Desa
telah lama menjadi “obyek” pembangunan yang dilancarkan secara sentralistik
oleh pemerintah pusat. Pada dekade 1970-an pemerintah, yang memperoleh dukungan
lembaga-lembaga internasional seperti World Bank dan Bank Pembangunan Asia
maupun para ilmuwan sosial terutama yang berhaluan modernis-kapitalis (developmentalis),
melancarkan sebuah konsep yang sangat terkenal, yakni pembangunan desa terpadu (integrated rural development). Orientasi dasar paradigma ini adalah memacu
pertumbuhan ekonomi pedesaan yang dicapai dengan perbaikan produktivitas
pertanian. Dalam usaha memecahkan kemiskinan desa secara holistik dan
mempergunakan sinergi yang potensial antara pelayanan sosial dan petumbuhan
ekonomi, konsep pembangunan desa terpadu berupaya menyediakan paket lintas
sektoral sistem pertanian terpadu dan diversifikasi tanaman yang berkaitan
dengan pelatihan, pelayanan sosial, dan proyek-proyek infrastruktur desa (Van
Zyl et al, 1995). Dari sisi politik,
pembangunan desa terpadu ditopang dengan peran negara yang besar, dengan cara
mendistribusikan layanan sosial kepada masyarakat. Bahkan otoritarianisme
ditolerir sebagai harga yang harus dibayar karena pertumbuhan. Perpaduan aspek
ekonomi, sosial dan politik dalam pembangunan desa itu bisa kita saksikan dalam
rumusan Trilogi Pembangunan: stabilitas (politik) pertumbuhan (ekonomi), dan
layanan sosial (pemerataan). Tentu
program pembangunan desa terpadu itu mempunyai sejumlah tujuan mulia: memerangi
kemiskinan dan keterbelakangan desa, membuat desa menjadi modern, meningkatkan
pendapatan masyarakat desa, memperlancar arus transportasi dan transaksi
ekonomi, yang kesemuanya bertujuan untuk meningkatkan human well being masyarakat desa.
Program pembangunan yang membanjir ke
desa selama Orde Baru memang menampilkan sederet “cerita sukses” yang luar
bisa. Setelah berjalan selama tiga dekade, sebagian besar desa-desa di
Indonesia telah berubah wajahnya. Desa jauh lebih terbuka, dengan jalan-jalan
yang mulus, irigasi yang lancar, penerangan lingkungan yang memadai,
tersedianya sarana transportasi yang semakin baik, jalur transaksi ekonomi yang
kian terbuka, tersedianya sarana pendidikan dan kesehatan, dan seterusnya. Pada level mikro, pembangunan (modernisasi)
telah mendorong mobilisasi sosial (bukan transformasi sosial) penduduk desa.
Banyak tempat tinggal penduduk desa yang berubah menjadi lebih baik, semakin
banyak orang desa yang berhasil meraih gelar sarjana dari perguruan tinggi,
semakin banyak penduduk desa yang hidupnya bertambah makmur, semakin banyak
keluarga sudra (petani, nelayan,
buruh) di desa yang berhasil menjadi priyayi
(PNS, pejabat, guru, dosen, dokter, dan lain-lain) di kota, semakin banyak
penduduk desa yang memiliki perlengkapan modern (motor, mobil, televisi,
telepon selular, dan lain-lain). Kita juga sering menyaksikan data statistik
resmi bahwa angka kemiskinan orang desa semakin berkurang, tingkat melek huruf
kian meningkat, kondisi kesehatan makin membaik, usia harapan hidup semakin
meningkat, dan seterusnya. Berdasarkan oral
history dari para orang tua yang telah melewati 2-3 zaman, kondisi
sosial-ekonomi desa yang lebih baik itu belum dirasakan sampai dekade 1970-an.
Dekade 1970-an baru dimulai modernisasi desa, yang hasilnya baru dirasakan
mulai dekade 1980-an.
Namun sejumlah kamajuan dalam
mobilisasi sosial itu tidak terjadis secara merata, dan secara umum kebijakan
pembangunan desa juga mendatangkan banyak kerugian besar. Derajat hidup orang
desa tidak bisa diangkat secara memadai, kemiskinan selalu menjadi penyakit
yang setiap tahun dijadikan sebagai komoditas proyek. Masuknya para pemilik
modal maupun tengkulak melalui kebijakan resmi maupun melalui patronase semakin
memperkaya para elite desa maupun para tengkulak, sementara para tunawisma
maupun tunakisma semakin banyak. Petani selalu menjerit karena harga produk
pertanian selalu rendah, sementara harga pupuk selalu membumbung tinggi.
Pengangguran merajalela. Kaum perempuan mengalami marginalisasi, yang kemudian
memaksa sebagian dari mereka menjadi buruh murah di sektor manufaktur maupun
menjadi pamasok TKW (yang sebagian bernasib buruk) di negeri asing. Urbanisasi
terus meningkat ikut memberikan kontribusi terhadap meluasnya kaum miskin kota
yang rentan dengan penggusuran dan bermusuhan dengan aparat ketertiban. Proyek
swasembada beras juga gagal. Sungguh ironis, Indonesia sebagai negeri agragis
tetapi harus melakukan impor beras dari negeri tetangga. Berbagai program
bantuan pemerintah yang mengalir ke desa tidak secara signifikan mampu
mengangkat harkat hidup orang desa, memerangi kemiskinan desa, mencegah
urbanisasi, menyediakan lapangan pekerjaan dan lain-lain. Yang terjadi adalah
ketergantungan, konservatisme dan pragmatisme orang desa terhadap bantuan
pemerintah. Dengan demikian pembangunan desa yang dilancarkan bertahun-tahun
sebenarnya mendatangkan kegagalan. World Bank sendiri juga menyadari kegagalan
model pembangunan desa terpadu yang diterapkan di banyak negara.
Mengapa pembangunan desa mengalami
kegagalan, tidak mampu mengangkat human
well being masyarakat desa? Sebenarnya sudah banyak argumen, evaluasi
maupun riset yang mengemuka untuk menjelaskan kegagalan pembangunan desa.
Penjelasan terbentang dari kacamata empirik, disain pembangunan maupun
paradigma pembangunan. Ada penjelasan empirik yang bersifat klasik menegaskan
bahwa pembangunan desa gagal karena miskinnya komitmen pemerintah, konsep hanya
berada di atas kertas, rendahnya responsivitas kebijakan dan keuangan
pemerintah daerah, birokrasi yang bermasalah, seringnya terjadi kebocoran,
implementasi yang amburadul, dan sebagainya. Penjelasan kedua membidik dari
sisi paradigma dan disain pembangunan. Kami mengambil posisi yang kedua ini. Pertama, pembangunan desa yang
berorientasi pada pertumbuhan dan layanan sosial, dengan disain yang sangat
teknokratis dan sentralistik, sebegitu jauh mengabaikan aspek keberlanjutan,
konteks dan kebutuhan lokal, partisipasi, penguatan kapasitas lokal, dan governance reform. Kedua,
seperti terlihat dalam bagan 1, aktor utama dalam pembangunan desa hanyalah
negara dan pasar. Skema ini mengabaikan aktor masyarakat, sebab masyarakat
hanya ditempatkan sebagai target penerima manfaat (beneficiaries), bukan subyek yang harus dihormati dan memegang
posisi kunci pembangunan secara partisipatif. Ketiga, pembangunan desa terpadu hanya memadukan aspek-aspek
sektoral, tetapi tidak memadukan agenda pembangunan dengan desentralisasi dan
demokratisasi.
Berangkat dari argumen itu, bab ini hendak
melakukan review terhadap kekeliruan
(sesat pikir) paradigma, orientasi dan disain pembangunan desa maupun distorsi
empirik dalam pelaksanaan pembangunan desa. Review akan kami lanjutkan dengan
menawarkan gagasan pembangunan desa yang berkelanjutan, yang berbasis
masyarakat, dan dipadukan dengan agenda desentralisasi dan demokratisasi.
Sentralisme
Pembangunan Desa
Perencanaan dan pendanaan pembangunan desa selama
ini dikelola secara sentralistik dari Jakarta. Bank Dunia banyak
berperan besar dalam merumuskan blue
print dan mendukung pendanaan melalui mekanisme hutang. Pada masa Orde
Baru, pemerintah mengalokasikan dana block
grant yang sangat terkenal dengan
sebutan Inpres Bandes secara merata ke seluruh desa. Pada tahun 1969, bantuan
desa senilai 100 ribu rupiah dan meningkat terus sampai dengan 10 juta rupiah
pada akhir-akhir hayat Orde Baru (1999), menyusul lahirnya desentralisasi
melalui UU No. 22/1999. Karena
pemerintah memutus bantuan ini, sejak 1999 pada umumnya pemerintah daerah
meneruskan bantuan ke desa dengan sebutan dana pembangunan desa atau dana
bantuan pembangunan desa. Semangat dan tujuan awal bantuan desa dimaksudkan
untuk memberikan insentif pada perangkat desa dan sebagai stimulan terhadap
swadaya masyarakat untuk melancarkan pembangunan desa. Di Jawa, skema ini
relatif berhasil. Pemerintah desa bisa memanfaatkan bantuan desa (yang
dipadukan dengan tanah kas desa) untuk membangun kantor desa dan memobilisasi
(jika bukan eksploitasi) swadaya masyarakat untuk membangun prasarana fisik kampung.
Tetapi skema itu umumnya gagal di Luar Jawa. Penyeragaman desa melalui UU No.
5/1979 membuat hancur self-governing
community dan mematikan swadaya masyarakat.
Dana bantuan desa umumnya habis digunakan untuk membiayai belanja rutin
pemerintah desa, terutama insentif perangkat desa, sehingga sebagian besar
desa-desa di Luar Jawa sampai sekarang
tidak memiliki kantor desa. Bantuan desa
tidak serta-merta mampu membangkitkan swadaya masyarakat, tetapi malah
mematikannya dan menciptakan kultur “meminta bantuan”. Di Sumatera Barat,
misalnya, nagari dipecah menjadi banyak desa dengan menggunakan satuan jorong pada awal 1980-an, dimaksudkan
untuk membikin siasat agar memperoleh banyak bantuan desa.
Cerita di
atas tentu menampilkan setidaknya dua pelajaran penting. Pertama, pola kebijakan yang sentralistik dan seragam ternyata
cenderung tidak sesuai dengan kebutuhan lokal dan mematikan konteks sosial yang
beragam. Karena itu, desentralisasi dilancarkan guna untuk merevitalisasi
berbagai kerusakan konteks lokal, sekaligus mendekatkan kebijakan dengan
kebutuhan masyarakat setempat. Kedua,
konsep “bantuan” ternyata tidak memberdayakan, dan sebaliknya malah menciptakan
kultur ketergantungan atau kultur meminta. Sampai sekarang kultur tepelihara.
Pejabat pemerintah supra desa sangat suka dilayani dan memberi bantuan,
sebaliknya desa suka melayani dan meminta bantuan. Karena itu, sekarang sudah
banyak muncul wacana dan gerakan untuk mengubah konsep bantuan menjadi alokasi,
sebab kalau bantuan identik dengan sedekah yang tergantung pada pemberi
bantuan, sedangkan alokasi menegaskan bahwa sebagian dana yang dikelola
pemerintah merupakah hak desa dan pemerintah wajib mengalokasikannya. Sekarang
banyak kepala desa, yang karena memperoleh kesempatan belajar dengan kalangan
NGO dan perguruan tinggi, mulai kritis terhadap konsep bantuan, dan mereka
menuntut alokasi dana yang sebenarnya menjadi hak desa. Kamardi, Ketua Asosiasi Kepala Desa,
Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, menegaskan:
“Desa tidak meminta-minta bantuan, insentif atau stimulus kepada
pemerintah kabupaten. Kami menuntut sesuatu yang menjadi hak-hak desa”.
Selain
program bantuan yang bersifat sentralistik dan mematikan di atas, pemerintah
juga melancarkan berbagai program pembangunan secara terpusat (top-down). Semua departemen, kecuali
departemen luar negeri, menggarap program-program sektoral pembangunan
desa. Berbagai program pembangunan desa,
mulai Inpres Desa Tertinggal (IDT), Program Pengembangan Kecamatan (PPK) sampai
P3DT, misalnya, sebegitu jauh dilancarkan secara terpusat serta melewati mata
rantai birokrasi (yang rawan kebocoran) untuk diserahkan langsung kepada
masyarakat. Mekanisme desentralisasi ditinggalkan dalam konteks ini, sehingga
daerah tidak mempunyai kesempatan belajar, tidak mempunyai sense of belonging, dan kurang bertanggungjawab atas pelaksanaan
program. Di satu sisi program tersebut bisa meminimalisir korupsi birokrasi di
daerah, tetapi di sisi lain memperlemah desentralisasi dan otonomi daerah.
