ANAK PUTUS SEKOLAH;
Analisis Teori Pertukaran Sosial Peter
M. Blau
A.
Latar Belakang
Pendidikan
merupakan proses yang penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia
untuk masa kini dan masa depan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pendidikan
ialah usaha sebagai penunjang keberhasilan pembangunan bangsa baik dari
pendidikan formal, pendidikan informal, maupun pendidikan nonformal.[1]
Pentingnya
pendidikan di atas senada dengan tujuan pendidikan nasional sebagaimana yang
tercantum dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 yang berbunyi “tujuan
pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab”.
Deskripsi
di atas menunjukkan bahwa pendidikan penting untuk dikembangkan. Harapannya
adalah melalui pendidikan dapat menciptakan manusia-manusia terdidik yang mampu
mendorong Indonesia menjadi bangsa yang lebih egaliter dan sejahtera.
Namun
pada faktanya dalam pembangunan pendidikan nasional yang diharapkan di atas,
masih terdapat banyak masalah dan hambatan yang harus dihadapi oleh bangsa
Indonesia, salah satunya adalah masalah anak putus sekolah. Masalah anak putus
sekolah merupakan masalah yang sudah terjadi sejak lama, meskipun sudah
berbagai program dan kebijakan yang dilakukan seperti Bantuan Operasional
Pendidikan (BOS), Bantuan Siswa Miskin (BSM), Bantuan Khusus Siswa Miskin
(BKSM) dan sebagainya, namun faktanya program tersebut belum dapat memberikan
solusi yang tepat dalam menuntaskan masalah yang satu ini. Padahal hak
pendidikan bagi anak-anak bangsa telah dijamin oleh negara sebagaimana yang
tertuang dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1 yang berbunyi “setiap warga negara
berhak mendapat pendidikan”.
Masalah
anak putus sekolah di atas, dapat digambarkan dari studi yang dilakukan oleh
Musta’in dkk pada tahun 1998 di Pacitan yang menunjukkan bahwa seorang anak
yang sudah lulus SD yang minta melanjutkan ke tingkat SLTP akan berpikir
dua-tiga kali sebelum benar-benar memutuskan mendaftarkan diri. Sebab jarak
desa dengan gedung SLTP sekitar 7 km yang harus dilalui dengan jalan kaki. Jika
melewati jalan beraspal maka harus menggunakan kendaraan umum dengan membayar
Rp. 100-200 untuk sampai ke sekolah. Dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan
rasanya orang tua keberatan jika harus mengeluarkan uang Rp. 500 setiap hari
untuk sekedar ongkos transport.[2]
Studi
yang dilakukan oleh LPPM Universitas Airlangga pada tahun 2005 di provinsi Jawa
Timur menunjukkan bahwa di kalangan masyarakat miskin, kesadaran dan kemampuan
masyarakat untuk untuk meyekolahkan anak-anak relatif masih belum berkembang.
Bisa dibayangkan, bagaimana mungkin seorang anak yang setiap hari bergaul dan
bermain dengan teman-teman mereka yang tidak lagi bersekolah atau hanya lulusan
SD dapat bertahan untuk terus bersekolah melawan arus umum lingkungan sosial
mereka.[3]
Penelitian
yang dilakukan oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO) tahun 2005 menunjukkan
terdapat 4,18 juta anak usia sekolah di Indonesia ternyata putus sekolah dan
menjadi pekerja anak.[4] Menurut
data Komnas Anak di tahun 2006 terdapat 9,7 juta anak putus sekolah, dan dalam
waktu satu tahun (2007) jumlahnya meningkat 20 persen menjadi 11,7 juta jiwa.
Menurut data Departemen Pendidikan Nasional, dari 25.982.000 siswa tingkat SD
pada tahun ajaran 2005/2006, jumlah siswa yang putus sekolah mencapai 824.684
anak. Untuk tingkat SMP, dari 8.073.086 siswa, jumlah anak yang putus sekolah
sebanyak 148.890.[5]
Data
Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta menyebutkan di DKI Jakarta hingga kini
setidaknya terdapat 6.959 anak yang mengalami putus sekolah. Jumlah itu terdiri
dari Murid SMA, SMK, SMP, maupun SD. Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta
mengatakan, jumlah anak putus sekolah tingkat SMA tahun 2008 mencapai 1.253
orang atau meningkat 0,04 % dibanding tahun 2007 yang hanya mencapai 1.229
orang. Tingkat SMK 3.188 orang atau 1,65 %, dari total jumlah SMA dan SMK
377.198 orang.[6]
Hasil
pandataan PPLS pada Tahun 2008 menunjukkan terdapat 376 anak yang putus sekolah
usia 7-15 tahun atau sebesar 1,79 persen anak dari seluruh anak usia 7-15 tahun
pada rumah tangga miskin di Kota Depok Provinsi Jawa Barat.[7]
Sedangkan data dari Dinas Pendidikan Kab. Gresik tahun 2011-2012 menunjukkan
terdapat 10,50 % dari 14397 siswa pada tingkat MA/SMA/SMK.[8]
Sama
halnya dengan yang terjadi di Desa Pangkah Kulon Kecamatan Ujung Pangkah
Kabupaten Gresik. Di desa tersebut pada umumnya terdapat lebih dari 30 anak
yang tidak melanjutkan sekolah dari jenjang SMP ke jenjang SMA[9], salah
satunya terjadi pada keluarga bapak Zaini. Bapak Zaini yang merupakan salah
satu warga Dusun Druju memiliki 3 anak yang dua diantaranya tidak melanjutkan
sekolah. Anak pertama bernama Agus tidak melanjutkan jenjang sekolah dari SMP
ke jenjang SMA dan anak yang kedua bernama Khadijah putus sekolah ketika SMP
karena takut diperlakukan kasar dan tidak baik oleh teman-temannya di sekolah.[10]
Setelah
lulus dari MTs Al Muniroh Ujung Pangkah Agus tidak mau melanjutkan sekolah pada
jenjang SMA. Penyebabnya adalah dia jenuh dengan sekolah yang ada di desanya
–Al Muniroh. Sebab dia berkeinginan menghindari pergaulan dengan teman-temannya
yang ada di desa yang selalu mengajak –dengan sedikit memaksa- mbolos sekolah
ketika MTs dulu. Oleh karena itu dia meminta sekolah di SMK Assa’adah yang
berada di desa Bungah agar mendapat teman baru yang lebih baik sehingga dia
bisa serius untuk belajar. Selain itu dia memilih sekolah di SMK adalah karena
dia punya keinginan dapat mengendarai mobil sehingga suatu saat dia berharap
dapat menjadi sopir. Tetapi orang tuanya tidak mengehendaki Agus untuk sekolah
di SMK Assa’adah Bungah yang disebabkan selain ketiadaan kendaraan transportasi
–sepeda motor- juga disebabkan ketiadaan biaya untuk membiayai sekolah Agus
yang cenderung lebih mahal dari pada sekolah di Al Muniroh Ujung Pangkah.
Oleh
karenanya Agus lebih memilih tidak sekolah dari pada sekolah di SMA Al Muniroh yang
menyebabkan dia tidak dapat serius belajar karena pergaulan teman-temannya yang
cenderung mengajak berperilaku negatif seperti membolos sekolah, nongkrong di
warung kopi hingga larut malam dan sebagainya. Menurut Agus menghindari
pergaulan dengan teman-teman satu desa merupakan hal yang sangat sulit, sebab
teman-temannya selalu menuntut agar selalu mengikuti semua ajakan teman-teman
komunitasnya tanpa terkecuali. Sebab jika tidak dituruti, maka Agus akan
dimusuhi dan mendapatkan ancaman kekerasan dari teman-teman komunitasnya.
Untuk
itu Agus lebih memilih untuk tidak sekolah dari pada menghabiskan biaya sekolah
dari orang tuanya, sedangkan Agus sendiri tidak serius dalam sekolahnya. Selain
itu Agus juga ingin aman dari permusuhan dan ancaman kekerasan dari kelompok
teman-temannya.
