Oleh: Morissan, M.A
Selain harus dapat
diandalkan, suatu pengukuran harus pula memiliki validitas. Validitas mengacu
pada seberapa jauh suatu ukuran empiris cukup menggambarkan arti sebenarnya
dari konsep yang tengah diteliti. Dengan kata lain, suatu instrumen pengukuran
yang valid mengukur apa yang seharusnya diukur, atau mengukur apa yang hendak
kita ukur. Menentukan validitas pengukuran memerlukan suatu evaluasi terhadap
kaitan antara definisi operasional variabel dengan definisi konseptual. Hal ini
disebabkan validitas menjelaskan suatu ukuran yang secara tepat dapat
menggambarkan konsep yang ingin diukur. Misal, bagaimana kita mengukur tingkat
kecerdasan seseorang? Dalam hal ini, tes IQ akan menghasilkan ukuran kecerdasan
yang lebih valid dibandingkan dengan menggunakan ukuran frekuensi kunjungan ke
perpustakaan.
Mengukur validitas
membutuhkan penilaian yang cermat di pihak peneliti. Suatu pengukuran validitas
sangat jarang menghasilkan kesimpulan yang sangat valid (totally valid) atau sama sekali tidak valid (invalid), karena biasanya ukuran validitas berada di sekitar titik
tengah. Pada bagian ini kita akan mempelajari empat tipe utama pengukuran
validitas, dan masing-masing memiliki teknik yang berhubungan untuk evaluasi
metode pengukuran yaitu: validitas muka (face
validity), validitas prediktif (predictive
validity), validitas konkuren (concurrent
validity), dan validitas konstruk (construct
validity).
Validitas Muka (face validity)
Tipe pengukuran
validitas yang paling sederhana dan paling dasar yang dilakukan dengan cara
mengamati instrumen pengukuran untuk menentukan apakah instrumen bersangkutan dapat mengukur apa
yang akan diukur. Pada pengukuran validitas muka, peneliti mengemukakan
argumentasi bahwa pengukuran yang akan dilakukan tampak baik dengan cara
melihat pada indikator pengukuran yang digunakan. Dengan kata lain, validitas
muka menunjukkan apakah kualitas suatu indikator tampak beralasan (logis) untuk
mengukur suatu variabel. Misal, bagaimana kita mengukur perilaku keagamaan
(religiusitas) seseorang? Dalam hal ini, frekuensi kunjungan seseorang ke
tempat ibadah dapat menjadi indikator yang tampak beralasan (logis) tanpa
membutuhkan terlalu banyak penjelasan. Dalam kasus ini, tingkat kunjungan
seseorang ke tempat ibadah memiliki validitas muka yang baik untuk mengukur
tingkat religiusitas seseorang. Teknik ini cukup populer digunakan para
peneliti melalui argumentasi mereka mengenai validitas pengukuran yang
digunakan. Namun validitas muka memiliki keterbatasan karena tidak tersedianya
bukti tambahan atas validitas yang digunakan.
Ukuran empiris tertentu
terhadap suatu konsep penelitian dapat sesuai atau bertentangan dengan
kesepakatan umum yang berlaku dan juga dengan gambaran mental yang dimiliki
seseorang. Misal, bagaimana mengukur kualitas pelayanan suatu instansi
pemerintah kepada masyarakat? Kita mungkin bisa berbeda pendapat bahwa jumlah
pengaduan atau keluhan mengenai instansi bersangkutan yang disampaikan melalui
media massa telah cukup menjadi indikator kualitas pelayanan instansi
bersangkutan. Namun kita dapat dengan mudah bermufakat bahwa jumlah pengaduan
masyarakat memiliki hubungan dengan kualitas pelayanan. Dengan demikian jumlah
pengaduan atau keluhan masyarakat di media massa adalah valid secara permukaan,
sehingga dikatakan memiliki validitas muka. Jika peneliti mengemukakan gagasan
bahwa kualitas pelayanan suatu instansi ditentukan pada apakah karyawannya
mengenakan pakaian seragam ataukah tidak, maka bisa jadi anda akan menunjukkan
penolakan yang lebih besar. Hal ini disebabkan pakaian seragam tidak memiliki
cukup validitas muka.
