Konsep tentang Seksualitas
Esensialism vs Social
Constructionism
Memperbincangkan LGBT tak dapat
dilepaskan dari pembahasan tentang seksualitas
karena hal tersebut yang menyebabkan adanya diskriminasi dan kekerasan yang
dialami oleh kalangan LBGT. Seksualitas yang dimaksud disini memiliki makna
yang luas yaitu sebuah aspek kehidupan
menyeluruh meliputi konsep tentang seks (jenis kelamin), gender, orientasi seksual
dan identitas gender, identitas seksual, erotism, kesenangan, keintiman dan
reproduksi. Seksualitas dialami dan diekspresikan dalam pikiran, fantasi,
hasrat, kepercayaan/nilai-nilai, tingkah laku, kebiasaan, peran dan hubungan.
Namun demikian, tidak semua aspek dalam seksualitas selalu dialami atau
diekspresikan. Seksualitas dipengaruhi oleh interaksi faktor-faktor biologis,
psikologis, sosial, ekonomi, politik, sejarah, agama, dan spiritual (Definisi
WHO dalam Ardhanary Institute dan HIVOS).
Pada dasarnya, terdapat dua pandangan tentang seksualitas yang saling
berseberangan, yaitu antara kelompok yang mendasarkan pemikiran tentang
seksualitas pada aliran esensialism, dan kelompok yang lain pada social
constructionism.
Kelompok esensialism meyakini bahwa jenis kelamin, orientasi seksual, dan
identitas seksual sebagai hal yang bersifat terberi dan natural sehingga tidak
dapat mengalami perubahan. Kelompok ini berpandangan bahwa jenis kelamin hanya
terdiri dari 2 jenis yaitu laki-laki dan perempuan; orientasi seksual hanya
heteroseksual; dan identitas gender harus selaras dengan jenis kelamin
(perempuan-feminin; laki-laki- maskulin) menyebabkan kelompok yang berada di
luar mainstream tersebut dianggap sebagai abnormal.
Sebaliknya, dalam pandangan social
constructionism, bukan hanya gender, namun juga seks/jenis kelamin, orientasi
seksual maupun identitas gender adalah hasil konstruksi sosial. Sebagai sebuah
konstruksi sosial, seksualitas bersifat cair, dan merupakan suatu kontinum
sehingga jenis kelamin tidak hanya terdiri dari laki-laki dan perempuan namun
juga intersex dan transgender/transeksual, orientasi seksual tidak hanya
heteroseksual namun juga homoseksual dan
biseksual. Perbedaan dua sudut pandang
tentang seksualitas tersebut dapat dirinci sebagai berikut :
Esensialisme
|
Social Constructionism
|
|
Seks
|
Laki-laki dan perempuan
|
Laki-laki, perempuan,
interseks, transgender
|
Gender
|
Feminin, maskulin
|
Feminin, maskulin, androgynous, undifferentiated
|
Orientasi Seksual
|
Heteroseksual
|
Heteroseksual, homoseksual, biseksual
|
Pandangan umum yang diterima di
Indonesia adalah pandangan pertama, yang meyakini bahwa seksualitas bersifat
terberi sehingga tidak dapat diubah. Pandangan tersebut mendapatkan legitimasi
dari ajaran agama maupun budaya sehingga kelompok orang yang seksualitasnya
tidak sejalan dengan konsep tersebut (kelompok LGBT) dianggap sebagai abnormal,
mendapatkan perlakuan buruk baik dalam bentuk diskriminasi maupun kekerasan.
Bentuk- bentuk kekerasan yang dialami oleh kelompok LGBT
1. Kekerasan seksual
Kekerasan seksual paling banyak
dialami oleh kelompok LGBT. Penelitian yang dilakukan oleh Ardhanary Institute
dengan metode wawancara menemukan 9 dari 10 orang LBT yang
diwawancarai mengalami kekerasan
seksual baik berupa perkosaan maupun pemaksaan aktivitas seksual yang lain. Pelaku
kekerasan mulai dari keluarga, aparat penegak hukum, dokter, maupun masyarakat
umum.
2. Kekerasan fisik
Kekerasan yang dialami dapat berupa
pemukulan, tamparan, meludahi. Pelaku adalah keluarga, pasangan, keluarga
pasangan.
3. Kekerasan emosional
Biasanya orang LGBT mengalami
penolakan dari keluarga setelah mereka mengaku atau ketahuan sebagai LGBT.
Kekerasan yang dilakukan keluarga dapat berupa ancaman untuk menyembunyikan
orientasi seksualnya, membatasi pergaulan, memaksa untuk ”berobat”, penolakan,
ataupun pengusiran.
Kekerasan emosional yang lain juga
dilakukan oleh media dengan membuat pemberitaan yang mendiskreditkan kalangan
LGBT, misalnya dalam kasus pembunuhan berantai yang dilakukan Ryan.