Terkait
dengan putus sekolahnya Agus, dalam pandangan masyarakat desa Pangkah Kulon,
seorang anak putus sekolah merupakan hal yang biasa atau lumrah, sehingga
tingkat kepedulian masyarakat terhadap pendidikan begitu rendah, sebab
masyarakat memandangan sekolah tidaklah begitu penting, dan begitu pula dengan
stakeholder desa Pangkah Kulon.
Sejak
tamat MTs Al Muniroh Ujung Pangkah hingga saat ini Agus masih menekuni
pekerjaannya sebagai pencari ikan dan kepiting di tambak –buri/ miyang-
dari pada menganggur di rumah. Dalam bekerja dia membantu ayahnya –Zaini-
yang juga memiliki pekerjaan yang sama agar dapat membantu meringankan beban
pekerjaan ayahnya untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Pada aspek
penghasilannya baik sebelum maupun sesudah dibantu Agus dalam bekerja
pendapatan yang diperoleh tetap sama, yaitu rata-rata sekali kerja mendapatkan
keuntungan Rp 50.000 per sekali miyang. Selain berharap dapat membantu
meringankan pekerjaan dia juga berharap dari penghasilan itu dapat digunakan
untuk membeli motor agar dapat dipakai untuk keperluan Agus sehari-hari.
Dalam
aktivitas kesehariannya, mulai jam 08.00–12.00 Agus berkumpul dengan
teman-temannya di Warung Kopi untuk bermain, kemudian pada jam 12.00-15.00 dia
istirah di rumah, jam 15.00-18.00 dia bermain volly di lapangan volly di dekat
rumahnya bersama teman-temannya, jam 18.00-19.30 dia bersama orang tuanya
menyiapkan alat-alat untuk miyang, pada jam 19.30-24.00 dia bersama
orang tuang berangkat ke tambak untuk miyang, dan pada jam 24.00-08.00
Agus tidur. Aktivitas ini dilakukan Agus secara berulang-ulang dan terus
menerus hingga saat ini.
Fenomena
atau isu ini menjadi seksi untuk dikaji adalah karena pada umumnya banyak
laporan penelitian, buku, artikel, jurnal dan sebagainya yang melaporkan
pergaulan teman sebagai salah satu faktor penyebab anak putus sekolah. Akan
tetapi hampir belum ada laporan yang menjelaskan bagaimana proses terjadinya
relasi anak putus sekolah dengan teman-temannya yang kemudian mengakibatkan seorang
anak tidak melanjutkan sekolah.
Sehingga
dalam hemat penulis, kiranya masalah anak putus sekolah perlu dikaji bagaimana
proses dan pola interaksi anak putus sekolah dengan komunitasnya sehingga dapat
menjadi penyebab anak tersebut tidak melanjutkan sekolahnya. Hal ini sangat
penting dikaji melalui pendekatan sosiologis baik secara makro maupun mikro
untuk dapat menjelaskan mengapa seorang anak –agus- lebih memilih
mempertahankan diri sebagai anggota kelompok atau komunitas dalam interaksinya
daripada resisten terhadap kelompok atau komunitasnya.
B.
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas menurut penulis yang menarik adalah relasi antara anak
putus sekolah –Agus- dengan teman sekelompok atau komunitasnya, sehingga kajian
masalah dalam makalah ini akan difokuskan pada bagaimana pertukaran sosial yang
terjadi antara agus –anak putus sekolah- dengan komunitasnya ?
C.
Tujuan Pembahasan
Kajian
ini berbeda dengan kajian-kajian lainnya karena tidak menempatkan anak putus
sekolah sebagai isu utama namun lebih meletakkan relasi sosial dari anak putus
sekolah sebagai subject matter. Kelebihan dari kajian ini yang dijadikan
sebagai tujuan penelitian ialah terletak pada penjelasan tentang pertukaran
sosial khas yang terjadi antara anak putus sekolah dengan komunitasnya di desa
Pangkah Kulon. Jauh lebih dalam lagi, penjelasan pertukaran sosial itu tidak
hanya berhenti pada penjelasan tentang bentuk pertukaran dan alasannya saja,
namun juga secara khusus akan menjelaskan situasi dan alasan yang menyebabkan
pertukaran sosial tersebut dapat lestari.
D.
Uraian
1.
Putus Sekolah
Pengertian Anak
Putus Sekolah
Seorang anak dapat
dikatakan putus sekolah apabila ia tidak dapat menyelesaikan program suatu
sekolah secara utuh yang berlaku sebagai suatu sistem. Di indonesia sejak
ditetapkan wajib belajar 9 tahun, maka anak yang lulus SD dan tidak melanjutkan
pada jenjang SLTP maka termasuk kategori anak putus sekolah.[11] Putus
sekolah dapat didefinisikan sebagai proses berhentinya siswa secara terpaksa
dari suatu lembaga pendidikan tempat dia belajar. Artinya adalah terlantarnya
anak dari sebuah lembaga pendidikan formal, yang disebabkan oleh berbagai
faktor, salah satunya kondisi ekonomi keluarga yang tidak memadai.[12]
Sedangkan menurut Gunawan, putus sekolah merupakan predikat yang diberikan kepada
mantan peserta didik yang tidak mampu menyelesaikan suatu jenjang pendidikan,
sehingga tidak dapat melanjutkan studinya ke jenjang pendidikan berikutnya.[13]
Faktor-Faktor Anak
Putus Sekolah
Masalah
anak putus sekolah tentu saja bukanlah terjadi tanpa sebab, tetapi ada
faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya masalah anak putus sekolah.
Burhannudin menyatakan bahwa setidaknya ada enam faktor yang menyebabkan
terjadinya putus sekolah khususnya pada jenjang pendidikan dasar yaitu faktor
ekonomi, minat untuk bersekolah rendah, perhatian orang tua yang kurang,
fasilitas belajar yang kurang mendukung, faktor budaya dan lokasi atau jarak
sekolah.[14]
Selain
itu, menurut Musfiqon faktor yang mempengaruhi anak putus sekolah adalah status
ekonomi, jenis pendidikan siswa (umum atau kejuruan), kehamilan, kemiskinan,
ketidaknyamanan, kenakalan siswa, penyakit, minat, tradisi/adat istiadat,
pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, usia orang tua, jumlah tanggungan
keluarga, kondisi tempat tinggal serta perhatian orang tua.[15]
Sedangkan
menurut Muller, kemiskinan dan ketimpangan struktur institusional adalah
variabel utama yang menyebabkan kesempatan masyarakat untuk memperoleh
pendidikan menjadi terhambat.[16]
Mengulang atau tidak naik kelas –meski tidak selalu- biasanya juga dapat
menjadi awal dari masalah siswa putus sekolah.[17]
Sedangkan keterlibatan anak-anak diusia sekolah untuk turut membantu orang tua
mencari nafkah akan cenderung mempersempit kesempatan anak untuk menikmati
pendidikan secara penuh. Sebab keterlibatan anak dalam membantu orang tua
mencari nafkah tidak hanya sekadar kegiatan belajar di sekolah tetapi juga
kesempatan belajar dirumah, termasuk membaca dan mengerjakan PR.[18]
Marzuki[19]
mengungkapkan bahwa anak putus sekolah memiliki karakteristik yang khas, antara
lain: a) berawal dari tidak tertib mengikuti pelajaran sekolah; b) akibat
prestasi belajar yang rendah, pengaruh keluarga, atau pengaruh teman sebaya; c)
kegiatan belajar di rumah tidak tertib, tidak disiplin dan kurangnya pengawasan
orang tua; d) perhatian terhadap pelajaran kurang dan mulai didominasi oleh
kegiatan lain yang tidak ada hubungannya dengan pelajaran; e) kegiatan bermain
dengan teman sebayanya meningkat pesat; dan f) mereka yang putus sekolah
kebanyakan berasal dari keluarga ekonomi lemah dan berasal dari keluarga yang
tidak teratur.