Validitas
Prediktif
Upaya peneliti untuk
memeriksa instrumen pengukurannya terhadap hasil-hasil yang muncul di masa
depan akan menghasilkan validitas prediktif
atau disebut juga validitas terkait kriteria (criterion-related validity). Misal, nilai suatu pengujian (tes)
untuk memperkirakan apakah seseorang akan memberikan suaranya pada Pemilu yang
akan datang dapat dibuktikan dengan melihat pada perilaku sebenarnya pada saat
Pemilu, apakah ia memberikan suara atau tidak (menjadi golongan putih). Jika
hasil tes memungkinkan peneliti untuk memperkirakan, dengan tingkat akurasi
yang cukup tinggi, siapa orang yang memberikan suara pada Pemilu, dan siapa
yang tidak, maka pengujian yang dilakukan memiliki validitas prediktif. Contoh
lain, ujian masuk suatu perguruan
tinggi, selain menghasilkan informasi mengenai tingkat kecerdasan calon
mahasiswa, juga mampu menunjukkan kemungkinan calon mahasiswa bersangkutan
untuk mampu menyelesaikan pendidikannya, dan
bahkan memperkirakan tingkat keberhasilan dalam pekerjaan dan karir jika
ia selesai menempuh pendidikan. Atau suatu ujian teori untuk mendapatkan surat
ijin mengemudi (SIM) disebut memiliki validitas prediktif jika mampu
memperkirakan perilaku seseorang di jalan raya di masa yang akan datang. Ketiga
contoh tersebut --memberikan suara, keberhasilan pendidikan, dan perilaku
mengemudi-- merupakan kriteria validitas prediktif.
Harap dicatat bahwa
pengukuran yang memiliki validitas prediktif yang baik tidak berarti juga
memiliki validitas muka yang sama baiknya. Suatu pengukuran dapat memiliki
validitas prediktif yang baik namun pada saat yang sama kurang memenuhi syarat
untuk memiliki validitas muka. Dalam hal ini, kondisi yang bertentangan sering
kali terjadi. Satu-satunya faktor yang menentukan validitas prediktif adalah
ukuran kemampuan untuk memperkirakan perilaku atau peristiwa masa depan secara
tepat. Dalam validitas prediktif, perhatian tidak ditujukan pada konsep apa
yang hendak diukur tetapi pada apakah instrumen pengukuran dapat memperkirakan
sesuatu.
Validitas
Konkuren
Tipe validitas yang
memiliki kemiripan dengan validitas prediktif. Pada metode ini, instrumen
pengukuran harus diperiksa terlebih dahulu terhadap berbagai kriteria yang ada
saat ini. Misal, peneliti yang ingin mengetahui perilaku kekerasan
(agresivitas) di kalangan anak-anak membagi anak-anak ke dalam dua kelompok
yaitu: pertama, kelompok anak yang memiliki catatan sebagai anak bermasalah
karena sering kali melakukan perkelahian, dan tindak kekerasan lainnya dan
kedua, kelompok anak yang tidak memiliki catatan kekerasan atau perilaku
anti-sosial lainnya. Jika hasil pengujian dapat menunjukkan adanya perbedaan
skor kekerasan diantara kedua kelompok tersebut maka dapat dikatakan hasil
penelitian memiliki validitas konkuren. Contoh lain, peneliti dapat melakukan
uji validitas konkuren tingkat pemahaman terhadap suatu bacaan antara anak-anak
yang hasil uji terhadap tingkat kecerdasannya (IQ) menunjukkan nilai di atas
rata-rata dengan anak-anak yang memiliki IQ pada kisaran rata-rata. Jika hasil
pengujian terhadap tingkat pemahaman terhadap suatu bacaan menunjukkan
perbedaan diantara kedua kelompok tersebut, yaitu mereka yang memiliki IQ lebih
tinggi menunjukkan tingkat pemahaman yang lebih baik terhadap bacaan, maka
dapat dikatakan hasil pengukuran IQ memiliki validitas konkuren.
Validitas
Konstruk
Tipe validitas ini
memiliki teknik pengukuran yang paling kompleks. Namun secara sederhana dapat
dikatakan bahwa validitas konstruk merupakan upaya menghubungkan suatu
instrumen pengukuran dengan keseluruhan kerangka kerja teoritis untuk
memastikan bahwa pengukuran yang dilakukan memiliki hubungan logis dengan
konsep lainnya yang ada dalam kerangka kerja teoritis bersangkutan. Dalam hal
ini, peneliti harus mampu menyatakan berbagai hubungan antara konsep yang
tengah diukur dengan variabel lainnya. Peneliti harus menunjukkan bahwa
hubungan tersebut adalah benar adanya untuk menunjukkan adanya validitas
konstruk. Misal, suatu penelitian ingin membuktikan bahwa frekuensi menonton
suatu program berita dipengaruhi oleh sikap audien terhadap program berita
bersangkutan. Jika ukuran terhadap sikap berhubungan erat dengan frekuensi
menonton maka penelitian terhadap sikap audien memiliki validitas konstruk.
