I.
Pendahuluan
A.
Latar Belakang Masalah
Kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia yang dulu dikenal dengan nusantara dihuni
oleh ratusan kelompok etnik yang tumbuh dan berkembang dalam suasana penuh
konflik sosial berdarah sejak Indonesia merdeka. Bahkan beberapa sejarawan dan
pengamat sosial-humaniora menyebut bahwa konflik SARA dibangsa Melayu telah
terjadi sebelum era pra kolonial. Konflik SARA menjadi bagian dari kehidupan
masyarakat multi etnis, multi religius, dan multi kultur seperti Indonesia
(Muthalib dkk dalam Qodir, 2008: 131). Di awal masa kemerdekaan konflik sosial
berdarah di Indonesia lebih bersumber pada konflik politik dan ideologi.
Kemudian di akhir abad kedua puluh berganti wajah menjadi konflik identitas
agama dan identitas etnik. Perbedaan agama atau etnik bukan lagi menjadi sumber
kekuatan bangsa, namun saat ini telah menjadi sumber bencana.
Rentetan
konflik di Indonesia makin sering terjadi semenjak krisis moneter disertai
krisis ekonomi dan politik yang berlangsung sejak pertengahan tahun 1997, hal
ini membawa implikasi ganda baik bersifat positif maupun negatif bagi masa
depan Indonesia. Mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 melalui “Jalan
Reformasi Berdarah” telah membawa bangsa Indonesia ke dalam babak baru
kehidupan berbangsa dan bernegara. Euforia politik, ekonomi, dan hukum 2 tahun
1998 telah memberikan kesempatan emas bagi rakyat dan bangsa Indonesia untuk
menata kembali sistem politik, ekonomi, dan hukum ke arah yang lebih sehat,
adil, dan demokratis. Namun, di balik segi positif dari proses demokrasi yang
berlangsung, terselip celah masalah baru yaitu ancaman disintegrasi bangsa.
Fenomena ini tidak dapat dilepaskan dari dilema yang dihadapi oleh negara kesatuan
(unitary state) dalam menyeimbangkan antara kepentingan nasional dan
kepentingan daerah. Kekhawatiran itu tak hanya bersumber dari tuntutan
pemisahan diri sebagian rakyat di beberapa daerah, tapi juga lantaran maraknya
kerusuhan sosial di daerah, seperti yang terjadi di Ketapang (Jakarta), Kupang
(NTT), Ambon (Maluku), Sambas (Kalimantan Barat), konflik agama di Sumbawa
(NTB), konflik antar ormas, konflik sengketa pemilu baik tingkat nasional
maupun tingkat pilkada, konflik sengketa tanah perkebunan, dan konflik
kerusuhan sosial lainnya yang berkembang menjadi pertentangan berbau sentimen
SARA (Harris, 1999: 5).
Kehidupan bermasyarakat di Lampung
mengalami krisis yang amat memilukan menjelang pergantian abad 21, kondisi
tersebut tidak berbeda dengan beberapa daerah yang disebutkan diatas. Berbagai
pihak telah memberi analisis masalah kerusuhan sosial dalam berbagai
perspektif, misalnya analisis yang mengaitkan kerusuhan sebagai bagian dari
rencana investasi usaha pembukaan lahan untuk perkebunan dengan memanfaatkan
dinamika sosial-politik lokal. Konflik horisontal mengalami tahap pengkondisian
sebagai wilayah tidak aman, karena itu menjadi alasan mendasar untuk menggelar
proyek pengamanan besar oleh militer.
Program transmigrasi yang merupakan
program pembangunan pada era Orde Baru menjadi salah satu jalan proses
penyebaran etnik dari suatu daerah ke daerah tertentu. Provinsi Lampung
merupakan salah satu tujuan utama program transmigrasi sejak zaman Belanda sampai dengan zaman Orde
Baru. Secara sosial budaya, Provinsi Lampung mempunyai karakter yang lebih
majemuk dibandingkan dengan daerah lain. Karakter ini terbangun karena adanya
keragaman etnik yang hidup di Lampung. Selain Etnik Lampung, terdapat juga
penduduk pendatang yang berasal dari Etnik Bali, Jawa, Madura, Tionghoa, atau
migrasi lokal dari Sumatera Selatan, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara, serta imigran
dari daerah-daerah lainnya. Verbist dan Pasya (2004: 1) menyatakan bahwa
program transmigrasi yang pertama disusun oleh Pemerintah Belanda dengan
memindahkan penduduk dari Pulau Jawa yang padat (38 juta jiwa pada tahun 1930)
ke Lampung (dengan populasi 300.000 jiwa pada tahun yang sama). Pemerintah
Indonesia melanjutkan program tersebut sampai tahun 1980-an. Pada tahun 1986, pemerintah Provinsi
Lampung mengumumkan bahwa wilayahnya sudah tidak dapat lagi menampung para
transmigran dan untuk pertama kalinya
Lampung mengirimkan 66 kepala keluarga sebagai transmigran ke Provinsi Jambi.
Namun, tertutupnya Provinsi Lampung sebagai wilayah transmigrasi tidak menjadi halangan masuknya
pendatang karena letak wilayahnya yang dekat dengan Pulau Jawa. Sejauh ini,
letak geografis Provinsi Lampung menjadikan provinsi tersebut sebagai pintu
masuk utama Pulau Sumatera bagian selatan. Selama lima puluh tahun terakhir,
wilayah Lampung seluas 33.000 km2 telah mengalami perubahan
pemanfaatan lahan akibat pembangunan. Sementara itu, jumlah penduduk mengalami peningkatan lebih
dari dua puluh kali lipat, dari 376.000 jiwa di tahun 1930 (Benoit,1989: 2)
menjadi lebih dari 7.608.405 juta jiwa di tahun 2010 (BPS Provinsi Lampung,
2010). Menurut Sensus BPS Lampung, berdasarkan kriteria etnik/ bangsa diperoleh
data statistik, Etnik Jawa sebanyak 4.113.731 (61,88 %), Etnik Lampung 792.312
(11,92 %), Etnik Sunda (Banten) 749.566 (11,27 %), Etnik Palembang Semendo
36.292 (3,55%), dan etnik lainnya seperti Bengkulu, Batak, Bugis, Minang,
Tionghoa, Bali, Madura, dan lain-lain
(http://ulunlampung.blogspot.com/2007/01/ulun-lampungmiskin.
html/download.14/01/2013).
Kondisi masyarakat yang begitu beragam memicu terjadinya gesekan
antar kelompok etnik. Provinsi Lampung merupakan daerah dengan keragaman agama,
karakter, budaya, identitas etnik, pola-pola adat, kondisi geografis, rasa, dan
ungkapan bahasa, serta berbagai kategori lainnya. Keragaman agama, identitas
etnik, dan budaya tanpa disadari telah
menciptakan building block yang mengganggu harmoni kohesi dan
interrelasi sosial. Penyebab retaknya mozaik ini belakangan diketahui karena
sistem otoritarian Orde Baru. Orde Baru
tidak merancang kerukunan dan kedamaian antar etnik dan agama dengan basis keragaman (plurality),
melainkan keseragaman (uninformity). Triandis (dalam Sarwono, 2008: 67)
mengatakan bahwa sebagian besar konflik antar golongan yang telah terjadi
diakibatkan oleh kultur subyektif yang berbeda-beda. Adapun unsur-unsur dari
kultural subyektif tersebut, yaitu: kategorisasi (konsep), evaluasi, asosiasi,
struktur kognitif elementer, keyakinan atau percaya, sikap, stereotype,
harapan, norma, ideal, peranan, tugas, dan nilai-nilai.
Kesalahan persepsi kultur subyektif
dalam menyikapi keragaman identitas etnik, budaya, dan agama dalam kehidupan
bermasyarakat di Provinsi Lampung tercermin dalam kasus kerusuhan sosial yang
baru saja terjadi di Kabupaten Lampung Selatan pada 27 Oktober 2012 sampai
dengan 29 Oktober 2012 yang melibatkan Etnik Lampung (etnik pribumi/ mayoritas
beragama Islam) dan Etnik Bali (pendatang/ mayoritas beragama Hindu) dipicu
persoalan sepele yang tidak terselesaikan secara hukum adat istiadat yang berlaku.
Konflik bermula dari peristiwa kecelakaan sepeda motor yang melibatkan pemuda
dari Desa Balinuraga Kecamatan Way Panji (mayoritas Etnik Bali) dan pemudi dari
Desa Agom Kecamatan Kalianda (mayoritas Etnik Lampung). Kedua desa tersebut
masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Lampung Selatan, secara geografis
letak keduanya tidak terlalu berjauhan, jarak kedua desa hanya sekitar lima
kilo meter. Peristiwa kecelakaan lalu lintas tersebut kemudian berkembang menjadi Isu SARA yang tidak hanya
melibatkan kedua desa tersebut, namun melibatkan banyak desa dari kedua etnik
yang ada, Etnik Lampung dan Etnik Bali. Konflik bermula pada tanggal 27 Oktober
2012, kemudian berlanjut pada hari
berikutnya, dan memuncak pada tanggal 29 Oktober 2012. Peristiwa penyerbuan dan
bentrok berdarah oleh ribuan warga Desa Agom serta desa-desa sekitarnya yang
berpenduduk Etnik Lampung terhadap warga Desa Balinuraga (Etnik Bali)
mengakibatkan jatuhnya korban jiwa sebanyak 14 orang tewas, puluhan orang
luka-luka, 166 unit rumah warga di Desa Balinuraga dan Sidoreno dibakar massa,
27 unit rumah mengalami rusak berat, sebelas unit sepeda motor dibakar, dan dua
gedung sekolah juga ikut dibakar massa. Selain itu satu unit mobil Isuzu
Panther milik Dit Shabara Polda Lampung, satu unit mobil Honda CRV, dan Strada
juga ikut dirusak massa, serta ribuan orang dari Desa Balinuraga harus di
evakuasi
(http://dutaonline.com/korban-lampung-14-tewas-bentrok-laindi3daerah/downloa
ad.04/01/2013).