2.
Teori Pertukaran Sosial Peter M. Blau
Teori pertukaran
adalah teori yang berkaitan dengan tindakan sosial yang saling memberi atau
menukar obyek-obyek yang mengandung nilai antar individu berdasarkan tatanan
sosial tertentu[20]
dengan tujuan untuk memahami struktur sosial berdasarkan analisis proses sosial
yang mempengaruhi hubungan antara individu dan kelompok.[21] Adapun
obyek yang dipertukarkan itu bukanlah hanya benda yang nyata tetapi bisa juga
hal-hal yang tidak nyata.
Blau mengatakan
bahwa pertukaran sosial dapat diamati dalam kehidupan keseharian kita. Konsep
ini tidak hanya dijumpai dalam market relations namun juga dalam
hubungan pertemanan. Blau menjelaskan bahwa tidak semua perilaku manusia
dibimbing oleh pertimbangan pertukaran sosial, tetapi dia berpendapat
kebanyakan memang demikian.[22]
Teori Blau pada
dasarnya diarahkan pada perubahan dalam proses-proses sosial yang terjadi
sementara orang bergerak dari struktur sosial yang sederhana menuju struktur sosial
yang lebih kompleks, dan pada kekuatan sosial baru yang tumbuh dari yang
terakhir.[23]
Oleh karenanya Blau kemudian menaruh perhatian terhadap analisis tentang
perkumpulan sosial, proses yang mempengaruhi dan bentuk-bentuknya. Ia juga
memandang proses dasar dalam perkumpulan-perkumpulan sebagaimana pertukaran
sosial dimulai ketika individu –tingkat mikro- bergerak menuju masyarakat
–tingkat makro. Ia berupaya membangun teori sosial yang induktif dan umum.
Blau menyadari akan
bekerjanya proses–proses dinamis yang membentuk struktur. Kekuatan–kekuatan
dialektis tersebut ada hubungannya dengan: (1) dilema (2) diferensiasi (3)
dinamika dan (4) proses dialektis. Dilema merupakan kekuatan dialektis dari
perubahan sosial yang membutuhkan pilihan diantara berbagai alternatif yang
sama–sama diinginkan. Diferensiasi ialah pertukaran dalam menyatakan adanya
persaingan untuk memperoleh sumber–sumber langka. Dinamika kehidupan sosial
yang terorganisir bersumber dari kekuatan–kekuatan penantang. Dialektika adalah
kekuatan kontadiktoris yang terdapat dalam kehidupan sosial.[24] Oleh
karena itu, dalam banyangannya, dia menyuguhkan hukum empat tahap yang dimulai
dari pertukaran antar pribadi –mikro- ke struktur –makro- hingga ke perubahan
sosial. Tahap-tahap tersebut ialah pertukaran atau transaksi antar individu
yang meningkat ke diferensiasi status dan kekuasaan yang mengarah ke legitimasi
dan pengorganisasian yang menyebarkan bibit pada oposisi dan perubahan.[25]
Pertama, pertukaran atau
transaksi antar individu meningkat. Gagasan pertukaran sosial ini diawali oleh
perhatiannya tentang fenomena daya tarik individu terhadap satu sama lain serta
keinginan mereka akan berbagai jenis social reward. Keinginan untuk
memperoleh social reward ini merupakan sesuatu yang bersifat given
dan merupakan asal usul struktur sosial. Di dalam karyanya berjudul Exchange
And Power In Social Life Blau mengajukan sebuah pertanyaan ”apakah yang
menarik individu kedalam asosiasi”? Blau menjawab “mereka tertarik pada
pertukaran karena mengharapkan ganjaran yang instrinsik maupun ekstrinsik”.[26] Dalam
hal ini ada dua syarat yang harus dipenuhi bagi perilaku yang menjurus pada
pertukaran sosial: a) perilaku tersebut harus berorientasi pada tujuan-tujuan
yang hanya dapat dicapai melalui interaksi dengan orang lain; dan b) perilaku
harus bertujuan untuk memperoleh sarana bagi pencapaian tujuan-tujuan tersebut.[27]
Pertukaran sosial merupakan proses yang lebih kompleks dari perkumpulan sosial
yang berawal dari satu perkumpulan yang sederhana, yaitu munculnya organisasi
sosial merupakan proses induktif yang dimulai dari proses proses mikro.
Individu di dalam kelompok kecil saling tertarik pada asosiasi disebabkan oleh
keinginan memperoleh berbagai jenis social reward. Meski di dalam
kelompok kecil pertukaran dapat merupakan prinsip yang mengarahkan, tetapi
berfungsinya organisasi-organisasi besar tidak dapat diredusir pada tesis
psikologis.[28]
Meski keinginan terhadap social reward pada mulanya saling menarik
individu-individu ke dalam asosiasi, tetapi bibit-bibit dari fenomena yang akan
lahir mulai kelihatan. Dalam tahap awal pembentukan kelompok, individu-individu
mencoba menunjukkan nilai mereka bagi kelompok. Sebab para anggota akan memberi
nilai sumbangan yang berbeda, maka kemudian berkembanglah perbedaan-perbedaan
status.[29]
Interaksi sosial memiliki kekuatan untuk merangsang terjadinya transaksi
pertukaran. Kekuatan ini berakar dalam proses psikologi manusia yang primitif.
Oleh karenanya atraksi dan motivasi reward meningkatkan pertukaran dari
sumber-sumber langkah pertama dalam proses perkumpulan sosial.
Kedua, diferensiasi
status dan kekuasaan. Setiap kali pertukaran terjadi, pembedaan terhadap status
dan kekuasaan pun dimulai. Dengan demikian individu yang memiliki kemampuan
yang dibutuhkan oleh orang lain dan sedikit banyak tidak tergantung pada
mereka, bisa menciptakan suatu situasi yang hasrat pemenuhan kebutuhan mereka
memerintahkan untuk memenuhi keinginan individu tersebut. Pada konteks ini
pertukaran membangkitkan pembedaan status dan kekuasaan.
Ketiga, legitimasi dan
pengorganisasian. Jika pemenuhan kebutuhan tersebut lebih banyak untung
daripada ruginya, persetujuan kolektif terhadap pihak yang berkuasa cenderung
untuk muncul, menggiring terjadinya konsensus dan pada akhirnya melegitimasi
diri sang penguasa. Untuk itu otoritas yang sah merupakan basis organisasi yang
berwenang untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang bermacam-macam, stabilitas
organisasi, dan pelembagaan nilai, norma, prinsip dan penyebaran pengetahuan.
Ketika persetujuan terhadap kekuasaan hanya terarah pada tangan satu orang,
mungkin juga ada orang-orang yang merasa dieksploitasi dan menerima perlakuan
yang tidak adil. Mereka mungkin mengkomunikasikan perasaan marah, frustasi, dan
saling menyerang satu sama lain yang kemudian menghasilkan ketidaksetujuan
kolektif terhadap kekuasaan dan muncul kekuatan oposisi yang menentang terhadap
kelompok yang sedang berkuasa atau yang mengendalikan situasi.