Contoh lain, suatu
penelitian ingin mengetahui sumber dan konsekwensi kepuasan perkawinan. Dalam
hal ini, peneliti mengembangkan suatu ukuran kepuasan perkawinan, dan ia ingin
menguji validitas pengukurannya dengan menggunakan validitas konstruk.
Pertama-tama, peneliti berusaha mencari tahu apakah variabel kepuasan
perkawinan memiliki hubungan dengan variabel lainnya. Misal, peneliti dapat
mengemukakan suatu argumentasi bahwa perselingkuhan jarang terjadi pada
pasangan yang merasa puas dengan perkawinannya dibandingkan dengan pasangan
yang tidak puas dengan perkawinannya. Jika hasil penelitian menunjukkan bahwa
jumlah kasus perselingkunan antara pasangan yang merasa puas dengan
perkawinannya dengan pasangan yang tidak puas menunjukkan jumlah yang kurang
lebih sama, atau tidak dapat dibedakan secara tegas, maka terdapat kelemahan
pada validitas pengukuran yang digunakan.
Validitas
Isi
Pengukuran terhadap
validitas isi mengacu pada berapa banyak suatu ukuran menjangkau berbagai makna
yang tercakup dalam suatu konsep. Misal, suatu pengujian terhadap kemampuan
matematika seseorang tidak dapat dibatasi hanya pada fungsi penambahan tetapi
perlu juga mencakup pengurangan, pengalian, pembagian dan sebagainya. Atau,
jika kita mengukur prasangka (prejudis) pada diri seseorang, apakah pengukuran
kita mencakup seluruh jenis prejudis, termasuk prejudis terhadap kelompok
rasial dan etnis, agama minoritas. Wanita, orang tua dan sebagainya.
Salah
satu tujuan penelitian adalah menjelaskan sifat populasi. Populasi dapat
didefinisikan sebagai suatu kumpulan subjek, variabel, konsep, atau fenomena. Kita
dapat meneliti setiap anggota populasi untuk mengetahui sifat populasi
bersangkutan. Proses meneliti setiap anggota populasi ini dinamakan sensus.
Namun demikian sering kali meneliti setiap anggota populasi tidak dapat
dilakukan karena keterbatasan waktu dan biaya. Dalam hal ini, prosedur yang
biasa dilakukan adalah mengambil sampel dari populasi. Sampel adalah bagian
dari populasi yang mewakili keseluruhan anggota populasi yang bersifat
representatif. Suatu sampel yang tidak representatif terhadap setiap anggota
populasi, berapapun ukuran sampel itu, tidak dapat digeneralisir untuk
menjelaskan sifat populasi dimana sampel diambil.
Proses
pemilihan sampel dapat dijelaskan dengan menggunakan dua lingkaran besar dan
lingkaran kecil sebagaimana terlihat pada gambar 1.1. Linkaran kecil berada di
dalam lingkaran besar. Suatu populasi diwakili oleh lingkaran yang lebih besar.
Jika sensus berfungsi menguji atau mengukur setiap elemen pada populasi A, maka
sampel mengukur atau menguji bagian dari populasi (sampel A1).
Walaupun pada gambar
1.1, sampel tampaknya diambil dari bagian tertentu saja dari
populasi, namun sesungguhnya sampel dipilih dari setiap bagian populasi. Jika
suatu sampel dipilih berdasarkan panduan yang benar sehingga bersifat
representatif terhadap populasi maka data yang diperoleh dari sampel tersebut
dapat digeneralisir terhadap populasi. Namun demikian, generalisasi data yang
diperoleh dari sampel harus dilakukan dengan cermat dan hati-hati karena adanya
kesalahan (error) yang melekat pada
setiap penelitian.
Manakala
peneliti hendak mengambil sampel dari suatu populasi maka ia perlu
memperkirakan seberapa besar derajat perbedaan sampel yang dimilikinya dengan
populasi. Karena sampel tidak menyediakan data yang tepat mengenai populasi
maka suatu kesalahan atau error harus
diperhitungkan ketika kita menginterpretasikan hasil penelitian.