Tindakan diskriminatif yang
dialami kelompok LGBT
1. Diskriminasi untuk
mendapatkan pekerjaan
Kelompok LGBT mengalami penolakan untuk diterima bekerja sesuai
bidangnya sehingga meskipun ada kelompok LGBT yang capable untuk bekerja sesuai
bidang ilmunya, pada akhirnya mereka bekerja pada bidang yang menerima mereka,
misalnya salon.
2. Diskriminasi
dalam hal akses terhadap keadilan
Kasus-kasus kekerasan yang
dialami oleh kelompok LGBT seringkali diselesaikan di luar pengadilan karena
dianggap aib, memalukan. Hal tersebut menyebabkan korban enggan untuk melapor.
3. Diskriminasi dalam
pemilihan pasangan
Kelompok LGBT tidak mendapatkan haknya untuk memilih
pasangan. Misalnya, banyak yang dipaksa untuk menikah dengan lawan jenisnya
sehingga sepanjang masa pernikahannya korban merasa diperkosa.
Upaya yang Dilakukan Kelompok
LGBT dalam Memperjuangkan Hak-hak LGBT
1.
Internalisasi bahwa keragaman seksualitas manusia (Sexual
Diversity) adalah HAM, karena itu menyuarakan hak-hak LGBT sama pentingnya
dengan menyuarakan hak-hak perempuan.
2.
Melakukan dekonstruksi sosial (destabilised) atas
konsep-konsep seksualitas yang dianggap baku dengan menggunakan kerangka dasar
semua dokumen hak asasi manusia melalui :
·
Perubahan sistim hukum termasuk hukum agama
(reintrepretasi tafsir kitab suci)
·
Counter
discourse atau perebutan wacana dan makna atas issue-issue seksualitas yang
didasarkan atas prinsip kesetaraan dan keadilan
·
Penghapusan
praktek-praktek yang mendiskriminasikan kelompok-kelompok yang dianggap
“abnormal” atau masuk dalam kategori non normative sexuality
·
Sosialisasi
Yogyakarta principles. Yogyakarta Principles adalah suatu tatanan
prinsip-prinsip dalam penerapan Undang-undang
HAM yang terkait dengan orientasi
seksual dan identitas gender. Gambaran singkat tentang isi
prinsip Yogyakarta adalah sbb :
Prinsip 1 : Hak untuk Penikmatan HAM secara
universal
Prinsip 2 : Hak atas Kesetaran dan Non
Diskriminasi
Prinsip 3 : Hak atas Pengakuan di mata Hukum
Prinsip 4 : Hak untuk Hidup
Prinsip 5 : Hak atas Keamanan Seseorang
Prinsip 6 : Hak atas Privasi
Prinsip 7 : Hak atas Kebebasan dari
Kesewenang-wenangan terhadap perampasan
kebebasan
Prinsip 8 : Hak atas Pengadilan yang Adil
Prinsip 9 : Hak untuk Mendapatkan Perlakuan
Manusiawi selama dalam Tahanan
Prinsip 10 : Hak atas Kebebasan dari Siksaan dan
Kekejaman, Perlakuan atau Hukuman
yang
tidak manusiawi atau merendahkan
Prinsip 11 : Hak atas Perlindungan dari Semua
Bentuk Eksploitasi, Penjualan dan
Perdagangan manusia
Prinsip 12 : Hak untuk Bekerja
Prinsip 13 : Hak atas Keamanan Sosial dan Atas
Tindakan Perlindungan Sosial Lainnya
Prinsip 14 : Hak Untuk mendapatkan Standar
Kehidupan yang Layak
Prinsip 15 : Hak atas Perumahan yang layak
Prinsip 16 : Hak Atas Pendidikan
Prinsip 17 : Hak atas Pencapaian Tertinggi Standar
Pendidikan
Prinsip 18 : Perlindungan atas Kekerasan Medis
Prinsip 19 : Hak atas Kebebasan Berpendapat dan
Berekspresi
Prinsip 20 : Hak atas Kebebasan Berkumpul dengan
damai dan Berasosiasi
Prinsip 21 : Hak atas kebebasan Berpikir
Prinsip 22 : Hak atas Kebebasan untuk berpindah
Prinsip 23 : Hak untuk mencari Perlindungan
Prinsip 24 : Hak untuk Menemukan Keluarga
Prinsip 25 : Hak untuk Berpartisipasi dalam
Kehidupan Publik
Prinsip 26 : Hak untuk Berpartisipasi dalam
Kehidupan Budaya
Prinsip 27 : Hak untuk Memajukan HAM
Prinsip 28 : Hak atas Pemulihan dan Ganti Rugi yang
Efektif
Prinsip 29 : Akuntabilitas
Perkembangan upaya penegakan hak-hak LGBT :
1.
Jika ditinjau dari segi jumlah organisasi yang melakukan
upaya penegakan hak-hak LGBT, terjadi peningkatan terutama sejak Reformasi.
Pada awalnya organisasi yang memperjuangkan hak-hak LGBT hanya Gaya Nusantara
yang tersebar di cukup banyak wilayah di Indonesia. Seiring dengan era
reformasi, organisasi sejenis mulai banyak muncul, misalnya Ardhanary Institute (bagian dari KPI),
Perempuan Pelangi, Srikandi Sejati, Persatuan Tomboy Pontianak, Harley.