Pendanaan pembangunan desa yang
mengalir dari Jakarta, terutama yang menggunakan skema utang luar negeri, tidak
dimasukkan ke dalam anggaran daerah, apalagi anggaran desa (APBDes), yang sudah
direncanakan sendiri di tingkat lokal. Dengan demikian, dana yang datang dari
pusat adalah dana proyek yang bersifat nonbudgeter,
sehingga dana itu di tingkat lokal berada di luar perencanaan dan pemerintah
lokal tidak perlu membuat akuntabilitas kepada publik. Karena program
pembangunan desa yang terpusat itu tidak diintegrasikan dalam skema
desentralisasi, maka yang terjadi adalah ketergantungan pemerintah lokal
(daerah dan desa) pada program bantuan dari pusat, serta melemahkan kemampuan
dan responsivitas lokal dalam melancarkan program-program pembangunan desa dalam kerangka desentralisasi secara
mandiri dan sesuai dengan preferensi lokal.
Dalam benak pikiran pejabat daerah, pembangunan desa adalah
“proyek-proyek” peningkatan prasarana fisik desa, kegiatan penyuluhan maupun
penyaluran bantuan-bantuan karitatif (sedekah) kepada rakyat desa. Dengan
alasan klasik, minimnya dana, pemda mengaku tidak mampu membuat kebijakan
pembangunan desa yang komprehensif. Tetapi kalau kita lihat struktur APBD di
banyak kabupaten/kota, anggaran pembangunan desa jauh lebih kecil dibanding
dengan program pengawasan dan pembinaan aparatur pemerintah, apalagi kalau dibandingkan dengan belanja pegawai.
Sementara, karena lemahnya agenda demokratisasi (akuntabilitas, transparansi
dan partisipasi) dalam pembangunan desa, telah membuat proyek-proyek
pembangunan itu digerogoti oleh praktik-prakti korupsi pejabat lokal (local capture), sering tidak tepat
sasaran pada rakyat desa yang miskin, melemahkan modal sosial masyarakat desa,
serta membuat erosi kepemilikan lokal terhadap hasil-hasil pembangunan sehingga
sisi keberlanjutan sangat lemah.
Karena
kurangnya proses belajar selama periode sentralisasi, pemerintah daerah di era
otonomi daerah tidak mempunyai kemampuan dan responsivitas yang memadai dalam
menyiapkan program-program pembangunan desa dalam kerangka desentralisasi dan
demokrasi lokal. Dalam benak pikiran
pejabat daerah, pembangunan desa adalah “proyek-proyek” peningkatan prasarana
fisik desa, kegiatan penyuluhan maupun penyaluran bantuan-bantuan karitatif
(sedekah) kepada rakyat desa. Dengan alasan klasik, minimnya dana, pemda
mengaku tidak mampu membuat kebijakan pembangunan desa yang komprehensif.
Tetapi kalau kita lihat struktur APBD di banyak kabupaten/kota, anggaran
pembangunan desa jauh lebih kecil dibanding dengan program pengawasan dan
pembinaan aparatur pemerintah, apalagi kalau
dibandingkan dengan belanja pegawai.
Distorsi Bottom-up
Planning
Pemerintah tampaknya
menempuh strategi ganda dalam perencanaan pembangunan desa. Di satu sisi
pemerintah melancarkan program pembangunan secara terpusat melaui skema dekonsentrasi,
dan di sisi lain sejak 1982 sebenarnya
dikenal perencanaan pembangunan dari bawah (bottom-up planning), yang dimulai dari
Musbangdes di desa sampai Rakorbang di kabupaten/kota dan berakhir di Jakarta.
Di atas kertas, konsep itu mengandung prinsip desentralisasi dan demokrasi
lokal. Prinsip desentralisasi terkait dengan penempatan kabupaten/kota sebagai
wilayah pembangunan otonom, yang mempunyai kewenangan untuk mengelola
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di wilayah yurisdiksinya. Sedangkan prinsip
demokrasi, meski tidak diucapkan, dijabarkan dalam bentuk partisipasi
masyarakat dalam setiap tahapan perencanaan.
Tetapi
dalam praktiknya, prinsip desentralisasi dan demokrasi lokal itu betul-betul
tidak bermakna dan terjadi banyak distorsi. Pertama,
perencanaan bersifat elitis dan partisipasi sangat terbatas. Dari tingkat bawah, proses dan isi perencanaan
pembangunan masih bersifat elitis, didominasi oleh aktor-aktor formal. Kepala
desa sangat mendominasi proses perencanaan di tingkat desa, dia lebih
menentukan apa saja yang bakal tertuang dalam naskah perencanaan pembangunan
desa sebelum dibawa naik ke level kecamatan. Partisipasi masyarakat sangat
terbatas. Substansinya cenderung sebagai bentuk preferensi kepala desa beserta
elite desa, ketimbang sebagai kebutuhan riil masyarakat. Biasanya preferensi
kades cenderung bias (bukan prioritas) pada pembangunan prasarana fisik, sebab
bidang ini mengandung “proyek”,
sekaligus merupakan kesempatan baik untuk memobilisasi swadaya
masyarakat serta menjadi indikator artifisial kepemimpinan kepala desa.
Kedua, mekanisme perencanaan dari bawah
tidak lebih sebagai mata rantai birokrasi yang membuat desa tergantung pada
kabupaten. Secara empirik maupun formal desa bukanlah wilayah pembangunan
otonom, yang menerima desentralisasi politik, pembangunan dan keuangan. Dalam
praktiknya, proses perencanaan pembangunan di tingkat kabupaten/kota berjalan
secara mekanis yang tidak berbasis pada partisipasi dari desa. Blue print perencanaan pembangunan
tahunan maupun lima tahunan sebenarnya sudah dirumuskan lebih dulu oleh
Bappeda, termasuk perencanaan sektoral dari dinas-dinas teknis, yang kemudian
disosialisasikan kepada pendatang dari desa. Apa yang diusun dari desa dalam
Rakorbang hanya formalitas, sehingga dalam konteks ini terjadi reduksi dan
manipulasi.
Peta Problem
Problem Partisipasi
Meskipun dalam Permendagri No. 9
Tahun 1982 dinyatakan bahwa proses perencanaan pembangunan daerah melibatkan
semua stakeholders yang ada di masyarakat namun dalam kenyataannya peran
masyarakat selalu terpinggirkan. Di tingkat desa misalnya, stakeholders yang
terlibat dalam perencanaan pembangunan masih berkutat pada aktor pemerintahan
desa dan lembaga-lembaga formal di tingkat desa (lurah, BPD, PKK, LPMD, RT, dan
RW). Keterlibatan organisasi-organisasi sektoral, organisasi kemasyarakatan
yang lain, dan kelompok perempuan masih sangat minimalis.
Dalam perencanaan
pembangunan di tingkat desa biasanya melibatkan tokoh masyarakat, LPMD, BPD,
dan juga PKK. Desa sudah melaksanakan itu, namun untuk keterlibatan perempuan
memang belum maksimal.
Untuk tingkat kecamatan yang dilibatkan biasanya adalah Camat, dinas-dinas
kabupaten biasanya bappeda dan dinas yang mempunyai program ke desa, instansi
yang ada di kecamatan (KUA, Puskesmas, dan sebagainya). Dari desa kita juga
selalu melibatkan tokoh masyarakat, BPD, LPMD, PKK, lurah, dan Ekobang ; (Peserta FGD di Kecamatan Wonosari).
Dari
paparan salah satu peserta Focus Group Discussion (FGD) tersebut nampak
bahwa perencanaan pembangunan yang berlangsung selama ini masih memusat kepada
aktor-aktor negara. Peran dan partisipasi masyarakat, terutama masyarakat
miskin dapat dikatakan tidak ada. Padahal merekalah yang seharusnya menjadi
prioritas utama program pembangunan.
Ketika Bappeda Kabupaten Gunungkidul
bekerja sama dengan Jurusan Administrasi Negara Fakultas Sosial dan Politik UGM
melakukan kajian sistem perencanaan pembangunan di Kabupaten Gunungkidul,
ternyata juga menemunkan hal yang sama. Dalam hal partisipasi, hasil penelitian tersebut menyebutkan adanya
kecenderungan bahwa semakin tinggi kedudukan seseorang semakin besar pula
perannya dalam proses perencanaan pembangunan daerah. Dan sebaliknya, semakin
rendah kedudukan seseorang dan semakin kecil kewenangan yang dimilikinya, maka
akan semakin kecil pula perannya dalam proses perencanaan pembangunan daerah.
Hal itu terjadi secara organisasional maupun individual.
Dalam perspektif organisasional,
semakin tinggi level sebuah organisasi, maka akan semakin tinggi pula perannya
dalam menentukan perencanaan pembangunan di daerah. Dengan demikian, desa
sebagai unit pemerintahan paling rendah perannya lebih kecil dibandingkan
kecamatan. Kecamatan perannya lebih kecil dibandingkan dengan kabupaten, begitu
seterusnya. Dalam perspektif individual, seorang lurah akan lebih didengar
usulnya dibandingkan dengan masyarakat biasa, lebih-lebih masyarakat yang
status sosialnya rendah.
Dari Focus Group Discussion (FGD)
dan indepth interview yang sudah dilakukan, persoalan penentuan skala
prioritas hampir selalu menjadi tema menarik perbincangan peserta. Banyak kisah
yang dituturkan oleh masyarakat tentang ketidaktahuan mereka kenapa program
pembangunan yang mereka usulkan tidak ditindaklanjuti oleh kabupaten.
Sementara, desa lain yang mengusulkan program pembangunan yang sama direspons
positif oleh kabupaten. Bagi masyarakat desa penentuan skala prioritas ini
ibarat sebuah misteri yang sampai sekarang belum terpecahkan.
Kenapa hal tersebut bisa terjadi?
Jika dilacak lebih jauh lagi, ada beberapa catatan penting yang mengakibatkan
hal tersebut.
1. Pemerintah
Kabupaten belum optimal dalam melakukan sosialisasi RENSTRA-nya. Hal itu
berakibat tidak sinkronnya usulan pembangunan yang dibuat masyarakat melalui
forum musbangdes dengan RENSTRA kabupaten.
2. Dinas-dinas di
kabupatan sering kali mengadakan penjaringan aspirasi sendiri. Hal itu
dilakukan karena beberapa dinas yang bersentuhan langsung dengan desa menilai
hasil musbangdes dan UDKP belum mengulas secara tajam program-program
pembangunan yang terkait dengan sektor yang menjadi tanggung jawab mereka. Seperti terungkap dalam indepth interview berikut
:
Kalau dalam diskusi UDKP
perencanaannya tidak menjangkau seluruh kepentingan kelompok tani. Maka kami
dari dinas pertanian membuat rencana pembangunan partisipatif sendiri yang
mengacu pada kepentingan kelompok tani, dimana peserta yang mengikuti diskusi
perumusan adalah perwakilan dari kelompok tani seluruh kecamatan. Kalau
perumusan perencanaan pembangunan partisipatif dalam bidang pertanian mengikuti
proses UDKP saja, maka hasilnya tidak akan maksimal. Soalnya di dalam pertemuan
tersebut banyak kelompok di luar petani, seperti PKK. Menurut kami itu tidak
akan fokus; (Pejabat di Dinas
Pertanian Kabupaten Gunungkidul).
Tetapi, secara normatif sebenarnya
masyarakat desa sudah memahami bagaimana skala prioritas harus dilakukan. Bagi
masyarakat desa program pembangunan harus memberikan nilai manfaat bagi
kehidupan masyarakat banyak. Karenanya penentuan prioritas pembangunan
diharapkan dapat menjawab kebutuhan masyarakat.
Yang dapat digunakan sebagai patokan
penentuan prioritas adalah daya guna, kebutuhan masyarakat, dan kuantitas yang
menggunakan. Jadi intinya, dalam menentukan patokan prioritas adalah kebutuhan
masyarakat, bukan keinginan; (Peserta FGD di Kecamatan Wonosari).
