyarakat
yang dianggap menyimpang, salah satunya adalah homoseksual–gay. Masyarakat
masih memiliki stereotip mengenai gay yang dianggap sampah masyarakat dan
seringkali dihubungkan dengan adat istiadat yang tabu serta penyakit menular
seksual. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di komunitas GAYa Nusantara
Surabaya, didapatkan beberapa hasil yang dapat ditarik kesimpulan antara lain:
- Ketika
homoseksual – gay dilabeli oleh mayoritas heteroseksual di luar itu mereka
akan cenderung menunjukkan keeksistensian mereka dalam upanya untuk
memperoleh kesamaan hak dan kesetaraan gender. Hal ini ditunjukkan dengan
semakin besarnya upaya untuk mencari informasi yang penting agar mereka
dapat diterima sebagai bagian dari masyarakat.
- Setiap
gay memiliki pemahaman yang berbeda akan informasi, tergantung bagaimana
mereka menginterpretasikannya sesuai dengan pengalaman hidup
kesehariannya.
- Terdapat
empat gambaran umum informasi yang dipahami oleh homoseksual – gay yaitu
informasi yang terkait dengan kesehatan, pertemanan, pekerjaan dan juga
personal mereka.
- Simbol-simbol
khusus yang digunakan dalam proses komunikasi homoseksual – gay juga
merupakan informasi penting yang intangible
dan terkadang hanya dapat dipahami oleh kelompok itu sendiri. Namun
melalui pengalaman maka simbol-simbol itu akan mudah diterjemahkan
sehingga dapat dimengerti.
- Information
for all. Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi. Tidak terkecuali
bagi siapapun dan juga orientasi seksual apapun.
Daftar Pustaka
Adi, Riyanto. 2004. Metodologi
Penelitian Sosial dan Hukum. Jakarta: Granit.
Alfani, Rifnal.
2007. Perilaku Pencarian Informasi Kesehatan: Studi Deskriptif tentang
Perilaku Pencarian Informasi Kesehatan di Kota Surabaya.
Ary. 1987. Gay.
Gramedia, Jakarta.
Bagong Suyanto dan Sutinah. 2007. Metode Penelitian Sosial.
Berger dalam Littlejohn, 1999. Theories of Human Communication. Wadsworth Publishing Company,
California.
Buletin GAYa Nusantara, Rubrik: Pengalaman Sejati, Februari 2003.
Burhan Bungin, 2007.Penelitian
Kualitatif. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Chatman, Elfreda. 1992. The
Information World of Retired Women, diambil dari http://ils.unc.edu/~arnsj/chatman1.htm, diakses pada tanggal 3 Mei
2012.
Chumairoh, Fitroh. 2008. Perkawinan
Simbolik: Studi Kualitatif tentang Seorang Gay yang Melakukan Perkawinan dengan
Lawan Jenis.
Darsono.2004. Kebutuhan
Informasi dan Pola Penggunaan. Diakses dari http://www.webpages.uidaho.edu/~mbolin/seth.pdf,
pada tanggal 29 April 2012.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1998. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
Jiwa Di Indonesia, Edisi ke III. Direktorat Kesehatan Jiwa, dan Dirjen
Pelayanan Kesehatan.
Dervin. 1992. Beyond Information Seeking: Towards A
General Model of Information Behaviour. Information Research 11 (4), http://InformationR.net/ir/11-4/paper269.html.,
diakses pada 12 Januari 2012.
Douglas (1994) dalam Littlejohn, 1999. Theories of Human Communication. California: Wadsworth Publishing
Company.
Ellis, D. 1993. Modelling The Information-Seeking Patterns
of Academic Researcher: A Grounded Theory Approach. Library Quarterly.
Hariningrum, Marryane Dwi. 2010. Kebutuhan Informasi
Mahasiswa Pada Jurnal Ilmiah
Di Perpustakaan Universitas Kristen Petra.
Hayter, Susan. 2006. Exploring
Information Worlds in a Disadvantaged Community: A UK Perspective. Diakses
dari http://nrl.northumbria.ac.uk/3416/1/hayter.susan_phd.pdf, pada tanggal 16 Januari 2012.
Henefer, Jean. 2005. Krikelas's
Model of Information Seeking. Ireland: University of Dublin.
Julia T. Wood. 2005, Gendered Lives: Communication, Gender & Culture. America:
Wadsworth Engage Learning.