2.
Dari segi kegiatan, perkembangan dapat dilihat dengan
semakin bervariasinya isu yang diangkat organisasi LGBT. Jika sebelumnya lebih
banyak mengangkat isu yang identik dengan kelompok LGBT, misalnya isu HIV/AIDS
atau kesehatan reproduksi LGBT, saat ini mulai beragam, misalnya isu-isu
perempuan yang lain, bahkan ada yang menggunakan media olahraga sebagai pintu
masuk penyadaran masyarakat tentang hak-hak LGBT. Untuk Ardhanary sendiri, jika
awalnya lebih banyak bergerak di bidang penelitian dan pendidikan isu
seksualitas, saat ini mulai melakukan pendampingan.
3.
Upaya untuk menggandeng kalangan agama sudah mendapatkan
respon positif dari beberapa orang, misalnya Ibu Musdah Mulia. Ibu Musdah Mulia
sudah melakukan reinterpretasi terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang dapat menjadi
rujukan penetapan hukum terhadap kelompok LGBT. Ibu Musdah berpendapat
perkawinan antar pasangan lesbian maupun gay halal untuk dilakukan (http://www.icrp-online.org/wmview.php).
Namun demikian, dasar argumentasi Ibu Musdah yang menganggap bahwa orientasi
seksual LGBT adalah terberi sehingga
harus diperlakukan sama dengan manusia dengan orientasi seksual yang lain
berarti tidak mencakup LGBT yang merupakan pilihan individu dan bukan karena
faktor biologis. Selain itu Ibu
Masruchah dari KPI juga menjadi tempat untuk bertanya tentang tinjauan agama
Islam terhadap LGBT. Sebenarnya dukungan kalangan agama secara individual sudah
cukup banyak, namun belum menjadi sikap institusi agama secara resmi.
4.
Dukungan juga
mulai diperoleh dari kalangan akademisi, misalnya dengan banyaknya kajian
tentang seksualitas dan LGBT dengan mengundang kelompok LGBT untuk ikut
berbicara dalam forum-forum ilmiah meskipun masih sebatas testimoni.
5.
Pada Komnas HAM, kelompok LGBT telah melakukan
sosialisasi terhadap issue mereka meskipun sampai saat ini posisi Komnas HAM
masih sebagai support system dan belum dapat memasukkan isu LGBT dalam program
kegiatannya.
Hambatan terhadap penegakan
hak-hak LGBT
Hambatan terbesar adalah dari agama. Berbagai contoh
muncul di dalam FBI bagaimana dogma agama menjadi batu sandungan yang paling
berat. Penafsiran ajaran agama yang mendiskreditkan kelompok LGBT sangat sulit
untuk diubah sehingga stigma dan perlakuan diskriminatif terhadap LGBT
mendapatkan pembenaran dari masyarakat. Menguatnya fundamentalisme agama
belakangan ini turut berperan dalam menghambat perkembangan perjuangan hak-hak
LGBT. Lebih jauh lagi, tafsir agama yang
tidak berpihak pada kelompok LGBT tersebut mendapatkan pengesahan dari negara
melalui aturan hukum seperti pada UU
Perkawinan yang tidak mengakui perkawinan
sejenis. Hal tersebut
menyebabkan advokasi kebijakan tidak
dapat dilakukan secara langsung oleh kelompok LGBT karena
menghadapi penolakan yang kuat dari kalangan agamawan sehingga tidak
strategis untuk mendesakkan penerimaan terhadap kelompok LGBT secara frontal.
Temuan menarik
Ketidaksetaraan gender juga terjadi
pada pasangan lesbian sebagaimana ketidaksetaraan gender terjadi dalam pasangan
heteroseksual. Misalnya dalam relasi ada yang berperan sebagai butchy
(maskulin) dan berperan sebagai femme (feminin). Lesbian yang berperan sebagai
laki-laki cenderung mengadopsi stereotype dan peran gender yang melekat pada
laki-laki, misalnya dominan, menjadi pencari nafkah, sedangkan untuk femme
sebaliknya.
Definisi-definisi terkait
dengan seksualitas (Ardhanary Institut dan Hivos) :
¨ Seks : fisik, genetik, yaitu lahir dengan alat
kelamin
¨ Orientasi Seksual : kepada jenis kelamin/gender yang mana
seseorang tertarik
¨ Identitas Seksual : bagaimana seseorang mengidentifikasikan
dirinya sehubungan
dengan
orientasi/perilaku seksual mereka
¨ Identitas Gender : bagaimana seseorang mengidentifikasikan
dirinya sebagai laki-laki
atau
perempuan
¨ Gender ekspresi : bagaimana seseorang mengekspresikan
dirinya, maskulin/feminin
¨ Perilaku seksual : cara
seseorang mengekspresikan hubungan seksualnya.
Misalnya :
oral seks, analseks
0 Komentar untuk "Dari Suara Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender (LGBT); Jalan Lain Memahami Hak Minoritas"