Keempat, Oposisi dan
perubahan. Langkah keempat ini merupakan akibat dari legitimasi dan
pengorganisasian. Ketika kekuasaan terletak pada tangan satu orang, proses
timbal balik dalam pertukaran sosial mungkin menghasilkan suatu penyeimbangan
terhadap berbagai kekuatan yang ada serta suatu ketegangan menuju keseimbangan
dalam tata hubungan masyarakat. Di samping itu muncul pada kekacauan sebagai
ongkos sosial yang harus dibayar karena terjadi ketidakseimbangan dalam tata
hubungan masyarakat. akhirnya hal itu menggiring munculnya oposisi, konflik dan
perubahan sosial. Al hasil, aktivitas yang serentak dari bermacam kekuatan
penyeimbang cenderung memproduksi ketidakseimbangan dalam kehidupan sosial,
menghasilkan sebuah dialektika terus-menerus antara ketimbalbalikan dan
ketidakseimbangan. Pertukaran menggiring kedua hal struktur dan prosesi, serta
statis dan dinamis.[30]
Sebagaimana
yang diutarakan di atas, bahwa tipologi Blau berupaya mempresentasikan sebuah
model realitas sosial yang terdiri dari elemen-elemen sebagai berikut: individu
yang dipengaruhi oleh perilaku sosial dan motivasi mencari imbalan. Kemudian terjadilah
proses pertukaran sosial, diferensiasi yang dihasilkan antara status dan
kekuasaan, serta organisasi dan legitimasinya yang menghasilkan keseimbangan (equilibrium).
Selanjutnya ketidak seimbangan menggiring munculnya oposisi dan perubahan
serta menghasilkan dinamika sosial.
Gambaran Hukum 4
Tahap dalam Mikrostruktur ke Makrostruktur
Pada tingkat
individu –mikrostruktur- Blau[31]
tertarik pada konsep pertukaran sosial yang terjadi pada tindakan yang
tergantung pada reaksi pemberian reward dari orang lain di mana tindakan
individu ini akan segera berhenti jika reaksi yang tak diharapkan tidak
terpenuhi. Seorang saling tertarik karena berbagai alasan yang membujuk untuk
membangun kelompok sosial. Segera setelah ikatan awal terbantuk, reward
yang saling mereka berikan akan membantu mempertahankan dan meningkatkan
ikatan. Situasi sebaliknya mungkin juga dapat terjadi karena reward
tidak mencukupi, ikatan kelompok melemah atau bahkan hancur. Oleh sebab itu
jika terjadi ketimpangan dalam pertukaran reward, maka akan timbul
perbedaan dalam kelompok.
Selanjutnya jika
seseorang membutuhkan sesuatu dari orang lain, tetapi tidak memberikan apapun
yang sebanding sebagai tukarnya, maka menurut Blau terdapat empat kemungkinan
yang terjadi : a) orang itu dapat memaksa orang lain untuk membantunya; b)
orang itu akan mencari sumber lain untuk memenuhi kebutuhannya; c) orang itu
dapat mencoba terus bergaul dengan baik tanpa mendapatkan apa yang
dibutuhkannya dari orang lain; dan d) orang itu mungkin akan menundukkan diri
terhadap orang lain dan dengan demikian memberikan orang lain itu penghargaan
yang sama dalam antar hubungan mereka, dan kemudian dapat menarik penghargaan
yang diberikan itu ketika menginginkan orang yang ditundukkan itu melakukan sesuatu
–ciri kekuasaan.[32]
Dalam interaksi
sosial pada mulanya terjadi di dalam kelompok sosial. Individu tertarik pada
satu kelompok tertentu karena merasa bahwa saling berhubungan dapat menawarkan reward
lebih banyak dari pada yang ditawarkan kelompok lain. Karena ketertarikan itu
ia ingin diterima. Untuk dapat diterima mereka harus menawarkan reward
kepada anggota kelompok yang lain. Reward ini merupakan simbol yang
dapat menunjukkan kesan kepada anggota kelompok bahwa anggota yang bergabung
dengan orang baru akan mendapat keuntungan hingga akhirnya hubungan ini menjadi
kuat. Dari upaya ini kemudian mengakibatkan persatuan kelompok, kemudian
persaingan dan akhirnya diferensiasi sosial. Sebab akan terjadi perebutan kesan
yang diberikan oleh anggota kepada kelompoknya sesuai dengan kemampuan mereka
untuk menawarkan reward.
Pada tahap awal
pembentukan kelompok persaingan untuk mendapatkan penghargaan sosial di
kalangan anggota kelompok sebenarnya berperan sebagai tes untuk menyaring
pemimpin kelompok yang potensial. Orang yang mampu memberikan reward
terbaik, paling besar peluangnya untuk menempati posisi pemimpin. Orang yang
kurang mampu memberikan reward ingin terus menerima reward yang
ditawarkan oleh pemimpin potensial, dan ini biasanya lebih dari pengganti kerugian
atas kehawatiran mereka akan menjadi tergantung pada calon pemimpin itu. Dan
pada akhirnya individu yang lebih besar kemampuannya memberi reward akan
tampil sebagai pemimpin dan kelompok pun kemudian terdiferensiasi.
Selanjutnya
diferensiasi tak dapat terhindarkan dalam kehidupan kelompok sehingga menjadi
pemimpin dan pengikut menimbulkan kebutuhan baru akan integrasi. Segera setelah
mereka mengakui status pemimpin kebutuhan pengikut akan integrasi semakin besar
juga. Mulanya pengikut akan memamerkan kualitas mereka yang paling mengesankan.
Kini untuk mencapai integrasi dengan anggota pengikut, pemimpin mempertontonkan
kelemahannya. Dalam hal ini ia menyatakan kepada publik bahwa mereka tak ingin
lagi menjadi pemimpin. Pencelaan diri ini kemudian menimbulkan simpati dan
dukungan sosial dari pemimpin yang lain. Pemimpinpun kemudian terlibat dalam
pencelaan diri sendiri pada saat ini untuk meningkatkan integrasi kelompok
secara menyeluruh. Dengan pengakuan tersebut maka pemimpin mengurangi
kesenjangan bawahannya dan menunjukkan bahwa ia tidak berupaya untuk
mengendalikan setiap bidang kehidupan kelompok. Jenis kekuatan ini membantu
mengintegrasikan kelompok kembali meski diferensiasi status baru muncul.
Blau kemudian
bergerak pada pembahasan kemasyarakatan –makrostruktur- yang kemudian dibedakan
antara dua jenis organisasi sosial. Organisasi sosial jenis pertama lahir dari
proses pertukaran dan persaingan yang dibahas di atas. Jenis organisasi sosial
kedua tak muncul begitu saja, tetapi disengaja didirikan untuk mencapai
keuntungan optimal. Dalam kedua jenis organisasi sosial ini terdapat kelompok
pemimpin dan kelompok oposisi di dalamnya. Pada jenis organisasi sosial yang
pertama kedua sub kelompok itu lahir dari proses interaksi. Sedangkankan jenis
organisasi sosial kedua, kelompok pemimpin dan kelompok oposisi dibangun dalam
struktur organisasi. Diferensiasi antar kelompok-kelompok dalam kedua jenis
organisasi sosial itu merupakan fakta yang tak terelakkan dan meletakkan
landasan untuk beroposisi dan konflik dalam organisasi antara pemimpin dan
pengikut.
Nilai dan Norma
Menurut Blau
mekanisme yang menegahi antara struktur sosial yang kompleks itu adalah norma
dan nilai atau yang disebut dengan value concensus. Konsensus atas nilai
dan norma digunakan sebagai media kehidupan sosial dan sebagai matarantai yang
menghubungkan transaksi sosial. Nilai dan norma memungkinkan pertukaran sosial
tak langsung dan menentukan proses integrasi dan diferensiasi sosial dalam
struktur sosial yang kompleks dan menentukan perkembangan organisasi dan
reorganisasi sosial di dalamnya.[33] Dalam
mekanisme ini konsensus nilai mengganti pertukaran tak langsung dengan
pertukaran langsung. Seorang anggota menyesuaikan diri dengan norma kelompok
dan mendapat persetujuan karena penyesuaian dari itu dan mendapat persetujuan
implisit karena kenyataan bahwa penyesuaian diri memberikan kontribusi atas
pemeliharaan dan stabilitas sosial. Dalam hal inilah kelompok dengan individu
terlibat dalam suatu hubungan pertukaran.