Indikator
yang menjadi pengukur skala prioritas pun dalam pemakaiannya disepakati melalui
musyawarah dan disesuaikan dengan situasi maupun kondisi daerah.
Penentuan skala prioritas biasanya
kita sesuaikan dengan situasi dan kondisinya. Contoh, di tempat kami bisa
memperoleh air dari sumur, kalau mau menggalinya. Cuma persoalannya, di desa
ini ada sumber air yang bisa disalurkan ke semua warga, ya mending kita
usahakan penyalurannya dari pada tiap orang menggali sumur. Contoh lagi di desa
lain, karena di situ jauh dari sumber mata air, maka yang diprioritaskan
pembangunan sumber air yang di situ
dulu. Kalau yang lain masih bisa, ibaratnya memikul dengan jarak 100 meter
masih ada sumber air; (Tokoh Perempuan desa yang menjadi informan Indepth interview).
Program pembangunan dapat dikatakan
baik jika memenuhi unsur akuntabilitas atau dapat dipertanggungjawabkan kepada
publik. Dengan demikian sebuah program
pembangunan dapat dikatakan memenuhi unsur akuntabilitas jika program tersebut
sesuai dengan aspirasi masyarakat, ada penanggung jawab yang jelas, dan ada
proses pelaporan kepada publik.
Berkaitan dengan proses perencanaan
pembangunan di Kabupaten Gunungkidul, FGD dan indepth interview
menemukan dua persoalan penting.
1.
Hasil proses perencanaan melalui musbangdes dan UDKP
sering kali diabaikan karena pendekatan lobby atau personal biasanya lebih
efektif.
2.
Adanya politisasi terhadap program pembangunan yang
dilaksanakan.
Sedangkan dari sisi penanggung jawab
pelaksanaan terkadang muncul ketidakjelasan. Karena pada kenyataannya banyak
program pembangunan yang diinisiasi oleh dinas kabupaten hanya bersifat
stimulan. Hal ini biasanya terjadi pada pembangunan yang bersifat fisik.
Setelah kabupaten memberikan stimulan, selanjutnya penyelesaian atas
pembangunan tersebut dilanjutkan dengan swadaya masyarakat.
Menurut kabupaten, dana stimulan
untuk desa untuk mendorong partisipasi. Kalau sudah ada swadaya itu artinya ada
partisipasi. Yang diharapkan masyarakat sebenarnya adalah kalau bisa tidak cuma
bersifat stimulan, tapi bantuan yang sifatnya khusus. Memang ada baiknya untuk
merangsang partisipasi masyarakat, tapi sebenarnya itu belum seimbang dengan
yang dikeluarkan masyarakat bawah; (Pamong Desa yang menjadi informan Indepth interview).
Pembangunan
desa itu seyogyanya disinergikan dengan asa-asas desentralisasi, yaitu otonom
dan medebewind. Yang otonom itu artinya duit diserahkan saja kepada desa,
dikelola BPD, LPMD dan Lurah. Dikerjakan oleh desa. Sehingga security keuangan
dan akuntabilitasnya bisa dijaga. Sedangkan yang medebewind, desa bersama BPD
dan LPMD membantu proyek-proyek yang kewenangan pimpronya di kabupaten. Itu
seyogyanya. Dan untuk itu mestinya tidak perlu ada partisipasi. Tidak perlu ada
swadaya masyarakat. Artinya block grand saja; (Mantan Pejabat Kabupaten Gunungkidul dalam FGD di Kecamatan Wonosari).
Dari uraian di atas, dapat dilihat
bahwa program-program pembangunan yang dilakukan oleh dinas dalam bentuk
stimulan terkadang justru menjadi beban bagi masyarakat. Dalam logika ini
memang masyarakat jadi terbebani oleh dua macam pungutan. Pertama pajak
yang sudah mereka bayarkan dan kedua dana pembangunan dalam bentuk
swadaya masyarakat. Karena itulah banyak akademisi yang menyebut Indonesia
sebagai welfare society. Bukan negara yang memberikan subsidi kepada
masyarakat untuk pembangunan dan pelayanan publik, tetapi justru masyarakat
yang memberikan subsidi pembangunan kepada negara.
Beratnya
beban yang dipikul oleh masyarakat serta
rendahnya akuntabilitas perencanaan dan pelaksanaan pembangunan jika
berlangsung secara terus menerus sangat bisa jadi akan mengakibatkan munculnya
ketidakpercayaan (distrust) kepada aparat pemerintah pada khususnya dan
pejabat publik pada umunya. Untuk itu, sebuah desai baru yang bisa mnejawab
aspirasi masyarakat adalah sebuah kebutuhan mendesak yang harus segera
diwujudkan.
Reorientasi Pembangunan
Desa
Sasaran pembangunan desa umumnya masih
terfokus pada penanggulangan kemiskinan melalui investasi infrastruktur dan
pemberian layanan sosial. Lebih parah lagi, di tingkat lokal di Indonesia,
pembangunan desa dipahami dan dipraktikkan sebagai pembangunan fisik semata.
Selama ini tidak ada analisis komprehensif yang dilakukan terhadap dampak
intervensi pemerintah, sebab yang lebih banyak dilakukan adalah menghitung
anggaran yang telah dikeluarkan pemerintah beserta lembaga donor untuk
membiayai pembangunan desa, bukan pada efisiensi, efektivitas dan keberlanjutan
hasil-hasil pembangunan desa. Program-program pembangunan desa lebih
memperhatikan kuantitas jumlah “yang dapat diberikan” (deliverable) pemerintah, ketimbang memperhatikan pencapaian dampak
kualitatif yang penting terhadap rakyat desa, misalnya program-program yang
memperbaiki kualitas hidup rakyat desa secara berkelanjutan melalui
pemerintahan lokal yang otonom dan demokratis (The Government of South Africa, The Integrated Sustainable Rural Development
Strategy, 2000).
Pembangunan desa lebih dari sekadar penanggulangan
kemiskinan, bukan pula memberikan layanan sosial (pendidikan dan kesehatan) dan
merubah wajah fisik desa. Menurut Andrew Shepher (1998), misalnya, menegaskan
bahwa pembangunan desa merupakan upaya memperbaiki kesempatan hidup serta well-being individu maupun rumah tangga,
khususnya kaum miskin pedesaan yang selama ini tertinggal di belakang proses
pertumbuhan ekonomi. Karena itu pembangunan desa bersifat multidimensional:
mengarah pada perbaikan layanan sosial, membuka kesempatan bagi rakyat desa
menggali pendapatan dan pembangunan ekonomi desa, perbaikan infrastruktur
fisik, memperkuat kohesi sosial dan keamanan fisik komunitas warga desa,
memperkuat kapasitas desa mengelola pemerintahan dan pembangunan, membuat
demokrasi dalam proses politik di desa, serta mengatasi kerentanan (sosial,
ekonomi dan politik) masyarakat desa. Konsep ini menaruh perhatian pada proses
memfasilitasi perubahan di komunitas desa yang memungkinkan rakyat miskin di
desa memperoleh lebih, meningkatkan investasi bagi dirinya sendiri dan
komunitasnya, meningkatkan kepemilikan rakyat desa merawat infrastruktur dan
lain-lain. Mengikuti paradigma sustainable
livelihood, pembangunan desa sebenarnya merupakan proses mengubah
penghidupan masyarakat pedesaan dari kondisi yang rentan (vulnerable) menjadi berkelanjutan (sustainable) dengan mengembangkan aset yang ia miliki dan dinamika
yang ada menjadi mampu ditransformasikan.
Memasuki akhir dekade 1980-an, konsep berkelanjutan
sangat ditonjolkan dalam pembangunan desa, sebagai alternatif atas kegagalan pembangunan
yang terfokus pada pertumbuhan ekonomi (lihat tabel …).
Tabel (…)
Pergeseran paradigma dalam
pembangunan desa
Paradigma
Lama
|
Paradigma
Baru
|
Fokus pada
pertumbuhan ekonomi
|
Pertumbuhan
yang berkualitas dan berkelanjutan
|
Redistribusi
oleh negara
|
Proses
keterlibatan warga yang marginal dalam pengambilan keputusan
|
Otoritarianisme
ditolerir sebagai harga yang harus dibayar karena pertumbuhan
|
Menonjolkan
nilai-nilai kebebasan, otonomi, harga diri, dll.
|
Negara
memberi subsidi pada pengusaha kecil
|
Negara
membuat lingkungan yang memungkinkan
|
Negara
menyedian layanan ketahanan sosial
|
Pengembangan
institusi lokal untuk ketahanan sosial
|
Transfer
teknologi dari negara maju
|
Penghargaan
terhadap kearifan dan teknologi lokal; pengembangan teknologi secara
partisipatoris
|
Transfer
aset-aset berharga pada negara maju
|
Penguatan
institusi untuk melindungi aset komunitas miskin.
|
Pembangunan
nyata: diukur dari nilai ekonomis oleh pemerintah
|
Pembangunan
adalah proses multidimensi dan sering tidak nyata yang dirumuskan oleh
rakyat.
|
Sektoral
|
Menyeluruh
|
Organisasi
hirarkhis untuk melaksanakan proyek
|
Organisasi
belajar non-hirarkis
|
Peran
negara: produser, penyelenggara, pengatur dan konsumen terbesar
|
Peran
negara: menciptakan kerangka legal yang kondusif, membagi kekuasaan,
mendorong tumbuhnya institusi-institusi masyarakat.
|
Sumber:
diadaptasi dari A. Shepherd, Sustainable Rural Development (London:
Macmillan Press, 1998), hal. 17.
Afrika Selatan adalah sebuah negara
yang telah menerapkan paradigma baru pembangunan desa. Sejak pertengahan dekade
1990-an, pemerintah Afrika Selatan merumuskan orientasi dan visi baru
pembangunan desa, yakni pembangunan desa berkelanjutan yang terpadu, dengan
tujuan mencapai masyarakat desa yang stabil dan mempunyai kohesivitas sosial
dengan institusi lokal yang tersedia, keberlanjutan ekonomi dan akses publik
pada fasilitas sosial, mampu menunjukkan kemampuan dan keterampilan rakyat,
guna mendukung pertumbuhan dan pembangunan. Pembangunan desa berkelanjutan yang
terpadu ala Afrika Selatan tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi
maupun penanggulangan kemiskinan, melainkan menampilkan enam agenda utama: (1) membangun
infrastruktur desa; 2) Membangun demokrasi dan pembangunan lokal; 3) membangun
keberlanjutan sosial (social sustainability); 4) mengembangkan pembangunan
ekonomi lokal dan penghidupan masyarakat pedesaan; 5) memperkuat desentralisasi
dalam pengelolaan pembangunan desa; dan 6) memperkuat kapasitas lokal untuk
perencanaan dan implementasi pembangunan desa.
Pergeseran
Paradigma Perencanaan
Perencanaan bukanlah sebuah master plan yang dirumuskan secara
komprehensif dan sistematis oleh para ahli (insinyur, teknokrat, ekonom,
administrator, dan lain-lain). Perencanaan dalam konteks pembangunan adalah
sebuah pilihan dan keputusan politik yang mesti mempunyai risiko politik bagi
orang banyak (rakyat). Master plan
adalah penjabaran (meterialisasi) dari keputusan politik itu. Bahkan, sebagai
pilihan dan keputusan politik, perencanaan selalu menjadi medan tempur antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah maupun antara pemerintah dan rakyat. Di
Indonesia, kasus ketegangan antara pusat dan daerah atau kasus “pemberontakan”
daerah terus-menerus muncul karena pemerintah memaksakan master plan (yang dirumuskan secara sentralistik) kepada daerah,
atau hanya menempatkan daerah sebagai obyek perencanaan belaka. Di tempat lain,
sejarah juga mencatat bahwa begitu banyak proyek pembangunan (industri,
pertambangan, jalan, waduk, energi listrik, sampah, dan lain-lain) sering
bermasalah, menimbulkan ketegangan yang serius antara pemerintah dan rakyat,
antara lain karena perencanaan hanya dipahami sebagai master plan yang disusun tanpa mendengarkan aspirasi rakyat
banyak.