Menurut Prof.Mohtar Mas`oed, pakar
resolusi konflik dari pusat studi keamanan dan perdamaian (PSKP) UGM, konflik
berupa bentrok antar warga di Lampung Selatan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari konflik yang terjadi sebelumnya dan kembali terulang. Konflik
tersebut tidak hanya melibatkan etnik-etnik yang ada di sana, namun memiliki
akar persoalan yang lebih dalam. Beberapa konflik yang terjadi sebelumnya
terkait dengan persoalan transmigrasi, perkebunan inti rakyat, hingga tambak
udang. Konflik ini juga terkait dengan sejarah dan sosiologis yang berhubungan
dengan politik etis di zaman Hindia-Belanda tentang program irigasi, edukasi,
dan transmigrasi. Hal ini menyebabkan terjadinya proses state building dan
akumulasi kapital sehingga memunculkan perubahan demografi. Perubahan itu
menimbulkan gesekan antara warga asli dengan pendatang
(http://ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=5064/download .14/01/2013).
Konflik berdarah di Lampung bukan
merupakan hal baru. Sejak zaman Orde Baru sudah banyak catatan-catatan sejarah
tentang kekerasan yang terjadi di tanah Sang Bumi Ruwa Jurai, seperti
yang terjadi pada tahun 1989 di Dusun Talangsari, Desa Rajabasa Lama, Kota
Administratif Metro, Lampung Tengah yang kemudian lebih dikenal dengan “Tragedi
Talangsari”. Tragedi ini melibatkan rakyat sipil, organisasi radikal, dan
tentara. Kejadian yang memakan korban tewas hingga 185 orang serta ratusan
orang lainnya terluka dan ditahan. Tragedi ini merupakan bentuk arogansi
pemegang tampuk kekuasaan terhadap mayarakat sipil yang berkedok penegakan
hukum terhadap gerakan pengacau keamanan, separatisme, kelompok-kelompok
masyarakat tertentu, dalam upaya meluruskan agama sesuai dengan koridornya,
namun yang terjadi di lapangan justru sebaliknya di mana kekuasaan dan agama
dijadikan sebagai alat politik untuk tujuan tertentu yang justru memakan korban
di pihak sipil (Awwas, 2000: 28).
Selain dipicu oleh perbedaan identitas etnik, budaya, dan sentimen agama,
konflik di Lampung juga sering dipicu oleh faktor ekonomi berupa sengketa lahan
seperti pada kasus Mesuji. Konflik ini berawal dari pengumpulan sertifkat tanah
warga di Desa Sritanjung, Nipah Kuning, dan Kagungan oleh perusahaan PT. Barat
Selatan Makmur Investindo (BSMI) dan
PT.Silva Inhutani pada tahun 1993. Kemudian para petani dijanjikan menjadi
petani plasma. Namun, belakangan perusahaan mengklaim jika tanah itu milik mereka. Warga tidak bisa
lagi bercocok tanam di tanahnya, padahal ratusan warga ketiga desa itu sudah
turun temurun mendiami kawasan tersebut. Mereka hidup mengandalkan buah-buahan
seperti durian, duku, dan tanaman tahunan lainnya. Setelah lahan beralih
kepemilikian, sebagian besar penduduk
desa terjerat kemiskinan dan tidak memiliki sumber penghasilan tetap. Pelanggaran-pelanggaran tersebut kemudian memicu protes
bertahun-tahun, sehingga menyebabkan bentrok antara warga dengan pihak
perusahaan dan aparat, yang ujungnya menimbulkan korban jiwa
(http://www.suarapembaruan.com/home/tragedi-mesuji-pihak
perusahaan-dinilai-picu kekerasan/14499/download10/01/2013).
Politisasi identitas budaya, sentimen agama,
dan sumber daya ekonomi untuk kepentingan kelompok atau individu yang
menjadikan agama dan budaya sebagai legitimasi untuk merebut pengaruh,
kekuasaan, serta penguasaan terhadap sumber-sumber ekonomi. Hubungan antara identitas budaya, sentimen agama, dan sumber
daya ekonomi seringkali mengalami persoalan yang dilematis. Satu sisi agama dan
budaya ingin mewujudkan hak-haknya dalam realitas kehidupan berbangsa dan
bernegara dalam skala lokal, namun di sisi lain negara menuntut lebih
pelaksanaan kewajiban politiknya, ketika negara bukan lagi menjadi sasaran
konflik, konflik cenderung mengarah pada pertentangan antar budaya (etnik) atau
antar umat beragama di mana masing-masing pihak yang bertikai hendak
mengimplementasikan hak-haknya (Thahir, 2006: 10).
Kondisi ini semakin parah ketika
isu-isu mengenai kesenjangan sosial ekonomi mewarnai wacana kebangsaan dan
kenegaraan, terutama ketika kaum pendatang menguasai sentra-sentra ekonomi. Adanya penguasaan akses ekonomi dari salah satu
kelompok atau komunitas etnik serta etos kerja antar kelompok etnik dan budaya
yang lebih dikuasai kelompok pendatang yang lebih agresif dibanding pribumi
berdampak pada munculnya kecemburuan sosial ekonomi dari pihak pribumi.
Kelompok yang disebutkan terakhir ini menjadi buruh di daerahnya sendiri dan menjadi budak di lingkungan istananya sendiri.
Gejala-gejala konflik serta kekerasan
muncul ketika individu, kelompok, masing-masing mempertahankan ego dan
kekuasaannya sehingga tepat dengan apa yang dikemukakan oleh Lorenz (1966: 75)
dan beberapa penulis lain seperti Robert Andrey (1961: 78) dan Eibl-Eibesfeldt
(1972: 80) (dalam Poerwandari, 2004: 86), sebagai sesuatu yang diberi secara
alamiah, innate pada manusia, seperti juga inheren pada
hewan-hewan, agresi di dalam peperangan, perkelahian antar pribadi, dan
perilaku-perilaku sadistis-destruktif telah terprogram secara hilogenetis.
Agresi berfungsi positif bagi kehidupan
komunal manusia. Manusia mempelajari bahwa yang paling berbahaya di lingkungannya
adalah justru sesama manusia sendiri, sehingga munculah kompetisi dan kebencian
antar kelompok yang kesemuanya menjadi faktor utama seleksi alam, jadi di sini
ada nilai-nilai survival dari nilai-nilai kepahlawanan. Kelompok yang
mempunyai ikatan kuat akan menjadi kelompok yang bertahan paling lama. Masih
menurut penjelasan Lorenz, apa yang disebutnya dengan “entasiasme militant”,
yakni kumpulan manusia dapat menjadi sangat agresif dan kehilangan
rasionalitasnya, jika kehilangan kehebatan-kehebatan moral.
Upaya moral dan rasional untuk menghindari konflik
tidak efektif dalam mengontrol perilaku agresif manusia. Menurut Lorenz (dalam
Poerwandari, 2004: 78), upaya moral yang perlu dilakukan dalam menghindari
konflik adalah menemukan cara-cara lain untuk mengeluarkan “secara tepat”
naluri tersebut, yaitu dengan berfikir rasional. Jalan lain adalah sublimasi,
meyakinkan agresi melalui cara-cara yang “lebih berbudaya” dan tidak merugikan.
Ia juga mengatakan bahwa humor dapat mempererat persahabatan dan mengurangi
tekanan tanpa menghilangkan kendali rasional. Psikologi sosial selalu tertarik
untuk mengetahui bagaimana individu berfikir tentang orang lain dan tentang
situasi sosial. Kenyataan ini merupakan upaya untuk memahami orang lain yang
berperan penting dalam perilaku sosial dan pola pemikiran sosial. Penekanannya
pada aspek kehidupan sebagai kerangka mental yang berpusat pada tema-tema
spesifik yang membantu mengorganisasi informasi sosial. Adams (dalam Rivera,
2004: 541) menyatakan bahwa manusia hidup dalam dua kultur, yaitu kultur perang
dan kultur damai. Kultur damai yang ada dalam semua masyarakat, baik
keyakinan-keyakinan, nilai-nilai, perilaku-perilaku, pengaturan lembaga yang
mendukung kepedulian mutual, apresiasi terhadap perbedaan, dan pembagian
sumber-sumber daya alam secara setara untuk kesejahteraan bersama.