Blau mengutarakan
empat tipe nilai: a) nilai-nilai yang bersifat khusus berfungsi sebagai media
bagi kohesi dan solidaritas sosial; b) ukuran-ukuran tentang pencapaian dan
bantuan sosial yang bersifat umum melahirkan sistem stratifikasi sosial; c)
nilai-nilai yang disahkan itu merupakan medium pelaksanaan wewenang dan
organisasi usaha-usaha sosial berskala besar untuk mencapai tujuan-tujuan
kolektif; dan d) gagasan-gagasan oposisi adalah media reorganisasi dan
perubahan, oleh karena itu hal ini dapat menimbulkan dukungan bagi gerakan
oposisi dan memberi legitimasi bagi kepemimpinan mereka.[34]
Sedangkan konsep
norma menurut Blau mengalihkan perhatiannya ketingkat pertukaran antara
individu dan kelompok, tetapi konsep nilai mengalihkan perhatiannya ke tingkat
kehidupan kemasyarakatan pada skala terluas dan ke upaya menganalisis hubungan
antara kolektivitas. nilai ini membantu mempersatukan anggota kelompok
berkenaan dengan sesuatu hal. Nilai ini dipandang sebagai kesamaan perasaan
ditingkat kolektif yang mempersatukan individu atas hubungan tatap muka. Namun
nilai ini dapat memperluas ikatan pergaulan melampaui batas daya tarik personal
belaka. Nilai partikularistik ini juga membedakan orang menjadi dua golongan,
yakni yang termasuk anggota kelompok dan yang bukan termasuk anggota kelompok.
Oleh karena itu nilai dapat meningkatkan fungsi mempersatukannya.[35] Unit
analisis Blau memusatkan perhatian pada faktor yang mempersatukan unit-unit
sosial pada tingkat skala luas dan faktor yang memisahkannya kedalam
bagian-bagian kecil yang jelas menjadi sasaran perhatian pakar fakta sosial
tradisional.
E.
Gambaran Umum Lokasi Kajian
1.
Memahami Demografi dan Geografi Desa Pangkah
Kulon
Desa Pangkah Kulon
merupakan sebuah Desa yang masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Ujung
Pangkah, Kabupaten Gresik, Provinsi Jawa Timur. Desa ini dibagi menjadi 4
(empat) Dusun yaitu Dusun Krajan 1, Dusun Krajan 2, Dusun Kalingapuri dan Dusun
Druju, dari 4 Dusun tersebut dibagi menjadi 11 RW dan 42 RT. Sedangkan Secara
geografis sebelah barat Desa Pangkah Kulon berbatasan dengan Desa Banyu Urip,
di sebelah Timur berbatasan dengan Desa Pangkah Wetan, disebelah Utara
berbatasan dengan Laut Jawa, dan sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Kebon
Agung.
Berdasarkan data
monografi desa pada bulan Desember 2012 bahwa secara umum desa Pangkah Kulon
memiliki luas tanah 1.976.91 Ha yang meliputi tanah sawah seluas 1,51 Ha, tanah
kering 143.31 Ha, tanah pekarangan 60,09 Ha, tanah basah 1.671.90 Ha, tanah
fasilitas umum 60.00 Ha, tanah tempat pemukiman desa 5.00 Ha, bangunan sekolah
2.50 Ha, pertokoan 1.75 Ha, fasilitas pasar 0.50 Ha, jalan 3.85 Ha dan tanah
hutan 25.00 Ha.
Dilihat dari
kondisi geografis, desa Pangkah Kulon memiliki ketinggian tanah dari permukaan
air laut sekitar 2 Mdl, dengan suhu rata-rata harian 320 C dan curah hujan 1000
Mm, serta jumlah bulan hujan 6 bulan dengan bentang wilayah datar dan tepi
pantai (pesisir).
Desa Pangkah Kulon
merupakan daerah pantai atau pesisir bebas banjir yang mana jarak desa ke ibu
kota kecamatan terdekat sekitar 0,3 Km. Untuk menjangkaunya akan menghabiskan
waktu 5 menit jika dengan kendaraan bermotor dan jika dengan berjalan kaki 15
menit. Sedangkan jarak ke ibu kota kabupaten terdekat 30 Km dengan lama tempuh
dengan kendaraan bermotor 1 jam. Jarak ke ibu kota provinsi 50 Km dengan jarak
tempuh ke ibu kota provinsi dengan kendaraan bermotor menghabiskan waktu kurang
lebih 2 jam.
Menurut data
kependudukan tahun 2012 jumlah penduduk Desa sekitar 2.190 KK yang terdiri dari
4061 jiwa laki - laki, dan 4010 jiwa perempuan (50,31 % laki – laki dan 49,68 %
), sedangkan sebaran penduduknya, di Dusun Krajan 1 terdiri dari 1022 jiwa
laki-laki dan 1467 jiwa perempuan, di Dusun Krajan 2 terdiri dari 1483 jiwa
laki-laki dan 1467 jiwa perempuan, di Dusun Kalingapuri terdiri dari 334 jiwa
laki-laki, dan 319 jiwa perempuan, dan Dusun Druju terdiri dari 1222 jiwa
laki-laki dan 1232 jiwa perempuan.
2.
Kondisi Ekonomi, Sosial dan Politik Masyarakat
Desa Pangkah Kulon
Dilihat dari
tingkat ekonominya masyarakat Desa Pangkah Kulon termasuk desa yang memiliki
tingkat kemiskinan yang tinggi. Dari jumlah 2.190 KK di atas, sejumlah 285 KK
tercatat sebagai Pra Sejahtera, 637 KK tercatat Keluarga Sejahtera I, 679 KK
tercatat Keluarga Sejahtera II, 394 KK tercatat Keluarga Sejahtera III, 16 KK
sebagai sejahtera III plus.[36] Jika KK
golongan Pra-sejahtera dan KK golongan KS I digolongkan sebagai KK golongan
miskin, maka lebih 45% KK Desa Pangkah Kulon adalah keluarga miskin. Hal ini
disebabkan ketidakberdayaan masyarakat dalam mengelola potensi sumber daya dan
ketidaksiapan sumber daya manusia menerima pemberdayaan.[37]
Mayoritas
masyarakat Desa Pangkah Kulon bekerja sebagi nelayan dan petani tambak, hal itu
dikarenakan lokasi Desa yang berdekatan dengan laut sehingga penggunaan lahan
di Desa Pangkah Kulon sebagian besar diperuntukkan sebagai tambak dan
pertanian. Namun hal ini tidak lantas membawa dampak yang signifikan terhadap
perekonomian masyarakat, hal itu disebabkan sebagian besar nelayan di Desa ini
tidak mempunyai sarana sendiri –Perahu, dll- sehingga dengan kondisi tersebut
mereka harus menjual hasil tangkapannya kepada pemilik kapal/ perahu dengan
harga yang sudah ditentukan oleh juragan –perahu- yang sudah pasti harga
tersebut jauh lebih murah dari harga yang ada di pasaran.
Dengan kondisi
tersebut membuat perekonomian nelayan di Desa Pangkah Kulon memprihatinkan,
karena untuk bisa menyediakan makanan bagi keluarganya kaum Ibu tidak jarang
harus menunggu suami pulang dari melaut dan mejual hasil laut terlebih dahulu.