Tentu ada banyak solusi untuk
mengatasi ketegangan antara pusat dan daerah maupun antara pemerintah dan
rakyat dalam perencanaan. Desentralisasi
merupakan solusi untuk memotong mata rantai sentralisasi, mengurangi dominasi
pusat, sekaligus mengatasi ketegangan antara pusat dan daerah dalam perencanaan
pembangunan. Sedangkan demokrasi merupakan jawaban atas ketegangan antara
pemerintah dan rakyat. Demokrasi mengajarkan tentang perlunya perencanaan
partisipatif untuk membuat perencanaan betul-betul relevan dan legitimate di mata rakyat, serta mengurangi
risiko benturan antara pemerintah dan rakyat. Sekarang berkembang keyakinan
baru di banyak kalangan bahwa
perencanaan tidak perlu dijadikan medan tempur, melainkan harus diperlakukan
sebagai arena mempertemukan antara visi-misi besar pemerintah dengan aspirasi
dan prakarsa masyarakat. Perencanaan bukan lagi sebagai sebuah keputusan
politik dari pihak yang memerintah untuk diterapkan kepada yang diperintah,
melainkan sebagai arena bersama untuk membangun kemitraan antara pemerintah dan
masyarakat. Sejak 1980-an terus-menrus
terjadi revitalisasi pemikiran tentang perencanaan yang bergerak dari negara ke
masyarakat, dari sentralisasi ke desentralisasi, dari pusat ke lokal, dari
pembinaan ke pemberdayaan, dari obyek ke subyek, dari otokratis ke demokratis, dari oligarkhis
ke partisipatif, dan dari instruksi ke kemitraan.
Kotak
1: Pergeseran cara pandang perencanaan
|
Pergeseran yang memberi tempat
terhormat kepada rakyat itu bermula dari rekayasa intelektual dan advokasi
lapangan sejak 1980-an. Pemikiran
tentang pembangunan yang berpusat kepada rakyat merupakan perintis awal yang
membongkar habis developmentalisme dan sentralisme 1970-an, sekaligus
mempromosikan cara pandang baru yang berpihak kepada lokal dan rakyat (Robert
Chamber 1983; David Korten, 1987). Era
1990-an perdebatan studi pemerintahan dan pembangunan jauh lebih keras. Dalam
konteks pembangunan muncul wacana “pembangunan partisipatoris” yang mengusung
partisipasi maupun keterlibatan kaum marginal dan perempuan dalam perumusan
kebijakan. Di lini pemerintahan berkembang pula wacana kewargaan (citizenship) dan good governance yang kian memperkuat agenda desentralisasi dan
demokratisasi. Emma Jones dan John Gaventa (2002), misalnya, mencatat bahwa
pergeseran cara pandang itu lebih mengedepankan penguatan relasi baru antara
hak asasi dan pembangunan, yang melahirkan “pendekatan pembangunan yang
berbasis pada hak” (rights-based approach
to development). Pada saat yang sama pertautan antara partisipasi dan good governance melahirkan semangat baru
partisipasi warga (citizenship
participation). Dibentuk oleh gerakan paralel antara hak asasi dan
pemikiran pembangunan, partisipasi warga dikerangkai ulang dan bahkan diyakini
sebagai hak fundamental manusia dan warga, sekaligus sebagai prasyarat bagi
pembentukan hak-hak lainnya.
Desentralisasi
Pembangunan Desa
Desentralisasi
umummnya berbicara tentang pembagian kekuasaan, kewenangan, tanggungjawab dan
sumberdaya (fiskal) dari negara (pemerintah nasional) ke pemerintah lokal
(Philip Mawhood, 1983; Brian C. Smith,
1985); Paul S. Maro, 1990; Dennis Rondinelli, 1998; UNDP, 1998;
Jennie
Litvack and Jessica Seddon, 1999).
Pembagian itu diletakkan dalam konteks relasi antara pemerintah pusat, provinsi,
kabupate/kota dan desa. Pada umumnya
desentralisasi mengambil tiga bentuk utama. Pertama, desentralisasi politik,
terutama terfokus pada pembagian kewenangan kepada pemerintah lokal, termasuk
kepada desa. Kedua, desentralisasi pembangunan, yakni memberikan kewenangan
kepada pemerintah lokal untuk merencanakan sendiri agenda pembangunan lokal (local-self development planning) atau
sering disebut decentralized development
planning. Ketiga, desentralisasi
fiskal, yakni transfer keuangan dari pusat ke daerah, menciptakan perimbangan
keuangan pusat-daerah, serta memberikan kekuasaan daerah untuk menarik pajak (taxing power), sehingga dana yang
didaerahkan bisa untuk membiayai pengelolaan kewenangan dan pembangunan di
tingkat lokal.
Dengan skema desentralisasi seperti itu sebenarnya dimaksudkan untuk
mendekatkan perencanaan pembangunan dan pelayanan publik kepada masyarakat
lokal, membangkitkan potensi dan prakarsa lokal, meningkatkan akuntabilitas
publik pemerintah lokal, memperkuat partisipasi (voice, akses dan kontrol) masyarakat dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan daerah. Di sisi lain, desentralisasi juga
merupakan alternatif atas sentralisasi dan memangkas jalur-jalur birokrasi yang
hirarkhis dan inefisien.
Pemerintah
lokal umumnya tahu betul tentang kebutuhan dan pilihan lokal ketimbang
pemerintah pusat, yang punya kapasitas terbatas untuk mengumpulkan informasi.
Dalam desentralisasi, secara teoretis, monitoring dan kontrol pelaku lokal oleh
komunitas lokal adalah lebih mudah. Pemerintah lokal mungkin lebih akuntabel,
lebih responsif terhadap rakyat miskin dan lebih baik dalam memberikan ruang
partisipasi rakyat miskin dalam proses politik. Pembuatan keputusan pada
tingkat lokal memberikan tanggung jawab, kepemilikan, menjadi dorongan yang
lebih kuat kepada aktor-aktor lokal, dan
informasi lokal dapat sering mengidentifikasi cara-cara penyediaan layanan
publik yang lebih murah dan lebih tepat (Bardhan, 1997a).
Besley
(1997) membuat pendekatan penanggulangan
kemiskinan ke dalam dua alternatif: teknokratik atau institutional.
Yang pertama menekankan target dan menyelidiki bentuk program mobilisasi
sumberdaya yang terbatas kepada rakyat miskin. Pendekatan yang kedua mencatat,
bahwa rakyat miskin kekurangan kekuasaan politik, dan menegaskan bahwa
ketidakmampuan birokrasi dan korupsi mengganggu pelayanan publik. Karena itu
penanggulangan kemiskinan butuh pengembangan institusi, dan perubahan struktur
politik, perbaikan tata pemerintahan, dan perubahan sikap terhadap rakyat
miskin. Desentralisasi mempunyai implikasi untuk dua-duanya dari dua pendekatan
yang luas ini. Desentralisasi memfasilitasi bentuk program teknokratik yang
lebih efektif, seperti target daerah mungkin dipermudah, akuntabilitas
birokrasi mungkin diperkuat, dan pengelolaan program penanggulangan kemiskinan
mungkin ditingkatkan. Juga desentralisasi dapat menawarkan kerangka kerja legal
dan bertindak sebagai sebuah alat pendekatan institusi terhadap pengurangan
kemiskinan., seperti desentralisasi mungkin meningkatkan kekuasaan politik
rakyat miskin melalui partisipasi yang meningkat.
Mengambil
dua golongan pendekatan penanggulangan kemiskinan yang luas ini sebagai sebuah
dasar, kita bisa bergerak dari pendukung dan penolak desentralisasi ke arah
sebuah kerangka kerja konseptual. Kami secara esensial membedakan antara dua
rangkaian hubungan: hubungan pemberdayaan politik dan hubungan efisiensi. Pertama,
pada sebuah latar ekonomi politik, desentralisasi meningkatkan partisipasi
rakyat miskin, difasilitasi oleh kekuasaan pengawasan yang meningkat dan
peningkatan pilihan investasi pro-poor. Kedua, dari perspektif
manajemen ekonomi, desentralisasi membantu pemerintah lokal memperbaiki
efisiensi penyelenggaraan pelayanan publik kepada rakyat miskin dan efisiensi
penargetan program penyerah-terimaan. Sementara pertimbangan efisiensi dan
persamaan digambarkan dalam posisi independen. Dengan melibatkan rakyat miskin
dalam menjalankan, memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pelayanan publik
pada tingkat lokal, akuntabilitas pemerintah lokal meningkat mengarah pada
efisiensi penyediaan barang publik yang lebih banyak.
Desentralisasi
adalah sebuah cara untuk memungkinkan masyarakat sipil ikut serta dalam proses
kebijakan dan dengan demikian, untuk meningkatkan transparansi dan predictability
pembuatan keputusan. Pemerintah lokal umumnya lebih tahu tentang, dan lebih
tanggap terhadap, kebutuhan pilihan penduduk lokal daripada pemerintah pusat.
Adalah lebih mudah bagi mereka untuk mengidentifikasi dan menjangkau rakyat
miskin selama politik lokal memungkinkan ini. Desentralisasi juga mempunyai
keuntungan utama bahwa pejabat lokal dapat secara lebih mudah diawasi dan
dikendalikan oleh komunitas lokal daripada para pejabat di pemerintah pusat,
jika peraturan hukum ada di tingkat lokal.
Di Indonesia, tiga
bentuk desentralisasi itu sudah dilaksanakan berdasarkan UU No. 22/1999. Kabupaten/kota menjadi basis desentralisasi
(otonomi daerah), yang mempunyai kewenangan seluas-luasnya untuk mengelola
rumah tangga sendiri, melakukan perencanaan sendiri (self-planning), memperoleh dana perimbangan secara memadai dan
beerwenang secara otonom menggunakan anggaran sesuai dengan kewenangan dan
pembangunan yang dikelolanya. Dalam hal pembangunan misalnya, telah terjadi
pemotongan jalur perencanaan dari daerah ke pusat, sehingga daerah mempunyai
kewenangan penuh untuk merencanakan pembangunan. Alur perencanaan dari bawah (bottom-up
planning) tidak perlu lagi dibawa ke Jakarta, melainkan cukup dihentikan di
level kabupaten/kota. Karena itu, desentralisasi pembangunan tidak hanya
mewadahi proses perencanaan dari bawah (bottom
up planning), tetapi juga terjadi lompatan yang luar biasa menuju desentralized planning atau local-self planning. Dalam konteks
desentralised planning tersebut ada tiga skema pembagian peran antara
pemerintah pusat, daerah dan desa.
Kotak
4: Tiga skema desentralisasi desa
·
Politik: pembagian kewenangan dan tanggungjawab kepada
desa untuk mengelola pelayanan publik dasar.
·
Pembangunan: kewenangan desa untuk membuat perencanaan
sendiri (village-self planning).
·
Fiskal: alokasi dana perimbangan desa untuk membiayai urusan
pemerintahan dan pembangunan. Juga taxing power bagi desa.
|
Pertama, peran pemerintah pusat dan
propinsi. Pemerintah pusat tentu akan keliru besar bila departemen-departemen
di pusat mempunyai proyek (perencanaan, penganggaran dan pengendalian) tersendiri
dalam pembangunan desa. Yang dibutuhkan dari pemerintah pusat adalah: (1)
undang-undang pemerintahan daerah yang menegaskan desentralisasi desa; (2)
Kebijakan dan anggaran nasional yang afirmatif dan responsif terhadap desa; dan
(3) visi besar, koordinasi, fasilitasi, dan supervisi terhadap kabupaten/kota.
Pendanaan dari pusat seharusnya dialokasikan kepada kabupaten/kota, bukan
ditangani sendiri secara sentralistik, sehingga skema desentralisasi bisa
berjalan secara efektif.
Kedua, peran pemerintah kabupaten/kota.
Pemerintah kabupaten/kota seharusnya mempunyai perencanaan sektoral yang
terpadu tentang pembangunan desa,
sehingga bisa menghilangkan rebutan dan ketumpangtindihan proyek-proyek
pembangunan desa. Dalam konteks ini perlu dibuat rencana strategis dalam bentuk
keranjang besar program pembangunan desa, yang sesuai dengan batas-batas
kewenangan kabupaten/kota. Keranjang program yang terpadu tersebut bisa didanai
dengan APBD maupun alokasi dana khusus dari pemerintah pusat. Pendanaan dari pusat
ini pun sebenarnya bisa diintegrasikan ke dalam APBD. Di sisi lain, pemerintah
kabupaten/kota seharusnya juga membagi kewenangan secara proporsional kepada
desa yang diikuti juga dengan alokasi dana desa (ADD).