Krikelas, 1983 dalam Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan
Informasi, Vol. 2, No. 2, Desember 2006.
________. 1983. Information
Seeking Behaviour : Pattern and Concepts. Drexel Library Quertely.
Kuhlthau, C.C. 1993. Seeking Meaning : A Process Aproach
to Library and Information Services. Norwood, N.J: Ablex
Littlejohn, Stephen W. 1996. Theories of Human
Communication. Belmont California: Wadsworth Publishing Company, Fifth
Edition,
Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Mulyana, Dedi. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif,
Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja
Rosdakarya
Nicholas, D. 2000. Assessing Information Needs : Tool,
Thecnique and Concepts for Internet Age. Second Edition.London :Aslib (the
Association for Information Management and Information Management
Internasional)
Oetomo, Dede. 2001. Memberi
Suara pada yang Bisu. Yogyakarta: Galang Press.
Pannen, P. 1996. Sense
Making sebagai Pendekatan Kognitif dalam Perancangandan Pemanfaatan Jasa
Pudokinfo. Di dalam Prosiding Seminar Sehari Layanan Pusdokinfo
Berorientasi Pemakai di Era Informasi :Pandangan Akademisi dan Praktisi.
Jakarta : Program Studi Ilmu Perpustakaan Program Pascasarjana Universitas
Indonesia.
Pendit, P. L. 2000. Sejarah Ringkas Penelitian Perilaku
Informasi. Diakses dari http://blog.360.yahoo.com/blog5O_KTCghbrjaNniLLYh4tb2K5w?cq=1&tag=perilaku-informasi,
pada tanggal 15 Maret 2012.
Prahatmaja, Nurmaya. 2006. Studi Tentang Karakteristik Individu
Dan Karakteristik Sosial
Masyarakat Kampung Naga Dan Kaitannya Dengan Pola Pertukaran Informasi.
Reitz, J.M. 2004.Dictionary
for Library and Information Science.London : Libraries Unlimited Westport
Connecticus.
Robert C. Solomon dalam skripsi Darmawanto. 2002. Kaum Gay: Fenomena dan Penilaian Moral.
Siahaan, Jokie M.S. 2009. Perilaku
Menyimpang: Pendekatan Sosiologis. Jakarta: PT. Indeks.
Soekanto, Soerjono. 2004. Sosiologi
:Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Tampubolon, Sonya. 2010. Melatih Kemandirian. Diakses dari www.jendelaanakku.net, pada tanggal 26 Juli 2012.
Tatchell, P. 2003. Beyond
Gay Identity, diakses dari http: //www.petertatchell.net/queer%20theory/beyond, pada tanggal 2 Februari 2012.
Turner, Christopher. 1987. Organizing Information: Principles and
Practice. London: Clive Bingley.
Wilson, 2000. Human Information Behaviour, volume 2 no. 2, 2000.
______.2000. Human Information Behaviour. Information
Science 3 (20), diakses dari http://inform.nu/articles/vol3/v3n2p49-56.pdf,
pada tanggal 12 Januari 2012.
“44% Gay &
Biseksual Tak Tahu Tertular HIV”, http://www.inilah.com/read/detail/848431/44-gay-dan-biseksual-tak-tahu-tertular-hiv/,diakses
29 Maret 2012.
Bahasa Binan, www.gayanusantara.org.id, diakses 29 Agustus 2009.
[1] Shinstya Kristina, Mahasiswa Ilmu Informasi dan
Perpustakaan FISIP Universitas Airlangga, email: shinstya@gmail.com
[2] Homophobia adalah
ketakutan berada dekat, berinteraksi dan berhubungan dengan homoseksual karena
dianggap dapat memberikan pengaruh yang buruk karena homoseksual adalah sesuatu
yang sangat negatif sifatnya. Dapat juga didefinisikan sebagai tekanan dari
supremasi kaum heteroseks secara terus menerus berdasarkan atas adanya
perbedaan orientasi seksual (Tatchell, 2003).
1 Komentar untuk "INFORMASI DAN HOMOSEKSUAL – GAY; Studi Etnometodologi Mengenai Informasi dan Gay Pada Komunitas GAYa Nusantara Surabaya"
Maaf, mau tanya. Apakah hasil penelitian di atas sudah dipublikasikan melalui jurnal? Jika pernah, mohon info nama jurnal, volumenya, dan tahunnya.Saya butuh untuk bahan referensi tulisan saya. Terimakasih