Untuk membantu
perekonomian keluarga maka banyak Ibu-Ibu yang membuka usaha, baik mengolah
hasil laut maupun usaha dibidang lain. Beberapa usaha yang dijalankan Ibu di
Desa ini antara lain : pracangan, jual pulsa, membuat dan menjual krupuk ikan,
membuat dan menjual kue gapit dan opak, membuat petis, membuat terasi, jual
nasi (warung)/ gorengan, penjahit, isi ulang air galon, dagang ikan segar, jual
bensin dan rokok, tukang kredit barang/ mendreng.[38]
Di samping
program–program dari pemerintah yang diperuntukkan untuk menanggulangi
kemiskinan. Saat ini ada satu perusahaan yang peduli dengan kondisi masyarakat
Desa Pangkah Kulon yaitu HESS, sebuah perusahaan yang bergerak dalam
eksploirasi minyak. Perusahaan ini banyak membantu masyarakat dalam
meningkatkan kapasitas SDM dan perekonomian lewat pemberian dana hibah yang
diperuntukkan buat simpan pinjam pelatihan-pelatihan manajemen kantor untuk
karang taruna, pelatihan guru, dan pelatihan perempuan seperti tata boga,
pengembangan membuat ketrampilan, dan sebagainya.[39]
Tabel 2.1
Mata Pencaharian Masyarakat Pangkah Kulon
(Sumber : Profil Desa Pangkah Kulon 2012)
No.
|
Mata Pencaharian Pokok
|
Jumlah
|
|
Lk
|
Pr
|
||
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
|
Petani
Buruh tani
Buruh migran
PNS
Pengrajin industri rumah tangga
Pedagang keliling
Peternak
Nelayan
Montir
Dokter swasta
Bidan swasta
Perawat swasta
Pembantu rumah tangga
TNI
POLRI
Pensiunan PNS/TNI/POLRI
Pengusaha kecil dan Menengah
Dosen/ Guru swasta
Arsitek
Karyawan Perusahaan Swasta
Karyawan perusahaan Pemerintah
Buruh nelayan
Ojek
|
301
222
86
23
1
18
5
685
19
1
-
-
2
3
1
10
202
95
2
126
6
179
12
|
25
32
39
18
9
29
-
-
-
1
3
5
35
-
-
-
211
103
-
19
2
4
-
|
Penduduk usia
produktif pada usia 20-49 tahun Desa Pangkah Kulon terdapat sekitar 4.3006 atau
hampir 51,8%. Hal ini merupakan modal berharga bagi pengadaan tenaga produktif
dan SDM. Namun dalam kenyataannya pada aspek usia tenaga kerja, mulai dewasa,
remaja dan anak-anak hampir semuanya terlibat dalam kerja produktif.
Tabel 2.2.
Usia Tenaga Kerja
(Sumber : Profil Desa Pangkah Kulon 2012)
No.
|
Tenaga Kerja
|
Laki-laki
|
Perempuan
|
1.
|
Penduduk usia 18-56 tahun
|
2.603
|
2.528
|
2
|
Penduduk usia 18-56 tahun yang bekerja
|
1.678
|
1.360
|
3
|
Penduduk usia 18-56 tahun yang belum atau
tidak bekerja
|
925
|
1.168
|
4
|
Penduduk usia 0-6 tahun
|
926
|
896
|
5
|
Penduduk masih sekolah 7-18 tahun
|
213
|
281
|
6
|
Penduduk usia 56 tahun ke atas
|
303
|
405
|
Dilihat dari aspek
sosial, masyarakat desa Pangkah Kulon merupakan masyarakat yang memiliki
karakteristik sebagai masyarakat homogen. Hal ini sesuai dengan letak
georgrafis desa sebagai daerah pesisir dan pedesaan yang memiliki kecenderungan
dan karakter individu yang sama. Sebagai masyarakat pesisir, masyarakat Pangkah
Kulon memiliki rasa kekeluargaan dan rasa gotong royong yang kuat. Sehingga
masyarakat Pangkah Kulon memiliki rasa solidaritas tinggi terhadap kelompoknya.[40]
Sedangkan pada
aspek politik masyarakat Pangkah Kulon sangat aktif, hal itu bisa dilihat pada
tabel mengenai tingkat partisipasi politik masyarakat desa Pangkah kulon, yang
dimulai dari pemilihan Kepala Desa, Gubernur, Bupati, Legislatif, bahkan sampai
tingkat pemilihan Presiden.
Tabel 2.3.
Tingkat Partisipasi Politik
(Sumber : Profil Desa Pangkah Kulon 2012)
Tingkat Partisipasi
Politik
|
Pemilu
Kepala
Desa
|
Pemilu
Kepala
Gubernur
|
Pemilu
Kepala
Kabupaten
|
Pemilu
Kepala
Parlemen
|
Pemilu
Presiden
|
Jumlah wanita
yang memiliki
hak pilih
|
2553
|
2770
|
2907
|
2776
|
2707
|
Jumlah wanita
yang memilih
|
2548
|
2723
|
2825
|
2778
|
2731
|
Jumlah pria yang
memiliki hak
pilih
|
2170
|
2354
|
2246
|
2359
|
2334
|
Jumlah pria yang
Memilih
|
2165
|
2357
|
2147
|
2236
|
2321
|
3.
Kondisi Pendidikan Masyarakat Desa Pangkah Kulon
Dari
jumlah masyarakat di atas mayoritas penduduk yang usianya 35 tahun ke atas
kebanyakan berpendidikan SMP dan sedikit SMA, sedangkan yang usia 35 ke bawah
saat ini sudah ada beberapa yang lulusan S1 dan beberapa orang yang saat ini
menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi. Namun demikian menurut data dari Desa
ternyata angka putus sekolah pada anak usia sekolah (wajib belajar) masih cukup
tinggi.[41]
Tabel 2.4.
Tingkat Pendidikan
Masyarakat Pangkah Kulon
(Sumber : Profil
Desa Pangkah Kulon 2012)
No.
|
Tingkat Pendidikan Penduduk
|
Jumlah
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
|
Usia 3-6 yang belum masuk TK
Usia 3-6 tahun yang sedang TK/Playgroup
Usia 7-18 tahun yang sedang sekolah
Usia 18-56 tahun yang tidak pernah sekolah
Usia 18-56 tahun yang pernah SD tapi tidak tamat
Tamat SD/sedarajat
Jumlah usia 12-56 tahun tidak tamat SLTP
Jumlah usia 18-56 tahun tidak tamat SLTA
Tamat SMP/sedarajat
Tamat SMA/sederajat
Tamat D-1/sedarajat
Tamat D-2/ sedarajat
Tamat D-3/ sedarajat
Tamat S-1/sedarajat
Tamat S-2/ sedarajat
Tamat SLB A
Tamat SLB B
|
102
289
1624
42
194
1696
285
275
1101
1534
17
22
40
335
7
2
3
|
Di sisi
lain, sarana dan prasarana pendidikan di desa Pangkah Kulon juga kurang
representatif. Baik sarana prasarana pendidikan maupun sarana dan prasarana
pendidikan islam bagi masyarakat.
Tabel 2.5.
Sarana dan
Prasarana Pendidikan Umum
(Sumber : Profil
Desa Pangkah Kulon 2012)
No.
|
Prasarana Pendidikan
|
Jumlah
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
|
Playgroup
TK (Taman Kanak-kanak)
SD/Sederajat
SMP Sederajat
SMA/sederajat
PTN
PTS
SLB
|
7
4
2
1
1
-
-
1
|
Tabel 2.6.
Sarana dan Prasarana Pendidikan Islam
(Sumber : Profil Desa Pangkah Kulon 2012)
No.
|
Sekolah Islam
|
Jumlah
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
|
Raudhatul Athfal
Madrasah Ibtidaiyah
Madrasah Tsanawiyah
Madrasah Aliyah
Ponpes
Perguruan Tinggi
|
2
3
1
1
2
-
|
4.
Riwayat Anak Putus Sekolah –Agus
Agus
lahir di Gresik pada tanggal 05 Mei 1995 dari pasangan suami istri yang bernama
Zaini dan Nur. Dia tinggal bersama orang tuanya di dusun Druju desa Pangkah
Kulon kecamatan Ujung Pangkah. Pada aspek pendidikan, Agus menempuh sekolah
dasar di Madrasah Ibtida’iyah (MI) Al Muniroh Ujung Pangkah dan kemudian
melanjutkan pendidikan di Madrasah yang sama pada tahun 2011.