Ketiga, perlunya pengembangan loal self-planning di tingkat desa.
Artinya, desa merencanakan sendiri program pembangunan desa sesuai dengan
batas-batas kewenangan yang didesentralisasikan kepada desa, yang juga
didukung dengan desentralisasi keuangan
kepada desa, misalnya melalui skema alokasi dana desa (ADD). Skema pendanaan
pembangunan desa di level desa (baik yang bersumber dari PADES, ADD maupun dana
alokasi khusus dari pemerintah supradesa) seharusnya dikelola dengan skema budgeter, yakni dimasukkan dalam APBDES.
Tentu saja APBDES ini harus mencerminkan rencana strategis desa yang disusun
secara partisipatif dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Demokratisasi
Pembangunan Desa
Sejak
paradigma pembangunan desa yang berbasis pada rakyat, demokrasi merupakan
elemen sangat penting, sebagai bagian dari proses pembangunan, sekaligus
sebagai alat dan tujuan pembangunan desa. Rakyat dalam konteks ini menempati
posisi sentral (subyek) dalam pembangunan, mulai dari perencanaan sampai dengan
evaluasi pembangunan. Mengapa demokrasi penting dalam pembangunan desa? Pertama, pembangunan desa tentu bukan
sekadar masalah teknis dan ekonomis, tetapi juga terkait dengan masalah
politik. Berbagai agenda dalam pembangunan desa (prioritas program, pelibatan
stakeholders, alokasi anggaran dan lain-lain), merupakan pilihan dan keputusan
politik. Agar keputusan politik tersebut aspiratif, akomodatif, dan tepat
sasaran, maka dibutuhkan proses
demokrasi di dalamnya. Kedua,
pembangunan desa merupakan bidang governance,
yang dikelola dengan melibatkan pemerintah desa dan unsur-unsur masyarakat.
Pembangunan tentu bukan hanya menjadi domain pemerintah desa, meskipun ia
mempunyai kewenangan dan tanggungjawab terbesar, tetapi juga harus melibatkan stakeholder di luar pemerintah.
Keterlibatan (partisipasi) itulah yang kita sebut dengan demokrasi. Ketiga, berdasarkan pengalaman selama
ini, pembangunan desa bekerja tanpa melalui proses yang demokratis, melainkan
didominasi oleh elite desa. Keputusan-keputusan politik yang penting mengenai
agenda pembangunan desa ditentukan secara terbatas oleh elite-elite desa. Yang
lebih menyolok lagi, dominasi elite desa itu selama ini menghasilkan manipulasi
dan korupsi terhadap sumberdaya desa, yang kemudian menciptakan ketidakadilan
dan kemiskinan.
Bagaimana disain dan proses
demokratisasi dalam konteks pembangunan desa? Di setiap desa sudah lama ada
pemilihan kepala desa secara demokratis, juga sudah ada tradisi musyawarah yang
terbatas untuk pengambilan keputusan. Demokrasi lebih dari itu. Pemerintahan
yang demokratis (democratic governance)
mengajarkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan berawal “dari” partisipasi
masyarakat, dikelola secara akuntabel dan transparan “oleh” wakil-wakil yang
dipercaya masyarakat, serta dimanfaatkan secara responsif “untuk” kebutuhan
masyarakat. Dalam memahami demokrasi desa, kita tidak boleh terjebak pada
seremonial, prosedur dan lembaga yang tampak di permukaan. Prosedur dan lembaga
demokrasi memang sangat penting, tetapi tidak mencukupi. Yang lebih penting
dalam demokrasi adalah proses dan hubungan antara rakyat secara substantif.
Pemilihan kepala desa juga penting tetapi yang lebih penting dalam proses
politik sehari-hari yang melibatkan bagaimana hubungan antara pemerintah desa,
perwakilan desa (BPD) dan masyarakat. Dalam konteks ini, saya memahami dam meletakkan
demokrasi (yang relevan dengan konteks desa) ke dalam empat ranah utama:
pengelolaan kebijakan atau regulasi desa; kepemimpinan dan penyelenggaraan
pemerintahan desa; perwakilan rakyat, serta partisipasi masyarakat dalam
pemerintahan dan pembangunan.
a. Pengelolaan kebijakan desa berbasis masyarakat
Sebuah
kebijakan (peraturan desa) yang demokratis apabila berbasis masyarakat: berasal
dari partisipasi masyarakat, dikelola secara bertanggungjawab dan transparan
oleh masyarakat dan digunakan untuk memberikan manfaat kepada masyarakat. Dari sisi konteks, peraturan desa
berbasis masyarakat (demokratis) berarti setiap perdes harus relevan dengan
konteks kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Dengan kalimat lain, perdes yang
dibuat memang dimaksudkan untuk menjawab kebutuhan masyarakat, bukan sekadar
merumuskan keinginan elite desa atau hanya untuk menjalankan instruksi dari
pemerintah supradesa. Dari sisi kontens (substansi), prinsip dasarnya bahwa
peraturan desa lebih bersifat membatasi yang berkuasa dan sekaligus melindungi
rakyat yang lemah. Paling tidak, perdes harus memberikan ketegasan tentang
akuntabilitas pemerintah desa dan BPD dalam mengelola pemerintahan desa.
Dipandang dari “manfaat untuk rakyat”, perdes dimaksudkan untuk mendorong
pemberdayaan masyarakat: memberi ruang bagi pengembangan kreasi, potensi dan
inovasi masyarakat; memberikan kepastian masyarakat untuk mengakses terhadap
barang-barang publik; memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat dalam proses
pemerintahan dan pembangunan desa.
Sedangkan untuk menciptakan ketertiban dan keseimbangan, perdes harus
bersifat membatasi: mencegah eksploitasi terhadap sumberdaya alam dan warga
masyarakat; melarang perusakaan terhadap lingkungan, mencegah perbuatan
kriminal; mencegah dominasi suatu kelompok kepada kelompok lain, dan
seterusnya.
Sesuai
dengan logika demokrasi, perdes berbasis masyarakat (demokratis) disusun
melalui proses siklus kebijakan publik yang demokratis: artikulasi, agregasi,
formulasi, konsultasi publik, revisi atas formulasi, legislasi, sosialisasi,
implementasi, kontrol dan evaluasi. Dalam setiap sequen ini, masyarakat
mempunyai ruang (akses) untuk terlibat aktif menyampaikan suaranya.
b. Kepemimpinan dan kepemerintahan yang demokratis
Pemerintahan
di Indonesia telah lama tidak menumbuhkan kultur leadership yang
transformatif, melainkan hanya menumbuhkan budaya priyayi, perhambaan,
klientelisme, birokratis dan headship. Masalah ini merupakan tantangan
serius bagi pembaharuan kepemimpinan dan kepemerintahan desa. Kepemimpinan di
desa tidak bisa lagi dimaknai sebagai priyayi benevolent dan kepemimpinan birokratis,
melainkan harus digerakkan menuju kepemimpinan transformatif. Yaitu para
pemimpin desa yang tidak hanya rajin beranjangsana, melainkan para pemimpin
yang mampu mengarahkan visi jangka panjang, menggerakan komitmen warga desa,
membangkitkan kreasi dan potensi desa.
Pemerintah
desa, tentu, tidak lagi merupakan institusi tradisional yang dibingkai dengan
tradisi komunalisme. Pemerintah desa adalah bagian dari birokrasi negara modern
yang bertugas mengelola barang-barang publik, termasuk melakukan pungutan pajak
pada warga masyarakat. Sebagai institusi modern, pemerintah desa tidak cukup
hanya memainkan legitimasi simbolik dan sosial, tetapi harus membangun
legitimasi yang dibangun dari dimensi kinerja politik dan ekonomi. Legitimasi
ini harus melewati batas-batas pengelolaan kekuasaan dan kekayaan secara
personal di tangan kepala desa, seraya dilembagakan dalam sistem yang
impersonal.
Legitimasi
pemerintah desa mau tidak mau harus disandarkan pada prinsip akuntabilitas,
transparansi dan responsivitas. Pertama,
akuntabilitas menunjuk pada institusi dam proses checks and balances
dalam penyelenggaraan pemerintahan. Akuntabilitas juga berarti menyelenggarakan
penghitungan (account) terhadap sumber daya atau kewenangan yang
digunakan. Pemerintah desa disebut akuntabel bila mengemban amanat, mandat dan kepercayaan yang diberikan oleh warga.
Secara gampang, pemerintah desa disebut akuntabel bila menjalankan
tugas-tugasnya dengan baik, tidak melakukan penyimpangan, tidak berbuat
korupsi, tidak menjual tanah kas desa untuk kepentingan pribadi, dan seterusnya.
Kedua, transparansi (keterbukaan) dalam
pengelolaan kebijakan, keuangan dan pelayanan publik. Transparansi berarti
terbukanya akses bagi semua pihak yang berkepentingan terhadap setiap informasi
mengenai kebijakan, keuangan dan pelayanan. Artinya, transparansi dibangun atas
pijakan kebebasan arus informasi yang memadai disediakan untuk dipahami dan
dapat dipantau atau menerima umpan balik dari masyarakat. Transparansi tentu
mengurangi tingkat ketidakpastian dalam proses pengambilan keputusan dan
implementasi kebijakan desa, termasuk alokasi anggaran desa. Sebagai sebuah
media akuntabilitas, transparansi dapat membantu mempersempit peluang korupsi
di kalangan pamong desa karena terbukanya segala proses pengambilan keputusan
oleh masyarakat luas.
Ketiga, responsivitas atau daya tanggap
pemerintah desa. Pemerintah desa dan BPD harus mampu dan tanggap terhadap
aspirasi maupun kebutuhan masyarakat, yang kemudian dijadikan sebagai
preferensi utama pengambilan keputusan di desa. Responsif bukan hanya berarti
pamong desa selalu siap-sedia memberikan uluran tangan ketika warga masyarakat
membutuhkan bantuan dan pelayanan. Responsif berarti melakukan artikulasi
terhadap aspirasi dan kebutuhan masyarakat, yang kemudian mengolahnya menjadi
prioritas kebutuhan dan memformulasikannya menjadi kebijakan desa. Pemerintah
desa yang mengambil kebijakan berdasarkan preferensi segelintir elite atau
hanya bersandar pada keinginan kepala desa sendiri, berarti pemerintah desa itu
tidak responsif. Apakah betul pembangunan prasarana fisik desa merupakan
kebutuhan mendesak (prioritas) seluruh warga masyarakat? Apakah rumah tangga
miskin membutuhkan jalan-jalan yang baik dan rela membayar pungutan untuk
proyek pembangunan jalan? Karena itu, pemerintah desa bisa disebut responsif
jika membuat kebijakan dan mengalokasikan anggaran desa secara memadai untuk
mengangkat hidup rumah tangga miskin ataupun mendukung peningkatan ekonomi
produktif rumah tangga.
c.
Lembaga Perwakilan Yang Demokratis
Demokrasi
mengajarkan bahwa kekuasaan pemerintahan harus disebarkan ke dalam lembaga
eksekutif, legislatif dan yudikatif. Di desa, selain ada kepala desa yang
dipilih secara langsung, juga ada lembaga perwakilan rakyat, yang menurut UU
No. 22/1999 disebut sebagai badan perwakilan desa (BPD), sebuah lembaga
legislatif desa yang menggantikan lembaga korporatis lama, yakni Lembaga
Musyawarah Desa. BPD adalah aktor yang melakukan kontrol untuk mewujudkan
akuntabilitas pemerintah desa. Dalam melakukan kontrol kebijakan dan keuangan,
BPD mempunyai kewenangan dan hak untuk menyatakan pendapat, dengar pendapat,
bertanya, penyelidikan lapangan dan memanggil pamong desa. Ketika ruang BPD ini
dimainkan dengan baik secara impersonal, maka akan memberikan kontribusi yang
luar biasa terhadap akuntabilitas pemerintah desa. Meskipun tidak ditegaskan
dalam perangkat peraturan, menurut standar proses politik, masyarakat juga
mempunyai ruang untuk melalukan kontrol dan meminta pertanggungjawaban
pemerintah desa. Pemerintah desa, sebaliknya, wajib menyampaikan
pertanggungjawaban (Laporan Pertanggungjawaban- LPJ) tidak hanya kepada BPD,
melainkan juga kepada masyarakat. Ketika kepala desa keliling beranjangsana ke
berbagai komunitas tidak hanya digunakan untuk membangun legitimasi simbolik,
tetapi juga sebagai arena untuk menyampaikan pertanggungjawaban kepada warga.