Berdasarkan paparan di atas, kekerasan
antar etnik di Lampung Selatan yang terjadi pada tanggal 27 Oktober 2012 sampai
dengan 29 Oktober 2012 bukanlah kejadian pertama namun merupakan rangkaian dari
konflik-konflik sebelumnya. Dalam tiga tahun terakhir, yaitu periode Januari
2010 sampai Desember 2012 tercatat lima kali kerusuhan besar berlangsung di
daerah ini yang melibatkan etnik-etnik yang ada di dalamnya. Konflik tersebut
yaitu: 1) pembakaran Pasar Probolinggo di Lampung Timur oleh Etnik Bali pada
tahun 2010, 2) bentrokan antara Etnik Jawa dan Bali melawan Etnik Lampung pada
29 Desember 2010 di Lampung Tengah yang berawal dari pencurian ayam, 3)
bentrokan antara Etnik Jawa melawan Etnik Lampung pada September 2011 di
Sidomulyo Lampung Selatan yang dikarenakan sengketa pengelolaan lahan parkir,
4) bentrokan antara Etnik Bali melawan Etnik Lampung pada Januari 2012 disusul
dengan bentrokan kedua antara Etnik Bali melawan Etnik Lampung di Sidomulyo
Lampung Selatan pada Oktober 2012, 5) bentrokan antara Etnik Jawa melawan Etnik
Lampung di Lampung Tengah pada November 2012. Selain konflik besar tersebut, di
Lampung juga sering terjadi konflik-konflik kecil antar etnik, namun biasanya
masih dapat diredam oleh tokoh-tokoh yang ada, sehingga tidak membesar
(http://www.lintasberita.web.id/perang-etnik-di-lampung-sebuah-dendam-lama/download.20/01/2013).
Konflik di Way Panji Lampung Selatan
antara Etnik Bali dan Etnik Lampung pada 27 Oktober sampai 29 Oktober 2012
tercatat menimbulkan dampak kerugian paling besar dan menyita perhatian
berskala nasional dari berbagai konflik-konflik sosial yang terjadi di Provinsi
Lampung selama tiga tahun terakhir. Bahkan Lembaga Survei Indonesia (LSI)
menetapkan konflik antara Etnik Bali dan Etnik Lampung di Way Panji Lampung
Selatan kedalam lima besar bentrokan etnik terparah dari 2.398 kekerasan di
Indonesia pasca reformasi. Penelitian ini didasari oleh lima variabel
penilaian, yaitu: 1) jumlah korban, 2) lama konflik, 3) luas konflik, 4) kerugian
material, 5) frekuensi pemberitaan. Masih dikutip dari harian online
merdeka.com, skor lima besar bentrokan etnik terparah, pertama: di daerah
Maluku, konflik Muslim versus Kristen, kedua: di daerah Sampit, Dayak versus
Madura, ketiga: di Jakarta, kekerasan massal atas Etnik China Mei 98, keempat:
Transito Mataram Muslim versus Ahmadiyah, kelima: Lampung Selatan, Etnik Bali
melawan Etnik Lampung,". Hal itu dipaparkan oleh Direktur LSI Novriantoni
Kahar dalam refleksi akhir tahun yang bertemakan “Dicari capres 2014 yang
melindungi keberagaman” di kantor LSI, Jakarta
(http://m.merdeka.com/peristiwa/5-kasus-kekerasan-horisontal-terburuk-versi-lsi.htmldownload24/01/2013).
Konflik di Way Panji, memaksa
pemerintah pusat melalui Mentri Dalam Negeri, Menkokesra, Menteri Sosial,
Kapolri, Panglima TNI, Gubernur Lampung, Gubernur Bali, Bupati Lampung Selatan
campur tangan dan terjun langsung ke lapangan untuk meredam konflik. Pada
prinsipnya lebih baik mencegah daripada harus menanggulangi konflik. Kekuatan lokal
untuk mencegah dan menangani konflik,
serta kesadaran kritis masyarakat tentang sumber-sumber konflik dan faktor
pemicunya harus terus ditingkatkan. Menggantungkan diri kepada inisiatif
pemerintah pusat untuk dapat segera menyelesaikan konflik bukanlah solusi terbaik. Menurut Mahfud (2011:
139) perdamaian hanya akan diperoleh jika masing-masing etnik yang ada memiliki
kemauan (political will) untuk memperkaya simbol-simbol kesamaan yang
dibayangkan, memahami, dan mengerti kultur subyektif antar kelompok etnik, baik
sebagai komunitas biologis maupun komunitas kultur. Kesamaan sebagai manusia,
kesamaan sebagai anak bangsa, kesamaan cinta terhadap perdamaian, dan
lain-lain. Sejalan dengan Mahfud, Benedict Anderson (dalam Mahfud, 2011: 139)
menyebutnya dengan istilah imagined community, yaitu satu upaya di mana
masing-masing kelompok etnik secara legowo merevitalisasi budaya
etniknya yang mampu menyerap nilai-nilai eksternal universal, seperti
demokrasi, perdamaian, kontekstual, dengan kondisi struktur sosial, ekonomi,
politik, dan budaya masyarakat Lampung, baik Etnik Lampung maupun Etnik Bali.
Konflik dapat dicegah dengan menerapkan
integrasi sosial yang ditentukan dengan pengetahuan dan sikap sekelompok etnik
satu terhadap yang lain. Dalam konteks rumitnya konflik kekerasan SARA, maka
negara sudah seharusnya memberikan ruang yang lebih memadai untuk terjadinya
proses dialektika antar kelompok etnik di masyarakat, sehingga antara satu
komunitas dengan komunitas lainnya dapat saling menghargai, memahami, dan
bekerja sama. Tanpa ruang komunikasi memadai untuk seluruh elemen masyarakat,
yang terjadi adalah munculnya kekuatan-kekuatan baru yang akan menumbuhkan
konflik kekerasan di masa yang akan datang. Negara harus bekerja sama dengan
seluruh elemen masyarakat untuk menjadikan Indonesia menjadi negara yang damai
dan agama menjadi rahmat bagi semua, bukan hanya kelompoknya sendiri (Qodir,
2008: 137).
Berdasarkan penjelasan-penjelasan
diatas, maka dirasa penting untuk menelusuri lebih dalam mengenai fenomena konflik
yang terjadi di Lampung Selatan.
Penelitian mengenai akar konflik yang terjadi di Lampung Selatan diharapkan
menjadi pondasi untuk menghasilkan solusi yang tepat dalam menyelesaikan konflik yang
telah terjadi secara utuh berbasis data dan fakta dilapangan. Penelitian ini
juga diharapkan dapat menjadi batu pijakan
dalam menyelesaikan konflik serupa bila terulang kembali dikemudian hari.
B.
Rumusan Masalah
Rumusan
masalah penelitian ini sebagai berikut :
1.
Apa
faktor-faktor yang memicu terjadinya konflik kerusuhan antar etnik di Lampung Selatan?
2.
Bagaimana
kronologis terjadinya konflik kerusuhan antara Etnik Bali dan Etnik Lampung
pada tanggal 27 sampai dengan 29 Oktober 2012?
3.
Bagaimana
kondisi masyarakat kedua etnik pasca konflik kerusuhan antar etnik di Lampung
Selatan mereda?
C.
Tujuan
Tulisan
ini bertujuan untuk menjawab permasalahan-permasalahan ini, yaitu:
1.
Mengetahui dan memahami faktor-faktor yang
memicu terjadinya konflik kerusuhan antar etnik di Lampung Selatan?
2.
Mengetahui dan memahami proses terjadinya
konflik kerusuhan antara Etnik Bali dan Etnik Lampung pada tanggal 27 sampai
dengan 29 Oktober 2012?
3.
Mengetahui perubahan kondisi masyarakat kedua
etnik pasca konflik kerusuhan antara kedua etnik mereda?
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A.
TEORI KONFLIK MENURUT
LEWIS A. COSER
Teori konflik
adalah teori yang
memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian
nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang
menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula. Teori ini didasarkan pada pemilikan sarana-sarana
produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat. Konflik juga
memiliki kaitan yang erat dengan struktur dan juga konsensus.
Latar
belakang munculnya pemikiran Coser tentang fungsi konflik sosial dapat dijelaskan
dengan melihat kondisi intelektual, sosial dan politik pada saat itu. Kondisi
intelektual adalah respon Coser atas dominasi pemikiran fungsionalisme yang
merupakan orientasi teoritis dominan dalam sosiologi Amerika pada pertengahan
tahun 1950 .
Coser
memulai pendekatannya dengan suatu kecaman terhadap tekanan pada
nilai atau konsensus normatif, ketaruran dan keselarasan. Dia mengemukakan
bahwa proses konflik dipandang dan diperlakukan sebagai sesuatu yang
mengacaukan atau disfungsional terhadap keseimbangan sistem secara keseluruhan.
Padahal dalam pandangan Coser konflik tidak serta-merta merusakkan, berkonotasi
disfungsional, disintegrasi ataupun patologis untuk sistem dimana konflik itu
terjadi melainkan bahwa konflik itu dapat mempunyai konsekuensi-konsekuensi
positif untuk menguntungkan sistem itu.