Namun
setelah lulus dari MTs Al Muniroh Ujung Pangkah Agus tidak mau melanjutkan
sekolah pada jenjang SMA. Penyebabnya adalah dia jenuh dengan sekolah yang ada
di desanya –Al Muniroh. Sebab dia berkeinginan menghindari pergaulan dengan
teman-temannya yang ada di desa yang selalu mengajak –dengan sedikit memaksa-
mbolos sekolah ketika MTs dulu. Oleh karena itu dia meminta sekolah di SMK
Assa’adah yang berada di desa Bungah agar mendapat teman baru yang lebih baik
sehingga dia bisa serius untuk belajar. Selain itu dia memilih sekolah di SMK
adalah karena dia punya keinginan dapat mengendarai mobil sehingga suatu saat
dia berharap dapat menjadi sopir. Tetapi orang tuanya tidak mengehendaki Agus
untuk sekolah di SMK Assa’adah Bungah yang disebabkan selain ketiadaan kendaraan
transportasi –sepeda motor- juga disebabkan ketiadaan biaya untuk membiayai
sekolah Agus yang cenderung lebih mahal dari pada sekolah di Al Muniroh Ujung
Pangkah.
Oleh
karenanya Agus lebih memilih tidak sekolah dari pada sekolah di SMA Al Muniroh
yang menyebabkan dia tidak dapat serius belajar karena pergaulan teman-temannya
yang cenderung negatif seperti membolos sekolah, nongkrong di warung kopi
hingga larut malam dan sebagainya. Menurut Agus menghindari pergaulan dengan
teman-teman satu desa merupakan hal yang sangat sulit, sebab teman-temannya
selalu menuntut agar selalu mengikuti semuan ajakan kelompok teman-temannya
tanpa terkecuali. Sebab jika tidak dituruti, maka Agus akan dimusuhi dan
mendapatkan perilaku kekerasan dari kelompok teman-temannya.
Untuk
itu agus lebih memilih untuk tidak sekolah dari pada menghabiskan biaya sekolah
dari orang tuanya, sedangkan agus sendiri tidak serius dalam sekolahnya. selain
itu agus ingin aman dari ancaman dan perilaku kekerasan dari kelompok
teman-temannya.
Selain itu,
dalam pandangan masyarakat desa Pangkah Kulon, seorang anak putus sekolah
merupakan hal yang biasa atau lumrah, sehingga tingkat kepedulian masyarakat
terhadap pendidikan begitu rendah, sebab masyarakat memandangan sekolah
tidaklah begitu penting, begitu pula dengan stakeholder desa Pangkah Kulon.
Sebab pendidikan di percaya belum dapat merubah tingkat kesejahteraan
masyarakat menjadi lebih baik.
Sejak
kecil Agus agus berteman dengan teman-teman komunitasnya hingga saat ini.
Teman-temannya antara lain Aziz, Badrut, Rizal, Jacky, Ulum, Rozak dan beberapa
teman-teman lainnya. Aktivitas yang dilakukan Agus dalam pergaulannya dengan
komunitas antara lain ngopi, olahraga Volly, cangkruk, bermain
kartu, bermain chess dan sebagainya.
Sejak
tamat MTs Al Muniroh Ujung Pangkah hingga saat ini, Agus masih menekuni
pekerjaannya sebagai pencari ikan dan kepiting di tambak –buri/ miyang-
dari pada menganggur di rumah. Dalam bekerja dia membantu ayahnya –Zaini-
yang juga memiliki pekerjaan yang sama agar dapat membantu meringankan beban
pekerjaan ayahnya untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Pada aspek
penghasilannya baik sebelum maupun sesudah dibantu Agus dalam bekerja
pendapatan yang diperoleh tetap sama, yaitu rata-rata sekali kerja mendapatkan
keuntungan Rp 50.000 per sekali miyang. Selain berharap dapat membantu
meringankan pekerjaan dia juga berharap dari penghasilan itu dapat digunakan
untuk membeli motor agar dapat dipakai saat bekerja.
Dalam
aktivitas kesehariannya, mulai jam 08.00–12.00 Agus berkumpul dengan
teman-temannya di Warung Kopi, kemudian pada jam 12.00-15.00 dia istirah di
rumah, jam 15.00-18.00 dia bermain volly di lapangan volly di dekat rumahnya
bersama teman-temannya, jam 18.00-19.30 dia bersama orang tuanya menyiapkan
alat-alat untuk miyang, pada jam 19.30-24.00 dia bersama orang tuang
berangkat ke tambak untuk miyang, dan pada jam 24.00-08.00 Agus tidur.
Dan aktivitas ini dilakukan Agus secara berulang-ulang dan terus menerus hingga
saat ini.[42]
F.
Perspektif Anak Putus Sekolah dan Proses Pertukaran
Sosial
1.
Tahap Pertukaran Sosial Anak Putus Sekolah
dengan Komunitasnya (Tahap Mikrostruktur menuju Makrostruktur)
Dalam
pertukaran sosial, Agus membangun relasi dengan komunitasnya karena dia
memperoleh reaksi dari komunitasnya dalam bentuk pemberian reward. Reward
yang diperoleh Agus dari komunitasnya ialah dalam bentuk non material seperti
banyak teman, penghargaan, rasa kekeluargaan, saling bantu-membantu, tidak
kesepian, dan rasa aman. Dari reward itulah Agus tertarik untuk
bergabung dengan komunitasnya.
Setelah
bergabungnya Agus dalam komunitas tersebut, Agus dan anggota komunitas tersebut
saling memberikan reward antara satu anggota dengan yang lain untuk
mempertahankan dan meningkatkan kualitas persahabatan dan pertemanan dalam
komunitas mereka. Dalam tahap selanjutnya, situasi sebaliknya terjadi, Agus
merasa reward yang mereka berikan tidak sesuai dengan apa yang Agus
harapkan, sebab dalam interaksinya dalam komunitas itu Agus sering diajak untuk
melakukan hal-hal negatif seperti, membolos sekolah, ngopi hingga larut malam,
dan beberapa perilaku lainnya yang sesungguhnya tidak diharapkan oleh Agus
sendiri. Bagi Agus ajakan tersebut tidak dapat terhindarkan, sebab jika tidak
menuruti segala ajakan dari komunitasnya Agus merasa mendapat ancaman dan
bahaya dari komunitasnya. Sehingga Agus memilih untuk mengikuti segala tuntutan
dan ajakan komunitasnya agar dia aman dari ancaman dan tindakan kekerasan dari
anggota komunitasnya. Dari proses inilah kemudian terjadi ketimpangan dalam
pertukaran reward antara Agus dan anggota dalam komunitasnya sehingga
timbul perbedaan dalam komunitas.
Dalam
kaitannya pengambilan keputusan Agus untuk memilih mengikuti ajakan dan
tuntutan teman-temannya, Agus memilih kemungkinan yang ketiga dalam teori
pertukaran sosial peter Blau sebagai reaksi ketika Agus tidak memperoleh reward
yang sebanding dengan cost yang dikeluarkan. Keputusannya yaitu, mencoba
terus bergaul dengan baik tanpa mendapat apa yang dibutuhkannya dari orang
lain.
Dari
keputusan Agus ini kemudian muncul pertanyaan, mengapa Agus tidak memutuskan
memilih kemungkinan pertama,[43] kedua,[44] atau
keempat[45]
berdasarkan kemungkinannya Blau. Jika Agus memilih memutuskan kemungkinan
pertama, maka Agus akan dimusihi dan mendapatkan ancaman kekerasan fisik dari
komunitasnya, selain itu Agus juga tidak mau kehilangan teman. Untuk
kemungkinan kedua sesungguhnya adalah pilihan Agus yang utama, tujuannya adalah
untuk mengurangi cost –tidak serius sekolah, menuruti ajakan teman, dan
sebagainya- yang diberikan Agus kepada komunitasnya dengan cara memilih
melanjutkan sekolah ke SMK Assa’adah Bungah. Dengan sekolah di sekolah tersebut
Agus berharap terhindar dari pergaulan dengan komunitasnya yang cenderung
mengajak pada perilaku negatif dan mengganti komunitasnya di SMK Bungah. Dia di
sana akan mendapat komunitas baru yang dapat memberikan reward kepada
Agus berupaka kesempatan untuk belajar dan sekolah dengan serius. Sedangkan
jika Agus memilih kemungkinan keempat, hanya bisa dilakukan Agus sebagiannya
saja,[46] dan
sebagian yang lain tidak dapat dilakukan Agus karena akan beresiko yang sama
sebagaimana kemungkinan yang pertama.