Keberadaan
BPD bisa disebut demokratis bila memenuhi kriteria sebagai berikut:
·
Representatif, artinya BPD tidak hanya wadah bagi elite
desa, melainkan lebih mewakili berbagai kelompok sosial yang ada di desa: buruh
tani, nelayanan, perempuan, pemuda, dan lain-lain.
·
Aspiratif, artinya BPD secara proaktif menjaring
aspirasi masyarakat sebagai bahan masukan bagi perumusan kebijakan dan Perdes.
·
Menjalankan kontrol secara efektif terhadap
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa.
d.
Partisipasi Masyarakat
Jika pandangan yang berpusat pada
negara memahami demokrasi dari sisi akuntabilitas, transparansi dan
responsivitas penyelenggaraan pemerintahan, maka pandangan dari masyarakat memahami bahwa pilar utama demokrasi adalah
masyarakat sipil (civil society). Sebuah pandangan dari masyarakat melihat demokratisasi bukan sekadar sebagai suatu
periode transisi terbatas dari satu set aturan-aturan rezim formal ke satu set
lainnya, tetapi lebih sebagai sebuah proses berkesinambungan, sebuah tantangan
abadi, sebuah perjuangan yang terus berulang. Proses inilah yang menjadi domain
masyarakat sipil. Masyarakat sipil adalah lingkup kehidupan sosial terorganisir
yang terbuka, sukarela, timbul dengan sendirinya (self-generating),
setidaknya berswadaya secara parsial, otonom dari negara, dan terikat oleh
suatu tatanan legal atau seperangkat nilai-nilai bersama. Masyarakat sipil
berbeda dari "masyarakat" secara umum dalam hal ia melibatkan warga
yang bertindak secara kolektif dalam sebuah lingkup publik untuk
mengekspresikan kepentingan-kepentingan, hasrat, preferensi, dan ide-ide mereka,
untuk bertukar informasi. untuk mencapai sasaran kolektif, untuk mengajukan
tuntutan pada negara, untuk memperbaiki struktur dan perfungsian negara, dan
untuk menekan para pejabat negara lebih akuntabel.
Teori demokrasi
mengajarkan bahwa demokratisasi membutuhkan hadirnya masyarakat sipil yang
terorganisir secara kuat, mandiri, semarak, pluralis, beradab, dan
partisipatif. Partisipasi merupakan kata kunci utama dalam masyarakat sipil
yang menghubungkan antara rakyat biasa (ordinary people) dengan
pemerintah. Partisipasi bukan sekadar keterlibatan masyarakat dalam pemilihan
kepala desa dan BPD, tetapi juga partisipasi dalam kehidupan sehari-hari yang
berurusan dengan pembangunan dan pemerintahan desa. Secara teoretis,
partisipasi adalah keterlibatan secara terbuka (inclusion) dan keikutsertaan (involvement).
Keduanya mengandung
kesamaan tetapi berbeda titik tekannya. Inclusion menyangkut siapa saja yang terlibat, sedangkan involvement
berbicara tentang bagaimana masyarakat
terlibat. Keterlibatan berarti memberi ruang bagi siapa saja untuk terlibat
dalam proses politik, terutama kelompok-kelompok masyarakat miskin, minoritas,
rakyat kecil, perempuan, dan kelompok-kelompok marginal lainnya.
Secara substantif partisipasi
mencakup tiga hal. Pertama, voice
(suara): setiap warga mempunyai hak dan ruang untuk menyampaikan suaranya dalam
proses pemerintahan. Pemerintah, sebaliknya, mengakomodasi setiap suara yang
berkembang dalam masyarakat yang kemudian dijadikan sebagai basis pembuatan
keputusan. Kedua, akses, yakni setiap warga mempunyai kesempatan untuk
mengakses atau mempengaruhi pembuatan
kebijakan, termasuk akses dalam layanan publik. Ketiga, kontrol, yakni
setiap warga atau elemen-elemen masyarakat mempunyai kesempatan dan hak untuk
melakukan pengawasan (kontrol) terhadap jalannya pemerintahan maupun
pengelolaan kebijakan dan keuangan pemerintah.
Dalam
konteks pembangunan dan pemerintahan desa, partisipasi masyarakat terbentang
dari proses pembuatan keputusan hingga evaluasi. Proses ini tidak semata
didominasi oleh elite-elite desa (pamong desa, BPD, pengurus RT maupun pemuka
masyarakat), melainkan juga melibatkan unsur-unsur lain seperti perempuan,
pemuda, kaum tani, buruh, dan sebagainya.
Dari sisi proses, keterlibatan masyarakat biasa bukan dalam konteks
mendukung kebijakan desa atau sekadar menerima sosialisasi kebijakan desa,
melainkan ikut menentukan kebijakan desa sejak awal. Partisipasi dalam
pembangunan desa, misalnya, bisa dilihat dari keterlibatan masyarakat dalam
merumuskan kebijakan pembangunan (rencana strategis desa, program pembangunan
dan APBDES, dan lain-lain), antara lain melalui forum RT, musbangdus,
musbangdes maupun rembug desa. Forum-forum itu juga bisa digunakan bagi
pemerintah desa untuk mengelola akuntabilitas dan transparansi, sementara bagi
masyarakat bisa digunakan untuk voice, akses dan kontrol terhadap pemerintah desa.
Kontrol
masyarakat terhadap elite lokal merupakan indikator penting dalam partisipasi,
sebagai arena yang memungkinkan elite lokal itu bertanggungjawab dan tanggap terhadap
kepentingan warga. Kontrol bisa
dilakukan dengan hadirnya institusi pemantau (watch dogs), dan yang
lebih penting adalah terlembaganya mekanisme petisi, mosi tidak percaya, atau recalling
terhadap elite lokal oleh masyarakat.
Masyarakat pemilih (konstituen), misalnya, bisa menarik diri terhadap
wakil rakyat yang terbukti tidak bertanggungjawab atau tidak menjalankan amanat
rakyat. Tentu saja ruang kontrol masyarakat harus dilegalkan dalam aturan main
baik Undang-undang, Peraturan Daerah maupun Peraturan Desa.
Membangun civil society maupun masyarakat partisipatif di desa
tidak harus berangkat dari titik nol. Meski sebagian besar organisasi di desa
bersifat korporatis (bentukan dari atas secara seragam), tetapi organisasi itu
bisa dibingkai ulang dengan bersandar pada prinsip partisipasi. Masyarakat bisa
memanfaatkan organisasi-organisasi lokal (RT, RW, LKMD, LPMD, PKK, arisan,
karang taruna, kelompok tani, dan lain-lain), bukan hanya untuk seremonial atau
self-help, tetapi juga bisa digunakan sebagai basis partisipasi dalam
pembangunan dan pemerintahan desa.
Persoalannya,
bagaimana manfaat dan relevansi demokrasi desa dalam konteks pembangunan desa?
Apakah demokrasi menghasilkan kesejahteraan atau kualitas hidup masyarakat,
atau apakah demokrasi sanggup mengurangi kemiskinan desa? Memang
hubungan antara demokrasi dan pengurangan kemiskinan susah direkonstruksi. Di
Indonesia, kepercayaan pubik terhadap relasi antara demokrasi dan pengurangan
kemiskinan juga sangat rendah. Orang sering sering mengatakan, promosi
demokrasi di tengah-tengah kemiskinan adalah suatu utopia yang membahayakan.
“Bagaimana mungkin rakyat yang lapar diajak berpikir tentang demokrasi. Apa
betul rakyat desa butuh demokrasi”, demikian kira-kira pendapat banyak orang
yang sering saya dengar. Karena itu solusinya, kata banyak orang, mendahulukan
peningkatan kesejahteraan rakyat jauh lebih penting ketimbang membangun
demokrasi.
Tetapi argumen
pragmatis itu sebenarnya lemah dari sisi pemikiran maupun secara empirik. Orang
sering berpikir demokrasi hanya dalam konteks yang terbatas, yaitu kebebasan
rakyat dan hadirnya lembaga perwakilan rakyat yang kuat. Padahal demokrasi juga
bisa dibaca dari sisi pemerintah, yakni akuntabilitas dan responsivitas
pemerintah terhadap masyarakat. Dari sisi empirik ada banyak bukti yang kuat
bahwa kegagalan kebijakan pembangunan pedesaan selama ini bukan semata karena
kebijakan yang tidak berkualitas, melainkan proses kebijakan yang tidak
dibingkai dalam setting demokrasi. Pelaksanaan kebijakan yang sering diwarnai
dengan praktik-praktik salah urus, asal-asalan, kebocoran, korupsi, atau salah sasaran karena lemahnya
transparansi, akuntabilitas maupun responsivitas pejabat pemerintah, serta
lemahnya partisipasi (voice, akses,
dan kontrol) masyarakat. Pada level yang lebih tinggi, munculnya raja-raja
kecil maupun praktik korupsi yang merajalela di daerah bukan karena otonomi
daerah sebagai kambing hitamnya, melainkan karena tidak adanya demokrasi
(partisipasi, akuntabilitas, transparansi dan responsivitas) di daerah. Orang
sering sudah puas mengatakan demokrasi kalau sudah ada lembaga-lembaga
demokrasi formal yang dihasilkan oleh pemilihan umum yang demokratis. Di level
desa, orang sering sudah puas mengatakan demokrasi karena keberadaan kepala
desa dan Badan Perwakilan Desa yang dipilih secara demokratis.
Memang demokrasi
tidak secara langsung mengurangi kemiskinan, apalagi membuat kenyang perut
rakyat miskin seketika. Toh pengurangan kemiskinan bukan berarti memberi
santunan atau sedekah secara langsung kepada rakyat miskin, tetapi harus dengan
kebijakan yang lebih rumit, yang memungkinkan orang miskin mempunyai ruang dan
akses secara memadai. Demokrasi (partisipasi, akuntabilitas, transparansi dan
responsivitas) tentu saja akan membuka ruang bagi proses belajar, menciptakan
hubungan antara pejabat dengan rakyat miskin secara lebih manusiawi,
membangkitkan kesadaran dan potensi rakyat miskin, membuka kesempatan akses
politik bagi kaum miskin, membuat pejabat publik lebih bertanggungjawab,
mengurangi praktik-praktik kebocoran dalam alokasi dana yang memungkinkan
program lebih tepat sasaran untuk kaum miskin, dan seterusnya. Proses kebijakan
yang lebih partisipatif dan responsif tentu memungkinkan lahirnya kebijakan
yang relevan dengan kebutuhan kaum miskin, bukan sekadar kebijakan yang bias
preferensi eitee.
Proses membangun
demokrasi dan pengurangan kemiskinan sebenarnya bisa berjalan bersama secara
simultan. Pengurangan kemiskinan tidak harus didahulukan, sementara demokrasi
diabaikan. Demikian juga, agenda pengurangan kemiskinan tidak harus menunggu
lahirnya setting demokrasi yang lebih kondusif. Dalam konteks ini, demokrasi
bisa menjadi proses dan metode yang diterapkan untuk mengelola kebijakan
pengurangan kemiskinan. Yaitu, bagaimana membicarakan dan melaksanakan
program-program pengurangan kemiskinan secara demokratis, melalui proses
belajar bersama antara pemerintah dengan masyarakat.
Lalu bagaimana
keterkaitan antara desentralisasi-demokrasi dengan pengurangan kemiskinan di
desa? Dari isi sejumlah literatur yang
bisa dilacak dapat ditemukan hubungan relatif lemah antara
desentralisasi-demokrasi dan pengurangan kemiskinan (misal Blair, 2000; Crook
dan Manor, 1998; Crook dan Sverrisson, 2001; Golooba-Mutebi, 2000; Manor, 1999;
Moore dan Putzel, 1999; Rahman, 2001). Meskipun langkah besar pada pelimpahan
kekuasaan kepada lembaga lokal yang dipilih secara demokratis, desentralisasi
di Colombia, Brazil dan West Bengal tampak mencapai sedikit tentang pengurangan
kemiskinan atau perbaikan perbedaan (disparity) daerah (Crook dan
Sverrisson, 2001: 37-9). Kesimpulan Manor (1999: 106-8) tentang pengalaman di
Bolivia, India dan Bangladesh sama-sama pesimis.