Adapun
kondisi sosial politik pada saat Coser memunculkan teori fungsi
konflik sosial ini adalah masih kuatnya pengaruh
Anti-Semitisme atau prasangka rasialisme, perang antar bangsa yang sering
merangsang nasionalisme dan semangat patriotisme yang tinggi, pengurangan
kebebasan dari orang Amerika-Jepang di Amerika Serikat dan berbagai
konflik-konflik lainnya yang ikut manjadi kajian analisis Coser khususnya
konflik antar kelompok dan solidaritas kelompok dalam. Coser tidak ragu-ragu
untuk menulis kritis tentang politik dan keadaan moral masyarakat. Sebagai
reaksi terhadap intoleransi dari McCarthy pada 1950-an, ia dan teman Irving
Howe menciptakan anti kemapanan radikal lewat jurnal Dissent, yang diterbitkan
secara berkala dalam publikasi jurnal.
1.
Konflik dan
Solidaritas
Semula
Lewis A. Coser menitikberatkan
perhatiannya pada pendekatan fungsionalisme
struktural dan mengabaikan
konflik. Menurut pendapatnya bahwa sebenarnya struktur-struktur itu merupakan
hasil kesepakatan, akan tetapi di sisi lain ia juga menyatakan adanya
proses-proses yang tidak merupakan kesepakatan, yaitu yang berupa konflik.
Lewis A. Coser ingin membangun suatu
teori yang didasarkan pada pemikiran George Simmel. Menurut pendapatnya
dinyatakan bahwa konflik adalah perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan yang
berkenaan dengan status, kuasa dan sumber-sumber kekayaan yang persediaannya
tidak mencukupi. Konflik dapat terjadi antarindividu, antarkelompok dan
antarindividu dengan kelompok. Baginya konflik dengan luar (out group) dapat
menyebabkan mantapnya batas-batas struktural, akan tetapi di lain pihak konflik
dengan luar (out group) akan dapat memperkuat integrasi dalam kelompok yang
bersangkutan.
Konflik
antara suatu kelompok dengan kelompok lain dapat menyebabkan solidaritas
anggota kelompok dan integrasi meningkat, dan berusaha agar anggota-anggota
jangan sampai pecah. Akan tetapi, tidaklah demikian halnya apabila suatu
kelompok tidak lagi merasa terancam oleh kelompok lain maka solidaritas
kelompok akan mengendor, dan gejala kemungkinan adanya perbedaan dalam kelompok
akan tampak. Di sisi lain, apabila suatu kelompok selalu mendapat ancaman dari
kelompok lain maka dapat menyebabkan tumbuh dan meningkatnya solidaritas
anggota-anggota kelompok.
2.
Konflik dan
Solidaritas Kelompok
Menurut
Lewis A. Coser dinyatakan bahwa konflik internal menguntungkan kelompok secara
positif. la menyadari bahwa dalam relasi-relasi sosial terkandung antagonisme,
ketegangan atau perasaan-perasaan negatif termasuk untuk relasi-relasi kelompok
dalam, (in group) yang di dalamnya terkandung relasi-relasi intim yang lebih
bersifat parsial. Perlu diketahui bahwa semakin dekat hubungan akan semakin
sulit rasa permusuhan itu diungkapkan. Akan tetapi semakin lama perasaan
ditekan maka mengungkapkannya untuk mempertahankan hubungan itu sendiri.
Mengapa demikian karena dalam suatu hubungan yang intim keseluruhan kepribadian
sangat boleh jadi terlihat sehingga pada saat konflik meledak, mungkin akan
sangat keras.
Konflik
akan senantiasa ada sejauh masyarakat itu masih mempunyai dinamikanya. Adapun
yang menyebabkan timbulnya konflik, yaitu karena adanya perbedaan-perbedaan,
apakah itu perbedaan kemampuan, tujuan, kepentingan, paham, nilai, dan norma.
Di samping itu, konflik juga akan terjadi apabila para anggota kelompok dalam
(in group) terdapat perbedaan. Akan tetapi, tidak demikian halnya apabila para
anggota kelompok dalam (in group) mempunyai kesamaan-kesamaan.
Perbedaan-perbedaan
antara para anggota kelompok dalam (in group) tersebut dapat pula disebabkan
oleh adanya perbedaan pengertian mengenai konflik karena konflik itu bersifat
negatif dan merusak integrasi. Akan tetapi, ada pula pengertian dari anggota
kelompok dalam (in group) bahwa karena adanya perbedaan-perbedaan kepentingan
maka konflik akan tetap ada. Perlu diketahui bahwa suatu kelompok yang sering
terlibat dalam suatu konflik terbuka, hal tersebut sesungguhnya memiliki
solidaritas yang lebih besar jika dibandingkan dengan kelompok yang tidak
terlibat konflik sama sekali.
3.
Konsekuensi Konflik
Konflik
merupakan suatu fenomena kemasyarakatan yang senantiasa ada dalam kehidupan
bersama. Sebenarnya konflik tidak usah dilenyapkan, akan tetapi perlu
dikendalikan konflik akan senantiasa ada di masyarakat, hal tersebut karena
dalam masyarakat itu terdapat otoritas. Hal tersebut dikandung maksud bahwa
apabila di suatu pihak bertambah otoritasnya maka di lain pihak akan berkurang
otoritasnya. Selain itu juga karena adanya perbedaan kepentingan antara
kelompok satu dengan kelompok yang lain.
Konflik
dapat dikendalikan apabila kelompok yang terlibat dalam konflik dapat menyadari
adanya konflik, dan perlu dilaksanakannya prinsip-prinsip keadilan. Di samping
itu juga harus terorganisasi secara baik terutama yang menyangkut semua
kekuatan sosial yang bertentangan. Dalam hal ini, apabila upaya pengendalian
konflik itu tidak dilakukan maka konflik yang tertekan yang tidak tampak di
permukaan, dapat meledak sewaktu-waktu dan merupakan tindakan kekerasan.
Konflik yang tertekan dapat menyebabkan putusnya hubungan, dan apabila
emosionalnya meninggi maka putusnya hubungan tersebut dapat meledak secara
tiba-tiba. Berkenaan dengan hal tersebut di atas maka perlu dibentuk saluran
alternatif sehingga rasa dan sikap pertentangan dapat dikemukakan dengan tidak
merusak solidaritas.
III. Pembahasan
Masyarakat
Etnik Bali (Balinuraga) dan masyarakat Etnik Lampung (Agom) yang menjadi pelaku
sekaligus korban konflik diliputi kebingungan, perasaan dilematis, sekaligus
kemarahan selama konflik berlangsung. Mereka menganggap konflik merupakan hal
yang biasa, namun pengalaman-pengalaman dari konflik yang sebelumnya terjadi
belum memberikan pelajaran yang berarti untuk semua pihak yang terlibat.
Konflik yang berulang-ulang terlihat sepertiarena balas dendam antara
etnik-etnik yang terlibat. Penyelesaian masalah dengan cara kekerasan, seolah
olah menjadi sebuah keharusan.
Permasalahan
yang menjadi pemicu konflik tidak pernah jauh dari permasalahan sepele, pelaku
tidak lain dan tidak bukan adalah remaja atau pemuda. Permasalahan yang
sebenarnya jika diselesaikan dengan kepala dingin dan melalui proses musyawarah
dan mufakat seharusnya mampu diredam tanpa harus dengan jalan kekerasan ketika
semua mampu menahan ego masing-masing karena permasalahan tidak menyangkut hal
yang prinsipil. Pengalaman-pengalaman konflik sebelumnya dapat dikatakan sebagai
penghambat proses mediasi ketika ada permasalahan yang muncul kepermukaan
antara etnik yang berkonflik. Pikiran-pikiran negatif seputar kegagalan mediasi
dan negoisasi pada konflik-konflik terdahulu menjadikan masyarakat memilih
jalan singkat dalam menyelesaikan masalah, yaitu dengan jalan kekerasan atau
berperang.
Konflik
yang terjadi di Lampung Selatan sejatinya merupakan catatan hitam dalam
masyarakat Etnik Lampung. Konflik tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur
kearifan lokal masyarakat Lampung. Masyarakat Lampung sesungguhnya dikenal
sebagai masyarakat yang sangat toleransi dengan masyarakat pendatang. Hal ini
sesuai dengan prinsip falsafah hidup yang dianut masyarakatnya dalam konteks
hidup berdampingan dengan orang lain, yaitu palsafah hidup nemui nyimah (terbuka
dan menerima tamu dengan baik). Falsafah ini sudah mampu menjelaskan bagaimana
sifat Etnik Lampung terhadap etnik lainnya, inilah yang menyebabkan tanah
Lampung memiliki keragaman etnik yang luar biasa dan boleh dikatakan bahwa
Provinsi Lampung adalah salah satu daerah yang menjadiminatur Negara Republik
Indonesia dimana penduduknya 80 persen terdiri dari etnik pendatang dari
berbagai suku yang ada di Indonesia.