KESALAHAN SAMPLING
Dapat dikatakan setiap
penelitian memiliki potensi kesalahan, terlebih pada penelitian yang bertujuan
untuk mengamati perilaku manusia (behavioral
sciences). Kesalahan terutama bersumber dari karakteristik manusia yang
tidak pernah tetap atau, dengan kata lain, manusia memiliki sifat yang selalu
berubah. Hal ini biasanya sudah sangat dipahami oleh peneliti perilaku, dan
mereka bertanggung jawab untuk mengendalikan atau mengurangi sebanyak mungkin
kesalahan pada penelitian mereka. Namun demikian, apapun langkah penelitian
yang dilakukan kesalahan selalu ada. Dalam hal ini, terdapat dua tipe kesalahan
dalam setiap penelitian yaitu:[1]
1) Kesalahan
sampling (sampling error), yaitu
kesalahan yang berhubungan dengan pemilihan sampel dari suatu populasi.
2) Kesalahan
non-sampling (non-sampling error),
yaitu kesalahan yang berasal dari setiap aspek penelitian seperti kesalahan
pengukuran, kesalahan analisa data, pengaruh situasi penelitian, atau bahkan
kesalahan yang berasal dari sumber yang tidak diketahui yang tidak dapat
diidentifikasi, dikontrol atau dihilangkan.
Kesalahan
pengukuran dapat disebabkan banyak hal namun beberapa faktor terpenting antara
lain seperti instrumen pengukuran yang tidak dirancang dengan baik, mengajukan
pertanyaan yang salah kepada responden, atau salah mengajukan pertanyaan,
kesalahan instrumen pengumpulan data, tenaga pengumpul data yang tidak
terlatih, menggunakan hanya satu tipe pengukuran, kesalahan pada saat pemasukan
data (data input), dan penggunaan
metode statistik yang salah untuk menganalisa data.
Laporan
penelitian sering kali menggunakan pernyataan,”Hasil penelitian ini
‘membuktikan’…” Walaupun setiap penelitian bertujuan mencari kebenaran tetapi
faktanya “kebenaran yang sesungguhnya” jarang diperoleh. Hal ini disebabkan
setiap nilai, pengukuran, atau pengamatan memiliki derajat kesalahan tertentu.[2]
Kesalahan pengukuran dapat dibagi lagi menjadi dua kategori yaitu kesalahan
random dan kesalahan sistematis.
1) Kesalahan
random (random error) yang terjadi
manakala pengukuran (measurement) dan
analisa menunjukkan perbedaan secara tidak konsisten dari satu penelitian ke
penelitian lainnya. Hasil penelitian menunjukkan suatu arah tertentu namun
ketika penelitian diulang kembali hasilnya menunjukkan arah yang berbeda.
Kesalahan random disebabkan oleh variabel yang tidak diketahui, dan tidak dapat
diperkirakan sehingga sulit untuk diketahui dan diperbaiki.
2) Kesalahan
sistematis (systematic error) adalah
kesalahan yang menghasilkan kesimpulan yang tidak tepat atau tidak benar (invalid) secara terus menerus
(konsisten) dalam arah yang sama, atau konteks yang sama, dan karenanya dapat
diperkirakan. Tidak seperti kesalahan random, pada kesalahan sistematis,
peneliti mampu mengidentifikasi penyebab kesalahan dan menghilangkan
pengaruhnya.
2. METODE PENARIKAN
SAMPEL
Pemilihan
sampel merupakan bagian yang sangat penting dari semua penelitian, namun
kesalahpahaman sering kali terjadi mengenai sampel ini, khususnya diantara
peneliti pemula, atau mereka yang tidak tahu menahu mengenai penelitian.
Pertanyaan yang sering kali muncul adalah, “Bagaimana mungkin sampel yang
terdiri dari beberapa ratus orang responden bisa mewakili pendapat masyarakat
yang berjumlah jutaan orang”. Jika anda seorang peneliti pemula, maka camkan
hal ini: jika pemilihan sampel dilakukan dengan benar, maka walaupun jumlah
sampel anda hanya terdiri atas beberapa ratus orang, maka jumlah itu sudah
cukup mewakili pandangan populasi yang terdiri atas jutaan orang. Bagian paling
penting dari setiap prosedur penarikan sampel adalah menghindari bias, apapun
jenisnya. Artinya, setiap responden harus memiliki peluang yang sama untuk
dapat terpilih sebagai sampel. Dengan kata lain, rancangan sampel kita harus
bebas dari bias.
Metode
penarikan sampel, atau disebut juga dengan prosedur sampling (sampling procedures) pada umumnya
terbagi atas dua bagian besar yaitu: teknik sampel probabilitas dan teknik
sampel non-probabilitas [3]
1) Teknik
sampel probabilitas atau sampling probabilitas (probability sampling). Teknik penarikan sampel probabilitas
dilakukan dengan menggunakan panduan matematis berdasarkan teori kemungkinan (probability theory) dimana peluang
setiap unit untuk terpilih sebagai sampel telah dapat diketahui. Teknik
penarikan sampel probabilitas dilakukan dengan cara memilih atau menarik sampel
secara acak (random) dari suatu
daftar yang berisi seluruh nama anggota populasi yang tengah diambil sampelnya.