Temuan itu
meningkatkan sejumlah perhatian tentang viabilitas mendorong pengurangan
kemiskinan melalui desentralisasi-demokrasi. Pertama, mereka mengemukakan bahwa bentuk desentralisasi-demokrasi
paling berhasil pun tidak mampu mengatasi perbedaan (disparity) ekonomi
dan politik, dalam dan antar daerah. Ini, pada gilirannya, menyoroti persoalan
peningkatan pendapatan di wilayah desa, di mana surplus ekonomi (dan oleh
karena itu penghasilan yang dapat dikenai pajak) cukup jarang. Di sini penting
untuk mengakui bahwa program pembangunan sangat sering merupakan subjek untuk regional
bias. Ini dapat mengambil banyak bentuk, termasuk bias daerah yang relatif
subur dan berkembang dengan baik, bias perkotaan dan bias politik pada wilayah
di mana aktor lokal sangat berpengaruh. Anggapan bahwa pemerintah serius
melakukan pelimpahan kekuasaan kepada lembaga lokal, kebijakan dasar ini dapat
juga secara mendalam mengancam eitee nasional (Moore dan Putzel, 1999). Bahkan
ketika pemerintah pusat membiarkan kreasi daerah, mereka masih dapat
melaksanakan kontrol yang besar dengan menetapkan sasaran kinerja, mekanisme
pelaporan dan semacamnya (Manor, 1999; 60-1; Moore dan Putzel, 1999: 20-1).
Kedua, mereka menyatakan ketegangan mendasar antara ketimpangan
desa dan demokrasi lokal. Hal penting di sini adalah bahwa kemiskinan mempunyai
pengaruh yang memperlemah kemampuan untuk ikut serta dalam proses politik
formal. Sebuah gambaran langsung tentang ini adalah hubungan antara melek huruf
dasar (basic literacy) dan tindakan politik. Sebagaimana Deze dan Sen
(1996) secara kuat memgemukakan, kemampuan orang untuk memperoleh dan memahami
informasi tentang hukum, kebijakan dan hak-hak seringkali sangat bergantung
pada kemampuan membaca. Ini, pada gilirannya, menyoroti cara keterwakilan
penduduk miskin dalam institusi demokrasi (misal melalui partai politik, block
voting, lobbying, dan sebagainya) dan kepemilikan ‘alat politik’
(misal, uang, tenaga, informasi, melek huruf) untuk mempengaruhi proses
demokrasi. Ketika para pemilih tidak mengetahui platforms partai,
kebijakan pemerintah dan hak-hak mereka, kemampuan mereka untuk mempengaruhi poses
demokrasi sangat terbatas. Demikian juga, ketika para politisi dan partai
berkampanye berdasarkan orientasi jangka-pendek, berlawanan dengan kebijakan
program, hubungan antara kompromi sifat dasar ini dan akuntabilitas demokrasi
dapat benar-benar sangat tipis (Moore dan Putzel, 1999).
Ketiga, dan berhubungan dengan ini, adalah dilema mendorong
penduduk miskin untuk menanggung ongkos keterlibatan dalam tindakan politik
langsung. Sebagaimana dikedepankan Moore dan Putzel, institusi agraria mungkin
disusun dalam sebuah cara yang mencegah
penduduk miskin untuk ikut serta dalam rapat umum politik dan sejenisnya.
Selanjutnya, ongkos tindakan politik (misal ongkos perjalanan, dan komunikasi)
mungkin menghalangi mereka dari mengejar atau meneruskan gerakan politik yang
masuk akal. Loyalitas yang bertentangan mungkin mengurangi solidaritas politik
sekitar identitas berbasis-kelas, seperti ‘petani gurem, tidak berlahan,
pekerja upahan, (petani) penyewa, penerima subsidi pangan, penghuni liar’ dan
sejenisnya.
Keempat, ada persoalan tentang penyerobotan (capture) yang dilakukan eite lokal. Seperti banyak studi (misal
Blair, 2000; Crook dan Manon, 1998; Crook dan Sverrisson, 2001; Dreze dan Sen,
1996; Manor, 1999; Moore dan Putzet, 1999: 15) menunjukkan, salah satu bahaya
desentralisasi adalah bahwa desentralisasi mungkin hanya memberdayakan eite
lokal dan, lebih buruk, mengekalkan kemiskinan dan ketimpangan. Beberapa
peneliti meragukan, apakah pengenalan prinsip-prinsip demokrasi akan mengatasi
faktor historis dan kultural yang mengekalkan kesetaraan politik (Luckam et
al., 2000; Moore dan Putzel, 1999). Ini, pada gilirannya, menyoroti
tantangan bagaimana mendorong demokrasi di desa di mana jumlah orang yang besar
bergantung pada segelintir eite lokal yang sangat kuat.
Membuang
intervensi pemerintah adalah sangat baik, orang dapat memperkirakan dengan
kepercayaan yang masuk akal bahwa ongkos penjaminan distribusi yang adil dan pendorongan korupsi lokal akan tinggi.
Ini adalah proyek infrastruktur pedesaan yang benar-benar terkenal, seperti
pembangunan jalan raya (Rao, 2000) atau irigasi, yang di dalamnya pasar input
primer, tenaga kerja dan regulasi publik (Wade, 1985) akan bergantung pada
sejumlah faktor: kemudahan memperoleh keuntungan dari program; jumlah sewa yang tersedia diambil
untuk diri sendiri; kemampuan menghindari deteksi dan sanksi; dan yang penting,
sistem akuntabilitas yang
idealnya membeberkan dan menghukum perilaku jenis ini. Faktor terakhir ini
perlu disoroti, karena ia dapat dipengaruhi oleh kebijakan publik dan karena ia
merupakan alokasi yang salah atau korupsi sumberdaya publik yang seringkali
membenarkan teriakan paling keras untuk desentralisasi-demokrasi (misal Dreze
dan Sen, 1996; Bank Dunia, 2000).
Studi tentang
desentralisasi memperlihatkan bahwa devolusi dapat meningkatkan taraf
penghidupan masyarakat desa dalam sejumlah cara. Pertama, pembangunan dan pemberdayaan kelompok-kelompok pengguna
sumberdaya lokal dapat memperbaiki cara-cara yang di dalamnya penduduk lokal
mengelola dan menggunakan sumberdaya alam, dengan demikian memperbaiki dasar
sumber daya yang padanya penduduk miskin bergantung secara tidak seimbang
(Baland dan Platteau, 1996; IFAD, 2000; Ostrom, 1990). Selengkapnya ini adalah
anggapan bahwa komunitas lokal (dan terutama desa) memiliki pengetahuan,
informasi dan dorongan untuk mengelola dan mengawetkan sumberdaya yang menjadi
basis kehidupan bagi komunitas lokal dan
keluarga mereka (bandingkan Agrawal dan Gibson, 1999: 633; Baland dan Platteau,
1996).
Kedua, dan berhubungan dengan ini, kerjasama antara para
perwakilan politik dan pengguna sumberdaya lokal dapat memberikan hasil yang
‘sinergis’ (Evan, 1996a; 1996b; Ostrom, 1996), yang di dalamnya warga negara
dan pegawai sipil membangun kemitraan untuk menyediakan barang-barang yang
tidak akan dapat diperoleh jika mereka bertindak sendirian. Contoh klasik
tentang ini meliputi joint forest management (IFAD, 2001), fisheries
co-management (Pomeroy dan Berkes, 1997) dan participatory watershed
management (Farrington et al., 2000).
Ketiga, dan paling sentral pada tulisan ini, demokratisasi dan
pemberdayaan lembaga administratif lokal dapat meningkatkan partisipasi dalam
forum pembuatan-keputusan, terutama di kalangan kelompok-kelompok yang secara tradisional terpinggirkan oleh proses
politik lokal (Blair, 2000; Crook dan Sverrisson, 2001; Crook dan Manor, 1998).
Studi dari Afrika, Asia dan Amerika Latin menunjukkan bahwa pengenalan pemilu, sistem transparansi, dan
hak berekspresi dan berkumpul dapat memberdayakan penduduk miskin, meningkatkan
kemampuan mereka ikut serta dalam
pembuatan-keputusan lokal dan (yang penting sekali) mendorong mereka untuk
memaksa para pejabat publik bertanggung jawab (Blair, 2000; Crook dan Manor,
1998; Crook dan Sverrisson, 2001; Manor, 1999; Rondinelli et al., 1989).
Sebagaimana Blair
(2000: 25) tunjukkan, ‘perwakilan yang ditingkatkan menawarkan manfaat
(perwakilan itu) sendiri’. Bagi orang, dia berpendapat, partisipasi dalam
lembaga lokal yang dipilih secara demokratis dapat mengarah pada perbaikan
nilai dan identitas lembaga itu sendiri, yang dapat membantu menghentikan
kebiasaan ketidaksamaan dan diskriminasi. Kedua, keanggotaan dalam badan
administratif lokal dapat memberikan keahlian penting. (misal tata buku,
kepemimpinan, dan sebagainya) yang dapat diserahterimakan kepada jabatan lain.
Regulasi yang
menetapkan keterlibatan kelompok-kelompok semacam itu (contohnya sistem
reservasi dalam panchayats India) dapat membantu menjamin bahwa kelompok
miskin dan terpinggirkan mempunyai suara di lembaga lokal (Crook dan Manor,
1998). Diantara kasus yang paling berhasil (misal West Bengal, Colombia,
Filipina), tata pemerintahan demokratis lokal juga telah memperbaiki efisiensi
dan responsivitas para pejabat
publik (Blair, 2000; Crook dan Sverrisson, 2001; Crook dan Manor, 1998; Manor,
1999).
Mendasari model
yang ‘lebih berhasil’ ini adalah sistem politik yang di dalamnya perwakilan
negara pusat mau dan dapat melepaskan atau menciptakan kekuasaan yang
memerintah legislasi, administrasi dan perpajakan (Crook dan Manor, 1998;
Manor, 1999; Tendler, 1997). Manor (1999), misalnya, memperlihatkan bahwa
desentralisasi dapat memperbaiki efektivitas dan akuntabilitas pemerintah
ketika: lembaga yang dipilih pada tingkat lokal mempunyai dana yang cukup;
mereka memperoleh otonomi yang riil dari lembaga tingkat yang lebih tinggi; dan
akuntabilitas yang ada antara perwakilan yang dipilih dan warga negara, dan
antara para birokrat yang tidak-dipilih dan wakil yang dipilih.
Sebagai agenda
kedepan untuk penguatan desentralisasi, demokrasi lokal dan pembangunan desa,
ada tiga tema utama yang perlu dikemukakan. Pertama, membuat keseimbangan
antara otonomi
lokal dan akuntabilitas pejabat publik. Desentralisasi telah mengajarkan bahwa
pemerintah lokal mempunyai hak dan kewenangan ketika berhadapan dengan
pemerintah pusat, tetapi sekaligus mempunyai kewajiban dan tanggungjawab
(akuntabilitas) ketika berhadapan dengan warga masyarakat.
Satu tema yang
muncul dari tinjauan ini adalah kebutuhan menemukan keseimbangan antara otonomi
negara, di satu pihak, dan ukuran apa yang Granovetter (1992) menyebut ‘social
embeddedness’, di pihak lain. Tantangannya di sini adalah salah satu dari
memelihara otonomi untuk mengatasi kepentingan yang sangat kuat di dalam
masyarakat, sementara pada saat yang sama, memasukkan pandangan dan preferensi
aktor non-negara. Studi Tendler di Brazil timur laut, misalnya, menggambarkan
cara-cara bagaimana hubungan antara pekerja kesehatan pemerintah dan komunitas
klien dapat memperbaiki pemeliharaan kesehatan primer di daerah pedesaan
(Tendler, 1997; Tendler dan Freedheim, 1994). Ini disebabkan sejumlah faktor:
para pejabat pemerintah menghabiskan periode waktu yang diperluas dengan target
penerima manfaat (beneficiaries);
yang pada gilirannya menciptakan situasi dimana para pejabat dipengaruhi oleh
(‘embedded in’) opini dan sanksi anggota komunitas; kinerja yang baik
membawa prestise yang tinggi, dalam komunitas dan dalam pelayanan sipil; dan
pemerintah pusat merupakan alat mendukung prakarsa ini.