Pendapat
diatas dapat dibuktikan dari awal sejarah keberadaan Etnik Bali di Lampung
Selatan. Kedatangan Etnik Bali pertama kali di Lampung Selatan, yaitu pada
tahun 1963. Menurut Intan Mas Jahidin (Tokoh Lampung) yang menjabat sebagai
Kepala Nagari Kalianda (sekarang Bupati), ketika itu datang lima orang warga
dari Pulau Bali ke kediaman Intan Mas Jahidin. Mereka datang dengan tujuan
untuk meminta bantuannya agar diperbolehkan tinggal dan melanjutkan hidup baru
mereka di Lampung Selatan, dikarenakan rumah mereka hancur dan sudah tidak
memiliki apa-apa di Pulau Bali. Kedatangan mereka disambut dengan baik oleh
Intan Mas Jahidin, beliau langsung mengiakan dan memperbolehkan mereka tinggal
di Lampung Selatan. Intan Mas Jahidin kemudian memerintahkan mereka kembali ke
Pulau Bali untuk membawa serta keluarga mereka ke Lampung Selatan.
Ketika
mereka kembali ke Lampung Selatan, mereka membawa lima belas kepala keluarga
lainnya. Kemudian Intan Mas Jahidin memberikan mereka tanah masing-masing dua
hektar untuk setiap kepala keluaraga. Di tanah itu mereka mendirikan rumah dan
bertani. Selama empat tahun sisa kepemimpinan Intan Mas, setidaknya ada lima
belas ribu hektar tanah marga (tanah adat) yang diberikan kepada sekitar tujuh
ribu kepala keluarga Etnik Bali. Mereka dibagi menjadi beberapa kelompok sesuai
dengan asalnya di Pulau Bali. Di Lampung Selatan mereka kemudian mendirikan
perkampungan Balinuraga, Baliagung, dan Balinapal. Ada pula yang kemudian
bergabung dengan warga suku lainnya, seperti di Desa Sidoreno (bersama Etnik
Jawa), Palas, dan Sidomakmur. Di awal kedatangannya mereka hidup harmonis
dengan Etnik Lampung. Penduduk asli (Etnik Lampung) belajar menanam padi dari
Etnik Bali, sementara para pendatang (Etnik Bali) belajar berkebun dari Etnik
Lampung. Orang Lampung juga merelakan tanah marga miliknya diberikan kepada
para pendatang.
Kehidupan
Etnik Lampung tidak hanya lekat dengan falsafah hidup nemui nyimah atau
terbuka dan menerima tamu dengan baik, namun juga diwarnai pula dengan prinsip
hidup yang melekat dan tidak dapat dipisahkan dari Etnik Lampung, yaitu prinsip
hidup piil pesenggiri. Piil sendiri memiliki makna sikap atau
perilaku, sedangkan pesenggiri memiliki makna bermoral tinggi, berjiwa
besar, tahu diri, tahu hak dan kewajiban. Piil pesenggiri memiliki makna
sebagai sumber motivasi agar setiap orang dinamis dalam usaha memperjuangkan
nilai-nilai positif, hidup terhormat, dan dihargai di tengah-tengah kehidupan
masyarakat. Sebagai konsekuensi untuk memperjuangkan dan mempertahankan
kehormatan dalam kehidupan bermasyarakat, maka masyarakat Lampung berkewajiban
untuk mengendalikan perilaku dan menjaga nama baiknya agar terhindar dari sikap
dan perbuatan yang tidak terpuji. Piil pesenggiri merupakan lambang
kehormatan yang harus dipertahankan dan dijiwai oleh setiap Etnik Lampung.
Upaya mempertahankan prinsif hidup piil pesenggiri yang telah ditanamkan
sejak lahir dalam diri putra-putri Etnik Lampung ini sering dijadikan alasan
Etnik Lampung melakukan perlawanan ketika mereka merasa harga dirinya
terganggu.
Dari
dua orang responden yang terlibat dalam proses pengambilan data diperoleh hasil
sebagai berikut: Pertama, akar penyebab konflik yang terjadi antara
Etnik Bali (Balinuraga) dengan Etnik Lampung (Agom) dipengaruhi oleh empat
aspek yang saling berkaitan satu sama lainnya, yaitu faktor inti atau penyebab
dasar konflik, faktor pemicu konflik, faktor yang memobilisasi massa, dan
faktor yang memperburuk konflik. Kedua, dinamika psikologis korban
konflik menyangkut empat aspek, yaitu pandangan terhadap konflik yang terjadi,
pengalaman traumatik yang dialami korban konflik, dampak dari trauma yang
dialami saat konflik terjadi, dan upaya korban menghilangkan trauma dari
konflik. Ketiga, perubahan sikap pasca terjadinya konflik, harapan dan
keinginan pasca perjanjian damai, dan motivasi integrasi.
Fakta-fakta yang ditemukan
menyangkut Akar Penyebab Konflik, adalah sebagai berikut:
1.
Faktor penyebab utama tejadinya konflik antara
Etnik Bali (Balinuraga) dengan Etnik Lampung (Agom) disebabkan oleh perilaku
warga Desa Balinuraga dalam hidup bermasyarakat yang dianggap menyinggung perasaan
dan tidak sesuai dengan adat istiadat etnik pribumi (Etnik Lampung).
2.
Peristiwa yang dianggap memicu konflik antara
etnik Bali (Balinuraga) dengan Etnik Lampung (Agom) adalah peristiwa kecelakaan
sepeda motor yang melibatkan pemuda dari Etnik Bali (Balinuraga) dengan gadis
dari Etnik Lampung (Desa Agom dan Desa Negeri Pandan) yang diwarnai dengan
pelecehan seksual terhadap korban. Pelecehan seksual tersebut menimbulkan
kemarahan pada Etnik Lampung.
3.
Faktor yang memobilisasi massa sehingga terlibat
dalam konflik, yaitu:
a.
Dendam dari konflik-konflik sebelumnya yang
melibatkan Etnik Balinuraga dengan desa-desa mayoritas Etnik Lampung dan
sekitar Desa Balinuraga.
b.
Masalah ekonomi, yaitu perasaan sakit hati dari
Etnik Lampung, karena banyak tanah penduduk milik pribumi yang beralih tangan
kepada warga Desa Balinuraga melalui jerat hutang.
c.
Penyelesaian konflik-konflik terdahulu yang
tidak pernah tuntas menyentuh sampai akar permasalahannya. Penyelesaian tampak
hanya terselesaikan di permukaan saja dan di tataran elit tokoh kedua etnik,
namun tidak pernah menyentuh ke masyarakat ditataran lapangan yang langsung
bersentuhan dengan konflik, menjadi pelaku konflik, serta turut menjadi korban
yang dirugikan dari konflik yang ada.
d.
Pelanggaran atas perdamaian yang telah
disepakati, serta belum ada penerapan sanksi yang tegas terhadap pihak-pihak
yang melanggar, mengakibatkan konflik terulang kembali
e.
Faktor yang memperburuk konflik antara Etnik
Bali (Balinuraga) dengan Etnik Lampung (Agom), pada konflik kerusuhan yang
terjadi tanggal 27 Oktober 2012 sampai dengan 29 Oktober 2012, yaitu:
f.
Proses mediasi atau perundingan damai terhadap
penyelesaian masalah kasus kecelakaan yang melibatkan pemuda-pemudi dari kedua
etnik yang tidak menemukan kesepakatan damai.
g.
Jatuhnya tiga korban meninggal dunia di pihak
Etnik Lampung, pada hari Minggu, tanggal 28 Oktober 2012 memicu kemarahan yang
lebih besar di pihak Etnik Lampung.
Fakta-fakta yang
ditemukan mengenai dinamika psikologis dan trauma akibat konflik adalah sebagai
berikut :
1.
Menyangkut pandangan terhadap konflik yang
terjadi, kedua narasumber dari penelitian ini baik dari pihak Etnik Bali
(Balinuraga) maupun dari Etnik Lampung (Agom) pada dasarnya tidak menginginkan
konflik terjadi di antara kedua etnik yang hidup bertetangga. Konflik hanya
menimbulkan dampak kerugian di kedua belah pihak.
2.
Pengalaman trauma yang dialami baik dipihak
Etnik Bali (Balinuraga) maupun Etnik Lampung pada prinsifnya sama, menyangkut
peristiwa kekerasan yang dilihat, didengar, dan dirasakan saat konflik terjadi.
Namun yang membedakan adalah trauma yang dialami Etnik Bali (Balinuraga) lebih
besar, dikarenakan masyarakat Balinuraga berada pada posisi yang kalah dan
menanggung kerugian paling besar dalam konflik yang terjadi pada tanggal 27
Oktober 2012 sampai dengan 29 Oktober 2012.
3.
Dampak trauma yang dialami pasca konflik
mempengaruhi kedua etnik untuk beberapa saat dalam kehidupan sehari-hari.
Proses pemulihan dari konflik yang berlangsung, memakan waktu cukup panjang
dikarenakan mengangkut aspek psikologis. Hal ini yang membuat kehidupan
sehari-hari kedua etnik tidak langsung kembali berjalan normal di saat konflik
mereda.
4.