2) Teknik
sampel non-probabilitas atau sampling non-probabilitas (non-probability sampling) merupakan teknik penarikan sampel yang
tidak mengikuti panduan probabilitas matematis. Namun demikian, karakteristik
paling penting yang membedakan kedua tipe sampel adalah bahwa sampling
probabilitas memungkinkan peneliti untuk menghitung jumlah kesalahan sampling (sampling error) pada suatu penelitian,
sedangkan sampling nonprobabilitas tidak.
Dalam
hal ini, terdapat empat hal yang perlu dipertimbangkan dalam memutuskan apakah
peneliti perlu menggunakan penarikan sampel probabilitas atau non-probabilitas:[4]
1) Tujuan
penelitian. Tidak semua penelitian dirancang untuk memperoleh
hasil yang akan digunakan untuk melakukan generalisasi terhadap populasi,
tetapi lebih untuk meneliti hubungan variabel, atau mengumpulkan data
eksploratif bagi penyusunan kuesioner atau instrumen pengukuran. Sampling non-probabilitas
sangat cocok digunakan pada penelitian semacam ini.
2) Biaya versus
nilai. Suatu sampel harus mampu menghasilkan nilai
terbaik bagi peneliti dengan biaya seminimal mungkin. Jika biaya penarikan
sampel probabilitas terlalu mahal dalam hubungannya dengan jenis, dan kualitas
informasi yang akan diperoleh (tujuan penelitian) maka penggunaan sampling
non-probabilitas biasanya sudah cukup memuaskan.
3) Keterbatasan
waktu. Dalam banyak kasus, peneliti perlu mengumpulkan
informasi pendahuluan dalam waktu terbatas. Biasanya penelitian semacam ini
dilakukan atas permintaan pihak tertentu seperti sponsor, manajemen perusahaan,
media massa dan sebagainya. Karena penarikan sampel probabilitas sering kali
sangat memakan waktu dalam pengerjaannya maka suatu sampling nonprobabilitas dapat
memenuhi kebutuhan ini.
4) Nilai kesalahan
yang dapat diterima. Dalam suatu penelitian pendahuluan (pilot study) seringkali faktor error atau kesalahan tidak menjadi
perhatian utama, maka penggunaan sampel nonprobabilitas biasanya sudah cukup
memadai.
Walaupun sampel nonprobabilitas dalam beberapa
kasus memiliki sejumlah keunggulan, namun sampel probabilitas lebih dianjurkan
pada penelitian yang bertujuan untuk menerima atau menolak suatu pertanyaan
penelitian yang penting, atau menerima atau menolak hipotesa yang hasilnya akan
digeneralisir kepada populasi. Teknik sampling probabilitas pada umumnya
menggunakan beberapa tipe prosedur pemilihan sistematis seperti tabel nilai
random untuk memastikan bahwa setiap unit memiliki peluang yang sama untuk terpilih.
Namun demikian, cara ini tidak memastikan seratus persen terpilihnya suatu
sampel yang representatif dari populasi.
[1] Roger D.
Wimmer dan Joseph R. Dominick, Mass Media
Researh: An Introduction, Wadsworth, 2011, hal 88.
[2]
Hasil penelitian sering kali disajikan dengan menggunakan suatu formula
sederhana sebagai ‘bukti’ mengenai sesuatu sebagai berikut: nilai yang
diamati/pengukuran/pengamatan = Nilai sebenarnya, pengukuran atau observasi.
Pada kenyataannya, seluruh hasil penelitian harus dilaporkan dan
diinterpretasikan dengan formula sebagai berikut: Nilai yang
diamati/pengukuran/pengamatan = Nilai sebenarnya, pengukuran atau observasi +
kesalahan.
[3] Lihat Earl
Babbie, The Basic of Social Research,
4th Edition, Wadsworth, 2008, hal 203. Lihat juga Wimmer D, Roger
dan Joseph R. Dominick, Mass Media
Research, Wadsworth, 2011, hal 89.
[4] Wimmer D,
Roger, Joseph R. Dominick, Mass Media
Research, Wadsworth, 2011, hal 90.
0 Komentar untuk "METODOLOGI PENELITIAN; Validitas Penelitian Populasi & Sampel"