Hampir senada, Crook
dan Manor (1998: 302-4) menyoroti tantangan bagaimana mendorong sebuah ‘budaya
akuntabilitas’ dalam proses politik lokal. Menggambarkan tentang kasus
Karnataka (India) yang relatif berhasil, mereka mengemukakan bahwa
akuntabilitas diperlukan adanya: partai-partai politik yang kompetitif
(bandingkan dengan Blair, 2000); pers bebas yang didistribusikan secara luas
(bandingkan dengan Blair, 2000); dan ‘pelayanan sipil yang profesional’, yang
di dalamnya para pejabat mau ‘mengembangkan hubungan yang konstruktif tetapi
tunduk-pada hukum dengan para politisi yang dipilih’ (Crook dan Manor, 1998:
303).
Kedua, melibatkan partisipasi
aktor eksternal. Tema kedua yang muncul dalam literatur tentang
desentralisasi-demokrasi adalah keterlibatan aktor-aktor eksternal
memberdayakan kelompok-kelompok miskin dan marjinal dalam masyarakat (Crook dan
Manor, 1998; Tendler, 1997). NGOs, misalnya, secara aktif memberdayakan
kelompok miskin dalam sejumlah cara (Bratton, 1990; Clark, 1991; White dan
Runge, 1995). Mereka dapat menghubungkan penduduk miskin dan marjinal dengan
perkumpulan sekutu yang lebih luas, dengan siapa mereka dapat menyusun lobby
politik yang lebih efektif. NGO dapat menyerab beberapa ongkos keterlibatan
dalam tindakan politik (misal tranportasi, komunikasi dan sebagainya). Mereka
juga dapat mendorong apa yang Samuel Popkin (1979: 243) gambarkan sebagai
‘konsepsi baru tentang identitas dan harga-diri’. Dalam konteks ini, mereka
dapat melakukan dengan mendorong penduduk miskin ikut serta dalam tindakan kolektif
(White dan Runge, 1995) atau dengan menyebarkan informasi tentang hak-hak
konstitusional, persekutuan yang kuat dan kesempatan politik lain.
Sumber bantuan
eksternal penting lainnya dapat berasal dari eselon tingkat lebih tinggi dalam
pemerintah. Ini dapat bekerja dalam sejumlah cara. Mereka antara dapat menyusun
insentif dalam sebuah cara yang memungkinkan partisipasi lokal dan akuntabilitas publik berakar. Isentif
seperti itu mungkin meliputi jalan
karir, pendanaan yang diperuntukkan
untuk lembaga lokal, dan status dalam masyarakat (Crook dan Manor, 1998;
Tendler, 1997). Level pemerintah yang lebih tinggi juga bisa melakukan
fasilitasi untuk pengembangan kapasitas para aktor-aktor lokal.
Temuan-temuan itu
mengangkat pertanyaan penting mengenai
strategi penduduk miskin — dan organisasi sosial yang bertindak atas
nama kepentingan mereka — untuk mempengaruhi kebijakan publik. Mereka juga
mengemukakan bahwa pemerintah pusat mungkin mempunyai peran lebih besar untuk
dimainkan dalam pembangunan lokal daripada teori desentralisasi-demokrasi yang
lebih idealistis akan mengarahkan mereka
untuk percaya (bandingkan dengan Manor, 1999; Moore dan Putzel, 1999:15;
Tendler dan Freedheim, 1994; Tendler, 1997).
Ketiga, memperdalam demokrasi di
tingkat lokal. Tema ketiga yang muncul dari analisis ini adalah kebutuhan
untuk bergerak di luar dunia demokrasi formal-prosedural, dan untuk mendorong
apa yang Luckham et al. (2000) menyebut demokrasi yang dalam (substantf). Seperti argumen
terdahulu, pemilu merupakan komponen sangat penting yang masih tidak sempurna
dalam demokrasi. Namun, kemampuan mereka untuk mendorong tata pemerintahan yang
responsif yang efektif sangat bergantung pada tiga variabel penting: kapasitas
partai dan politisi mengkampanyekan isu-isu kebijakan yang substantif, sebagai berlawanan dengan
populisme atau, lebih buruk, klientelisme dan pembelian suara;
kualitas informasi yang tersedia bagi para pemilih; dan kekuatan organisasi
masyarakat sipil.
Manor (1999: 74-6)
membuat kasus bahwa partai politik mempunyai peran penting untuk dimainkan
dalam sistem demokrasi lokal (bandingkan dengan Blair, 2000; Crook dan Manor,
1998). Sentral dengan ini adalah gagasan bahwa demokrasi multi-partai membantu
mengorganisir ‘kekuatan yang berlawanan’ (Manor, 1999: 75) menjadi kelompok
yang secara jelas dapat dikenal, mendorong kesadaran kritis dan debat publik.
Dikatakan, kemampuan untuk mengartikulasikan kepentingan dan mendorong debat
bergantung pada dinamika internal dan perdebatan yang ada dalam partai politik. Pengalaman di
West Bengal memperlihatkan bahwa partai politik dapat mengatasi pengurangan
kemiskinan pedesaan ketika mereka mengembangkan dan mengejar sebuah program
yang secara ideologis dimasukkan ke dalam tujuan redistribusi sosial (Kohli,
1987; Crook dan Sverrisson, 2001). Namun, peristiwa sejarah yang mengarah pada
gerakan komunis di West Bengal mendorong beberapa sarjana (misal Crook dan
Sverrisson, 2001) menanyakan viabilitas menirukan pengalaman dalam settings
politik lain. Lebih lanjut, adalah berharga menekankan bahwa pencapaian program
politik ini tidak bersifat demokratis seluruhnya (Kohli, 1987), mengulangi
pernyataan ketegangan antara kebijakan yang masuk akal dan demokrasi bersifat
umum.
Sebagaimana pemilu
bukan sebuah demokrasi, hal yang sama dapat diakatakan bahwa politik partai
bukan demokratisasi. Pembangunan masyarakat sipil yang kuat dan bersemangat
juga tak mungkin lepas berhubungan dengan kesempatan politik yang yang
disediakan negara, dan cara yang di dalamnya kelompok miskin dan marjinal dalam
masyarakat memanfaatkan kesempatan ini
(Luckham et al., 2000; Moore dan putzel, 1999). Pada gilirannya hal itu
menyoroti cara-cara yang di dalamnya identitas berdasarkan pada kelas, kasta,
agama, kesukuan, gender dan social markers lainnya mempengaruhi
mobilisasi sosial dan aspirasi politik (Luckham et al., 2000; Harriss,
2000; Moore dan Putzel, 1999). Juga mengajukan pertanyaan apakah dan seberapa
luas perjuangan politik diantara dan antara kelompok sosial ini akan mengarah
pada bentuk masyarakat sipil yang lebih kuat dan, dengan perluasan, bentuk tata
pemerintahan yang lebih adil (Luckham et al., 2000; Harriss, 2000).
Rangkuman
Berbagai
paradigma baru pembangunan desa yang telah dibahas di atas tentu menyajikan
perspektif alternatif dan kritis, yang berupaya membawa isu-isu keberlanjutan
dan menempatkan rakyat sebagai posisi subyek dalam pembangunan desa. Keyakinan
yang berpihak pada desa ini sudah diterima secara luas oleh pemerintah,
akademisi, lembaga-lembaga internasional sebagai perspektif baru dalam
pembangunan desa, apalagi belajar dari pengalaman masa lalu, pembangunan desa
terpadu yang dilaksanakan secara sentralistik oleh pemerintah di
desa telah menemui kegagalan. Baik pemerintah maupun lembaga-lembaga
internasional yang bekerja di Indonesia memang sudah melakukan perubahan
karitatif dalam hal strategi/pendekatan pembangunan desa yang berupaya
menempatkan posisi rakyat pada posisi subyek, misalnya sebagaimana tergambar
dalam program-program IDT, PPK, P2MPD, dan lain-lain.
Tetapi
ada sejumlah kelemahan yang perlu dicermati. Pertama, pembangunan desa yang berpusat pada rakyat adalah sebuah
konsep akademik yang masih sebatas jargon, yang belum bisa diperasionalkan
secara konkret. Konsep ini sangat mujarab untuk melakukan kritik model pembangunan
yang berorientasi pada pertumbuhan dan digerakkan pemerintah, tetapi secara
empirik konsep itu belum bisa dioperasionalkan secara konkret dan mampu
menyentuh rakyat. Raksasa birokrasi yang sentralistik dan hirarkhis menjadi
sebuah kendala besar untuk wewujudkan pembangunan desa yang berpusat pada
rakyat.
Kedua, sasaran pembangunan desa masih
terfokus pada penanggulangan kemiskinan melalui investasi infrastruktur dan
pemberian layanan sosial. Lebih parah lagi, di tingkat lokal, pembangunan desa
dipahami dan dipraktikkan sebagai pembangunan fisik semata. Selama ini tidak
ada analisis komprehensif yang dilakukan terhadap dampak intervensi pemerintah,
sebab yang lebih banyak dilakukan adalah menghitung anggaran yang telah
dikeluarkan pemerintah beserta lembaga donor untuk membiayai pembangunan desa,
bukan pada efisiensi, efektivitas dan keberlanjutan hasil-hasil pembangunan
desa. Program-program pembangunan desa selama ini lebih memperhatikan kuantitas
jumlah “yang dapat diberikan” (deliverable)
pemerintah, ketimbang memperhatikan pencapaian dampak kualitatif yang penting
terhadap rakyat desa, misalnya program-program yang memperbaiki kualitas hidup
rakyat desa melalui pemerintahan lokal yang otonom dan demokratis (democratic self-government).
Ketiga, sasaran pembangunan desa di atas
tidak dipadukan dengan agenda desentralisasi
dan penguatan demokrasi lokal. Pemerintah pusat merumuskan sendiri
secara sentralistik blue print dan
pendanaan pembangunan desa pada penanggulangan kemiskinan melalui investasi
infrastruktur dan pemberian layanan sosial. Pendanaan yang mengalir dari
Jakarta itu tidak dimasukkan ke dalam anggaran daerah, apalagi anggaran desa
(APBDes), yang sudah direncanakan sendiri di tingkat lokal. Dengan demikian,
dana yang datang dari pusat adalah dana proyek yang bersifat nonbudgeter, sehingga dana itu di
tingkat lokal berada di luar perencanaan dan pemerintah lokal tidak perlu
membuat akuntabilitas kepada publik. Karena program pembangunan desa yang
terpusat itu tidak diintegrasikan dalam skema desentralisasi, maka yang terjadi
adalah ketergantungan pemerintah lokal (daerah dan desa) pada program bantuan
dari pusat, serta melemahkan kemampuan dan responsivitas lokal dalam
melancarkan program-program pembangunan
desa dalam kerangka desentralisasi secara mandiri dan sesuai dengan preferensi
lokal. Dalam benak pikiran pejabat
daerah, pembangunan desa adalah “proyek-proyek” peningkatan prasarana fisik
desa, kegiatan penyuluhan maupun penyaluran bantuan-bantuan karitatif (sedekah)
kepada rakyat desa. Dengan alasan klasik, minimnya dana, pemda mengaku tidak
mampu membuat kebijakan pembangunan desa yang komprehensif. Tetapi kalau kita
lihat struktur APBD di banyak kabupaten/kota, anggaran pembangunan desa jauh
lebih kecil dibanding dengan program pengawasan dan pembinaan aparatur
pemerintah, apalagi kalau dibandingkan
dengan belanja pegawai. Sementara, karena lemahnya agenda demokratisasi
(akuntabilitas, transparansi dan partisipasi) dalam pembangunan desa, telah
membuat proyek-proyek pembangunan itu digerogoti oleh praktik-prakti korupsi
pejabat lokal (local capture), sering
tidak tepat sasaran pada rakyat desa yang miskin, melemahkan modal sosial
masyarakat desa, serta membuat erosi kepemilikan lokal terhadap hasil-hasil
pembangunan sehingga sisi keberlanjutan sangat lemah.
0 Komentar untuk "Membuat Desentralisasi, Demokratisasi dan Pembangunan Desa Berjalan Bersama"