Upaya korban pulih dari konflik, kedua
narasumber yang mewakili kedua etnik yang berkonflik, menganggap bahwa segala
bentuk bantuan yang diberikan oleh pemerintah dan relawan-relawan disaat
konflik baru mereda dianggap cukup membantu mereka untuk sejenak melupakan
kesedihan dari konflik yang terjadi. Namun, di saat segala jenis bantuan sudah
mulai tidak ada, dorongan semangat, motivasi, dan hiburan yang diberikan oleh
keluarga, saudara, dan sahabat dianggap sangat membantu mereka untuk pulih dari
konflik. Kedua narasumber juga mengungkapkan hal yang sama, bahwa dengan lebih
mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama yang dianut,
merupakan kunci untuk mereka bisa bangkit dan kembali hidup normal seperti
semula.
fakta-fakta
yang ditemukan mengenai kondisi perubahan perilaku yang positif pasca konflik,
harapan-harapan dari konflik yang terjadi, dan motivasi integrasi dalam
kehidupan sehari-hari, yaitu sebagai berikut:
1.
Fakta mengenai kondisi perubahan perilaku yang
jauh lebih positif pasca konflik, yaitu perubahan tersebut terutama dialami dan
dirasakan pada pihak Etnik Balinuraga. Konflik telah menyadarkan mereka atas
kekeliruan yang telah dilakukan selama ini. Dimana kondisi pemuda jauh lebih
baik, mereka cenderung lebih sopan, ugal-ugalan dalam berkendaraan
sangat berkurang, dan jauh lebih religius dibanding sebelum kejadian. Sedangkan
untuk kondisi secara umum yang terlihat diantara keduanya, tampak kedua etnik
sama-sama berupaya saling menjaga kondisi ketertiban umum yang telah terbangun.
Kedua etnik lebih berhati-hati dalam mencegah munculnya percikan-percikan
permasalah yang dapat memicu timbulnya konflik dengan saling mawas diri dan
waspada terhadap kelompoknya masing-masing dengan melakukan kontrol yang sangat
ketat terhadap perilaku pemuda dari kedua etnik yang ada oleh tokoh masyarakat
serta orang tua masing-masing.
2.
Fakta mengenai harapan pasca konflik terjadi,
Kedua narasumber secara garis besar sama-sama memaparkan bahwa mereka
menginginkan kondisi yang jauh lebih aman, nyaman, dan tentram dengan saling
mengedepankan toleransi terhadap perbedaan-perbedaan yang ada di antara kedua
etnik. Mereka ingin dapat hidup berdampingan secara normal dan dapat bekerja
sama dalam segala aspek kehidupan untuk mewujudkan masyarakat Lampung Selatan
yang lebih maju dan lebih baik dalam kerangka keragaman etnik dan budaya
didalamnya.
3.
Fakta-fakta yang ada memunculkan kesimpulan
bahwa motivasi integrasi dari kedua etnik yang ada, yaitu Etnik Bali
(Balinuraga) maupun Etnik Lampung motivasi integrasi masihlah sangatlah besar.
Sehingga peluang untuk terciptanya kehidupan harmonis dan selaras merupakan
sebuah keniscayaan yang seharusnya diperjuangkan.
Hasil
dari penelitian ini, memunculkan fakta-fakta lapangan yang hampir serupa dengan
kesimpulan penelitian Praswati C.Y yang dimuat dalam Jurnal Psikologi tahun
2004 yang berjudul Pertikaian Kelompok Etnik di Kalimantan Barat: Tinjauan
Berdasarkan Teori Identitas Sosial yang menyimpulkan bahwa kondisi ekonomi, self-esteem,
dan etnosentrisme Etnik Orang Dayak dimana perkembangan perekonomian di
Kalimantan Barat, orang Madura dan orang Jawasebagai pendatang mengalami
perkembangan perekonomian yang cukup pesat. Dalam interaksi antar kelompok
kesenjangan ekonomi ini jelas terlihat. Hal ini membuat orang Dayak cukup sulit
untuk menyimpulkan perbandingan yang positif dengan kelompok lainnya. Secara
obyektif, dalam banyak hal kesejahteraan mereka jelas kurang berkembang
dibandingkan lainnya, secara teoritis self-esteem mereka terusik.
Berdasarkan
teori identitas sosial, mereka menjadi merasa perlu meninggikan kelompoknya
dalam upaya untuk mendapatkan perbandingan sosial yang lebih menyenangkan.
Proses ini melahirkan fenomena etnosentrisme pada orang Dayak. Pada
kondisi ini, mereka akan melihat kelompoknya cenderung lebih superior dan
melihat kelompok lain secara stereotyping, penuh bias dan inferior.
Kondisi ini membuat rentan untuk terjadinya pertikaian.
Sejalan
dengan itu, penelitian ini juga mengungkap fakta yang hampir serupa, dimana
kesenjangan sosial, self-esteem, stereotyping, dan etnosentrisme
pada Etnik Lampung turut memicu terjadinya konflik. Pada konflik antara
Etnik Balinuraga dengan Etnik Lampung faktor self-esteem, stereotyping,
dan etnosentrisme menjadi faktor dominan yang mengakibatkan konflik
terjadi. Etnik Lampung merasa self-esteemnya terganggu, mereka merasa
harga diri mereka telah dilecehkan dan menjadi inferior di tanah
sendiri, yang disebabkan perilaku superior Etnik Balinuraga yang merasa
kondisinya lebih baik dibandingkan Etnik Lampung, hal ini memunculkan stereotyping
negatif terhadap Etnik Balinuraga di mata Etnik Lampung. Kondisi ini
memuncul etnosentrisme pada Etnik Lampung, mereka menjadi merasa perlu
meninggikan kelompoknya dalam upaya untukmendapatkan perbandingan sosial yang
lebih menyenangkan, sehingga menganggap etniknya harus lebih superior dibandingkan
etnik Bali dan tindakan-tindakan yang lebih agresif dirasa perlu dilakukan
untuk mengembalikan self- esteem mereka.
Hal
ini tergambar jelas bila kita melihat urutan kejadian yang terjadi sebelumnya.
Konflik antara Etnik Bali (Balinuraga) dengan Etnik Lampung (Agom) tidak
terjadi secara tiba-tiba, rentetan peristiwa konflik sebelumnya yaitu Konflik
di Marga Catur dan Konflik di Napal menjadi jalan pembuka dari konflik ini.
Konflik Balinuraga merupakan puncak gunung es dari kompetisi superioritas diantara
keduanya. Dikarenakan jika kita melihat kronologis kejadian konflik antara
Etnik Balinuraga dan Etnik Lampung, pada tanggal 27 sampai dengan 29 Oktober
2012, konflik ini hanya dipicu oleh permasalahan sepele yang melibatkan
pemuda-pemudi dari kedua etnik yang ada. Konflik berusaha dicegah melalui
penyelesaian secara kekeluargaan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh dari desa yang
terlibat, sejak permasalahan pemuda-pemudi dari kedua etnik baru muncul
kepermukaan sampai sekitar tengah malam, tanggal 27 Oktober 2012 yang tidak
menghasilkan kata sepakat.
Kunci
untuk melihat konflik ini yaitu adanya fakta bahwa mobilisasi massa berlangsung
sangat cepat, secara solidaritas, dan tanpa digerakan. Dalam hitungan jam saja,
pada malam tanggal 27 Oktober 2012 massa yang berkumpul menunggu untuk masuk ke
Desa Balinuraga sudah ada lebih dari dua ribu orang yang berasal dari berbagai
desa, tidak hanya dari desa Etnik Lampung yang terlibat langsung, yaitu Desa
Agom dan Desa Balinuraga. Serta alasan yang banyak dikemukakandari etnik
Lampung mengenai persoalan harga diri yang menyangkut self-esteem dan
streotype negative terhadap etnik Bali yang suka merusak, memicu konflik,
menyelesaikan permasalahan dengan jalan kekerasan, serta dominasi ekonomi yang
menggeser etnik pribumi. Sehingga muncul reaksi pembelaan untuk mempertahankan superioritas
etnik pribumi.
Kejadian
pada hari kedua, tanggal 28 Oktober 2012, yang mengakibatkan tiga orang korban
meninggal dunia dari Etnik Lampung menyebabkan dorongan etnosentrisme tersebut
berlipat-lipat, sehingga massa yang ikut berperang tidak hanya dari Desa Agom,
meluas melibatkan Etnik Lampung lainnya yang ada di Kabupaten Lampung Selatan
dari berbagai desa dan kemudian makin meluas melibatkan Etnik Lampung lainnya
diluar Kabupaten Lampung Selatan, bahkan dari luar Provinsi Lampung. Kemarahan
tersebut memuncak pada tanggal 29 Oktober 2012, di mana Desa Balinuraga boleh
dikatakan hancur parah diserang oleh tiga puluh ribuan massa. Penyerangan
tersebut mengakibatkan 395 rumah di Desa Balinuraga dirusak dan dibakar,
sembilan korban meninggal dunia di pihak Etnik Bali (Balinuraga) (berdasarkan
data yang dirilis dalam surat permohonan maaf dan perjanjian damai). Tanaman
pertanian dan perkebunan juga ikut dirusak, binatang ternak dibunuh, harta benda
warga Desa Balinuraga banyak yang dibakar dan dijarah oleh massa penyerang yang
mengatasnamakan Etnik Lampung.
Aparat
pemerintahan dan keamanan, berdasarkan kronologis fakta yang ada sebenarnya
sudah menjalankan perannya sesuai fungsinya. Fungsi pencegahan/ peacekeeping
sejak konflik terjadi sudah dilakukan oleh aparat desa maupun aparat
keamanan. Aparat Desa Balinuraga, Agom, dan desa Negeri Pandan sudahmelakukan
negoisasi untuk mencari penyelesaian permasalahan secara kekeluargaan. Aparat
Desa Agom juga sudah berusaha menahan massa untuk tidak melakukan penyerangan.
Pencegahan tersebut kemudian dilanjutkan bersama aparat kepolisian beserta
Kepala Desa Agom dengan menyetop massa yang sedang bergerak dari Desa Agom
menuju ke Desa Balinuraga di Pasar Patok. Namun dikarenakan jumlah aparat kalah
banyak dibandingkan massa Etnik Lampung, massa berhasil sampai ke Desa
Balinuraga, kemudian terjadi konflik kekerasan pertama antara Etnik Lampung dan
Etnik Bali (Balinuraga) yang mengakibatkan satu kendaraan roda dua dibakar dan
beberapa orang mengalami luka-luka.
Peristiwa
pada hari kedua, Minggu, 28 Oktober 2012 tidak luput juga dari pencegahan
aparat. Aparat telah memblokade massa dengan melakukan penjagaan dengan
memasang kawat berduri serta menerjunkan ribuan aparat untuk mencegah massa
masuk ke Desa Balinuraga di wilayah perbatasan Desa Balinuraga dan Desa
Sidoreno. Namun konflik ternyata tidak dapat dicegah, bentrokan antara kedua
etnik tetap terjadi. Pada hari Minggu itu jatuh korban tiga orang meninggal dunia
di pihak Etnik Lampung. Peristiwa ini memicu konflik lanjutan dengan jumlah
massa dari Etnik Lampung yang lebih banyak.
Hari
ketiga, Senin, 29 Oktober 2012, penjagaan oleh aparat untuk mencegah konflik
tidak berkurang dan justru bertambah dengan hadirnya aparat dari luar Polda
Lampung, dalam hal ini Polda Banten. Aparat melakukan pencegahan dengan tetap
melakukan blokade massa dengan memasang kawat berduri dan menurukan aparat
bersenjatakan lengkap diperbatasan Desa Balinuraga dengan Desa Sidorena untuk mencegah massa agar tidak
masuk ke Desa Balinuraga. Selain itu pencegahan yang dilakukan aparat dengan
melakukan blokade jalan masuk ke Desa Agom di Simpang Tiga Way Arong. Blokade
jalan dengan memasang kawat berduri, menerjunkan aparat untuk memblokade jalan
masuk, serta sweeping terhadap segala jenis senjata yang dibawa massa
penyerang. Namun lagi-lagi jumlah massa aparat yang kalah banyak dibandingkan
massa penyerang, membuat aparat memilih mundur untuk menghindari bentrokan,
sehingga massa dari luar dapat bergabung dengan massa yang sudah ada di Desa
Agom.
Ketika massa sudah berhasil
masuk, aparat juga masih berusaha mencegah agar tidak semua massa bisa masuk ke
Desa Balinuraga. Konsentrasi aparat yang terpecah, membuat aparat hanya bisa
berusaha menahan massa agar tidak semuanya masuk. Sementara aparat hanya bisa
melihat saja bentrokan langsung antara Etnik Lampung dengan Etnik Balinuraga di
Desa Balinuraga. Ketika korban sudah banyak berjatuhan, aparat hanya bisa
menghimbau massa untuk menghentikan aksinya.
Setelah
kekerasan fisik yang terjadi secara langsung mulai mereda dan massa mulai
meninggalkan Desa Balinuraga, aparat melakukan evakuasi dengan mengeluarkan
Etnik Balinuraga untuk diungsikan ke Sekolah Polisi Negara (SPN) di daerah
Kemiling, wilayah Kota Bandar Lampung. Tujuan dari mengungsikan warga Desa
Balinuraga adalah agar ada jarak yang cukup jauh untuk kedua etnik kembali
berperang. Setelah itu, aparat pemerintah baik pemerintah pusat, Pemerintah
Provinsi Lampung, Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan, serta 160 berbagai
unsur stake holder yang ada, berusaha mempertemukan tokoh dari kedua etnik
untuk duduk dalam satu meja untuk melakukan perundingan damai (peacemaking).
Pada tanggal, 4 November perundingan damai antara kedua etnik terjadi, dengan
ditandatanganinya pernyataan permohonan maaf dari Etnik Bali kepada Etnik
Lampung dan ditandatanganinya surat perjanjian damai antara keduanya. Proses
ini berlanjut dengan Deklarasi Perjanjian Damai yang disaksikan seluruh
masyarakat dari kedua etnik yang ada dan terlibat konflik serta perwakilan
warga desa sekitar yang ada di kabupaten Lampung Selatan.
Menurut
Christie (1997: 12), resolusi konflik dapat dilihat sebagai serangkaian
strategi yang dapat digunakan untuk mendorong kepuasan kebutuhan manusia untuk
keamanan, identitas, penentuan nasib sendiri, dan kualitas hidup. Hal ini
sejalan dengan yang diungkapkan Ronald Fisher (1994: 13) yang memfokuskan
penelitiannya pada konflik etnis, khususnya di Siprus, Kanada, dan New Zeland.
Baginya resolusi konflik mengacu kepada proses transformasi konflik dari
situasi yang saling merusak ke dalam salah satu situasi yang “mandiri,
mengoreksi diri, dan berkelanjutan di masa mendatang”.
Proses
transformasi konflik ke kondisi damai dalam kasus yang terjadi antara Etnik
Bali dan Etnik Lampung dengan memahami akar konflik yang terjadi, telah
menghasilkan dua macam resolusi, yaitu resolusi konflik yang bersifat kelompok
dan resolusi konflik yang bersifat subyek. Dalam hal ini, menyangkut poin
pertama, resolusi konflik yang bersifat kelompok, surat permohonan maaf dan
surat perjanjian damai yang ditanda-tangani oleh tokoh kedua belah pihak
dilanjutkan dengan Deklarasi Perjanjian Damai menjadi bukti bahwa resolusi
konflik diantara masing-masing kelompok telah tercapai. Resolusi konflik ini
berupa kesepakatan yang mengikat satu-sama lainnya dengan mengedepankan
pendekatan win-win solution. Kedua belah pihak bersepakat mengakhiri
konflik kekerasan dengan mengambil jalan tengah, sehingga tidak ada salah satu
kelompok yang diposisikan sebagai pihak yang menang dan pihak yang kalah.
Isi
perjanjian damai, lebih mengedepankan solusi untuk membangun perdamaian dengan
kedua kelompok saling memaafkan satu sama lainnya sehingga tidak ada personal
dari kedua kelompok yang ditetapkan menjadi tersangka atas hilangnya harta
benda dan nyawa pada konflik kerusuhan tanggal 27 Oktober 2012 sampai dengan 29
Oktober 2012. Perjanjian tersebut berisi tentang cara-cara penyelesaian
perdamaian di masa mendatang bila terjadi perselisihan di antara kedua kelompok
etnik. Deklarasi perdamaian sendiri, lebih berupa sarana untuk
mensosialisasikan serta memberi penyadaran kepada seluruh masyarakat yang ada,
untuk sama-sama mengakhiri konflik baik dalam posisi sebagai anggota kelompok
maupun sebagai individu.
Pada
subyek yang menjadi narasumber dalam penelitian ini, bisa dikatakan bahwa
subyek telah mengalami transformasi dari konflik ke damai, hal ini bisa dilihat
dari gejala-gejala psikologis yang ditunjukan oleh kedua subyek. Bila kita
mengacu kepada penjelasan Ronald Fisher (1994: 13), resolusi konflik ditandai
dengan transformasi dari kondisi yang saling merusak antara satu sama lain,
menuju kondisi yang “mandiri, mengoreksi diri, dan berkelanjutan di masa
mendatang”. Kondisi subyek yang menjadi narasumber penelitian ini, bila
dipandang dari aspek kemandirian bisa dikatakan sudah mandiri. Di saat
penelitian dilakukan subyek sudah tidak tergantung lagi dari bantuan-bantuan
yang ada dan juga tampak tidak ada lagi bantuan yang diberikan. Subyek telah
mampu kembali membangun rumah tempat subyek tinggal. Selain itu subyek sendiri
sudah merasa kondisi keamanan telah jauh lebih baik, tidak tampak lagi ada rasa
takut terjadi kembali penyerangan. Aktivitas subyek juga telah kembali seperti
semula, baik itu narasumber dari Etnik Bali (SRM), yang bekerja sebagai Pegawai
Negeri Sipil di UPTD Pendidikan Kecamatan Sidomulyo, Lampung Selatan, maupun
subyek (HRB) yang bekerja sebagai kepala dusun, petani, dan tukang ojek.
Keyakinan akan keamanan di lingkungan ditunjukan subyek (SRM) yang sudah berani
berkunjung dan melewati Desa Agom serta desa-desa lainnya yang mayoritas
berasal dari Etnik Lampung. Hal ini juga diperkuat dengan jawaban subyek ketika
ditanya apakah konflik yang telah terjadi membuat subyek memilih untuk pindah
dari Desa Balinuraga, subyek SRM menanggapinya dengan mengatakan saya tidak
pernah berfikir untuk pindah dari Desa Balinuraga.
Bila
kita memandang dari aspek mengoreksi diri, kedua subyek menyatakan bahwa
perasaan penyesalan terhadap konflik yang terjadi sudah tampak sejak Deklarasi
Perjanjian Damai, mereka telah membaur kembali menjadi satu dalam kondisi yang
sama-sama perihatin. Kedua narasumber juga menganggap kejadian ini sebagai
musibah, masing-masing tidak pernah menginginkan terjadinya konflik yang
berujung kerusuhan. Mereka sama-sama memandang bahwa ada provokator yang
sengaja mengadu domba kedua belah pihak. Narasumber etnik Bali (SRM), juga
mengungkapkan bahwa dirinya tidak memiliki dendam serta telah memaafkan
pihak-pihak yang mengakibatkan ia menjadi korban konflik. Subyek justru
menganggap bahwa konflik yang terjadi harus dijadikan sebagai sarana
introspeksi diri, tidak hanya untuk dirinya sendiri namun untuk kelompoknya
juga. Hal tersebut yang membuat ia merasa bahwa steriotype atau pandangannya
terhadap Etnik Lampung, terutama terhadap orang-orang yang sebelum kejadian
sudah menjalin interaksi yang baik dengan dirinya tidak berubah. Ia merasa
hubungannya tetap baik, tidak ada alasan untuk menjauhkan diri dari mereka.
Subyek (SRM) juga menyatakan bahwakonflik juga membawa hikmah yang besar,
dimana ia dan kelompoknya menjadi lebih dekat dekan Tuhan Yang Maha Esa.
Kemudian
aspek yang ketiga menurut Ronald Fisher, yaitu berkelanjutan di masa mendatang,
perdamaian yang utuh nampak jelas menjadi sebuah harapan di diri masing-masing
narasumber, masing-masing individu telah belajar banyak dari konflik yang
terjadi, konflik dipandang hanya menimbulkan kehancuran. Tampak sekali
harapan-harapan mereka bahwa agar konflik tidak kembali terulang, serta adanya
itikad di masing-masing individu untuk memperbaiki perilakunya untuk mencegah
terulangnya kembali konflik yang sama. Untuk dapat menilai secara utuh tentang
apakah perdamaian sudah terjadi secara menyeluruh butuh waktu yang sangat
panjang. Namun indikasi-indikasi yang mengarah kepada perdamaian yang total,
bukan hal yang mustahil, dikarenakan masing-masing individu sudah saling
memaafkan kesalahan masing-masing dan sangat berharap mereka mampu hidup
berdampingan secara damai, serta mampu bekerja sama dengan lebih baik.
Kondisi
yang menggambarkan bahwa sudah terjadi transformasi dari kondisi konflik ke
kondisi damai ditunjukan dengan penggunaan simbol-simbol pasca perdamaian yang
tampak dari penggunaan Lambang Siger Lampung pada gapura Etnik Balinuraga.
Pendekatan budaya dilakukan dalam upaya menjaga kondisi damai yang telah
terwujud. Simbol ini ditujukan untuk menjelaskan bahwa pada hakikatnya Etnik
Bali yang ada di Lampung, merupakan bagian dari masyarakat Lampung, yang
membedakan hanyalah asal usul etniknya saja.
Sejalan
dengan usaha untuk menciptakan kedamaian paska konflik, dibutuhkan pengembangan
kelembagaan pembangunan perdamaian yang bekerja dengan pendekatan komprehensif
pembangunan perdamaian. Hasil penelitian Trijono Lambang (yang dimuat dalam
Jurnal Sosial Politik Vol.13, Juli, 2009) menjelaskan bahwa pembangunan
perdamaian yang didalamnya memadukan prinsip-prinsip nilai pembangunan,
perdamaian, dan demokrasi saling berkaitan. Kaitan perdamaian, pembangunan, dan
demokrasi (peace, development, and democracy linkages), baik dalam
prinsif nilai maupun dalam mekanisme kelembagaan, dalam hal ini perlu
dikembangkan untuk menemukan model dan kerangka kerja kelembagaan pasca
konflik.
Penelitian
Qodir Zully (yang dimuat dalam Jurnal UNISIA Vol XXXI, No.68, Juni, 2008), juga
mengungkapkan bahwa dalam konteks rumitnya konflik kekerasan SARA yang seperti
itu, maka negara sudah seharusnya memberikan ruang yang lebih memadai untuk
terjadinya proses dialektika antar kelompok di masyarakat sehingga antara satu
komunitas dengan komunitas lainnya dapat saling menghargai, memahami, dan
bekerjasama. Tanpa ruang yang memadai untuk seluruh elemen masyarakat yang akan
terjadi adalah munculnya kekuatan-kekuatan baru yang akan menumbuhkan konflik
kekerasan di masa yang akan datang. Negara harus bekerja sama dengan seluruh
elemen masyarakat untuk menjadikan Indonesia menjadi negara yang damai dan
agama menjadi rahmat bagi semua, bukan hanya kelompoknya sendiri.
IV.
Penutup
A.
Kesimpulan
Hasil
penelitian disimpulkan bahwa konflik yang terjadi antara Etnik Bali
(Balinuraga) dan Etnik Lampung (Agom) pada tanggal 27 sampai dengan 29 Oktober
2012 disebabkan oleh satu akar penyebab utama dengan beberapa faktor yang
memperkuat. Faktor-faktor tersebut saling berkaitan antara satu sama lain,
yaitu:
1.
Akar penyebab utama (primer), yaitu perilaku
Etnik Bali (Balinuraga) dalam hidup bermasyarakat yang dianggap menyinggung
perasaan dan tidak sesuai dengan adat istiadat etnik pribumi (Etnik Lampung).
2.
Faktor yang memperkuat (sekunder), yaitu:
a.
Dendam dari konflik-konflik sebelumnya yang
melibatkan Etnik Bali (Balinuraga) dengan desa-desa mayoritas Etnik Lampung di
sekitar Desa Balinuraga.
b.
Masalah ekonomi, yaitu perasaan sakit hati dari
Etnik Lampung, karena banyak tanah penduduk yang beralih tangan kepada warga
Desa Balinuraga melalui jerat hutang.
c.
Penyelesaian konflik-konflik terdahulu yang
tidak pernah tuntas menyentuh sampai akar permasalahan konflik. Penyelesaian
konflik tampak hanya terselesaikan di permukaan saja dan ditataran elit tokoh
kedua etnik, namun tidak pernah menyentuh ke masyarakat di tataran lapangan
yang langsung bersentuhan dengan konflik, menjadi pelaku konflik, serta turut
menjadi korban yang dirugikan dari konflik yang ada.
d.
Pelanggaran atas perdamaian yang telah
disepakati serta belum ada penerapan sanksi yang tegas terhadap pihak-pihak
yang melanggar dan mengakibatkan konflik terulang kembali.
Proses
perdamaian dapat dikatakan berhasil bila terciptanya resolusi konflik baik secara
kelompok dan yuridis atau hukum maupun resolusi langsung pada korban konflik.
Keberhasilan tersebut dapat dicapai melalui kerjasama yang baik dari berbagai
unsur, baik pemerintah, aparat keamanan, pimpinan-pimpinan kelompok, tokoh
agama, dan budayawan. Didukung pula oleh berbagai lembaga sosial masyarakat dan
paguyuban masyarakat. Peran dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah,
aparat keamanan, dan lembaga-lembaga masyarakat dalam menengahi konflik yang
terjadi dengan mempertemukan tokoh-tokoh dari kedua kelompok etnik sehingga
tercapai resolusi konflik kelompok berupa perjanjian damai yang diikuti dengan
permohonan maaf secara tertulis dari kedua etnik yang berkonflik.
Pemahaman
akan akar penyebab konflik dapat menjadi bahan sosialiasi tokoh-tokoh adat dan
lembaga adat beserta berbagai lembaga sosial masyarakat dan paguyuban
masyarakat yang ada, dalam rangka memberikan penyadaran kepada masyarakat dan
memulihkan mental masyarakat agar dapat memandang konflik dari sudut pandang
yang positif. Resolusi konflik pada setiap individu yang terlibat dalam konflik
dan proses pemaafan timbul saat kondisi kembali menjadi positif. Kondisi
positif ini ditentukan oleh seberapa jauh pemahaman setiap individu tentang akar penyebab timbulnya konflik.
Proses memberikan pemahaman tersebut merupakan bagian dari proses pemulihan
pasca konflik. Hal tersebut sangat menentukan kondisi setiap individu untuk
dapat bangkit dari konflik.
0 Komentar untuk "AKAR KONFLIK KERUSUHAN ANTAR ETNIK DI LAMPUNG SELATAN (Studi Kasus Kerusuhan Antara Etnik Lampung dan Etnik Bali di Lampung Selatan)"