Dalam
interaksi antara Agus dan komunitasnya, pada mulanya Agus tertarik dengan
komunitas kelompok yang beranggotakan Aziz, Badrut, Rizal, Jacky, Ulum, Rozak dan
beberapa teman-teman lainnya. Alasan ketertarikan agus dengan komunitas itu
ialah karena komunitas itu dapat memberikan reward yang berupa penghargaan,
rasa kekeluargaan, saling bantu-membantu, kesetia kawanan, menghilangkan
kesepian, dan rasa aman yang menurut Agus reward itu lebih banyak yang
ditawarkan daripada komunitas pertemanan yang lain.
Agar
dapat diterima dalam komunitas tersebut, Agus menawarkan reward kepada anggota
komunitasnya dalam bentuk kesetiakawanan dan loyalitas terhadap komunitas. Reward
yang diberikan oleh agus kepada komunitasnya merupakan simbol yang dapat
memberikan kesan kepada anggota komunitasnya bahwa Agus bergabung dengan
komunitas itu akan memberikan banyak manfaat bagi komunitas hingga akhirnya
komunitas pertemanan ini semakin hari semakin kuat.
Dari
upaya Agus ini dan anggota komunitasnya ini kemudian mengakibatkan persatuan
komunitas pertemanan menjadi kuat. Setelah itu dalam perkembangannya terjadi
persaingan antar anggota komunitas, sebab di dalam komunitas tersebut terjadi
perebutan kesan antara satu anggota dengan anggota yang lain dalam komunitasnya
sesuai dengan kemampuan masing-masing anggota untuk menawarkan reward kepada
komunitasnya. Dari persaingan inilah kemudian terjadi diferensiasi dalam
komunitas.
Pada
ahap awal pembentukan komunitas, persaingan Agus untuk mendapat penghargaan
sosial dikalangan anggota komunitasnya sebenarnya berperan sebagai tes dalam
menyaring pemimpin potensial dalam komunitas. Tetapi agus gagal dalam
memberikan kesan kepada anggota kemunitasnya bahwa ia merupakan calon pemimpin
komunitas yang potensial yang disebabkan keterbatasan Agus dalam beberapa
aspek, terutama ekonomi. Sebab dalam realitasnya Agus tidak memiliki motor
sehingga sering kali minta dobonceng oleh anggota komintasnya ketika bepergian
kemanapun. Inilah kemudian yang menjadi alasan kuat kenapa Agus ingin sekali
punya motor sendiri. Selain ketiadaan motor, Agus merupakan anak yang hidup
dalam keluarga yang miskin. Padahal salah satu indikator pemimpin potensial
dalam komunitasnya ialah selain loyalitas calon pemimpin haruslah orang yang
royal. Artinya ia harus mampu mengeluarkan uangnya untuk membiayai segala
aktivitas dalam komunitasnya. Dan tentu saja indikator ini berat untuk
diwujudkan oleh Agus. Sehingga peluangnya untuk menempati posisi pemimpin
komunitas menjadi kecil karena tidak bisa menawarkan reward yang terbaik.
Sehingga
dalam kondisi yang seperti ini, Agus hanya bisa menerima reward yang ditawarkan
oleh pemimpin potensial, yaitu Aziz. Penerimaan reward oleh agus ini merupakan
kompensasi atas kerugian dan kekhawatiran Agus akan terjadi ketergantungan
terhadap pemimpin komunitas –Aziz.[47] Dan
pada akhirnya Aziz menjadi pemimpin komunitas dan komunitaspun kemudian
terdiferensiasi.
Selanjutnya
dari terjadinya diferensiasi dalam komunitas, maka pemimpin –Aziz- dan anggota
komunitas yang salah satunya Agus menimbulkan kebutuhan terhadap integrasi
komunitas. Namun dalam prosesnya berbeda sebagaimana yang digambarkan oleh Blau
yang menyatakan bahwa “diferensiasi tak dapat terhindarkan dalam kehidupan
kelompok sehingga menjadi pemimpin dan pengikut menimbulkan kebutuhan baru akan
integrasi. Segera setelah mereka mengakui status pemimpin kebutuhan pengikut
akan integrasi semakin besar juga. Mulanya pengikut akan memamerkan kualitas
mereka yang paling mengesankan. Kini untuk mencapai integrasi dengan anggota
pengikut, pemimpin mempertontonkan kelemahannya. Dalam hal ini ia menyatakan
kepada publik bahwa mereka tak ingin lagi menjadi pemimpin. Pencelaan diri ini
kemudian menimbulkan simpati dan dukungan sosial dari pemimpin yang lain.
Pemimpinpun kemudian terlibat dalam pencelaan diri sendiri pada saat ini untuk
meningkatkan integrasi kelompok secara menyeluruh. Dengan pengakuan tersebut
maka pemimpin mengurangi kesenjangan bawahannya dan menunjukkan bahwa ia tidak
berupaya untuk mengendalikan setiap bidang kehidupan kelompok”.[48]
Agus dan
pemimpin komunitas –Aziz- membutuhkan integrasi komunitas, tetapi dalam hal ini
Agus-lah yang justru menjadi korban kepentingan integrasi komunitasnya.
Kebutuhan Agus terhadap integrasi muncul pasca keinginannya untuk sekolah ke
SMK Assa’adah Bungah tidak terpenuhi.
Aziz
–pemimpin komunitas- justru tidak pernah mempertontonkan kelemahannya kepada
anggota komunitas bahkan kepada Agus. Tetapi Aziz mempertontonkan superioritas
dan dominasinya terhadap anggota komunitasnya termasuk Agus dengan menyuguhkan reward-reward
yang dapat diberikan oleh Aziz kepada anggotanya sesuai dengan kebutuhan
mereka, dan hal inilah yang kemudian memperoleh simpati dan dukungan sosial
dari anggotanya. Dari hal inilah kemudian anggota berusaha mengurangi
kesenjangannya dengan pemimpin komunitas. Dan mungkin hanya Agus-lah yang
berusaha resisten terhadap pemimpin komunitasnya. Akan tetapi karena
keinginannya untuk keluar dari komunitasnya dan mencari komunitas baru di luar
–bungah- tidak terfasilitasi, maka Agus hanya bisa tunduk pada kehendak dan
keinginan komunitasnya. Dan pada akhirnya Aziz-lah yang mengendalikan setiap
bidang kehidupan komunitas. Dan situasi ini terjadi hingga saat ini.
Dari
ilustrasi di atas menunjukkan bahwa makrostruktur –komunitas- yang digeluti
oleh Agus merupakan organisasi sosial jenis pertama sebagaimana teorinya Blau.
Komunitas ini lahir dari proses pertukaran dan persaingan antar anggota
komunitas yang lahir dari proses interaksi.
2.
Konvensi Nilai dan Norma dalam Komunitas
Di dalam struktur
kompleks dalam komunitas yang diikuti oleh Agus terdapat nilai-nilai yang
disepakati bersama. Nilai-nilai itu antara lain: kekeluargaan, loyalitas,
saling membantu, kesetiakawanan, dan kebersamaan. Kesepakatan antara nilai dan
norma mereka gunakan sebagai media kehidupan antar anggota komunitas dan
sebagai mata rantai yang menghubungkan transaksi antar anggota. Nilai dan norma
inilah yang kemudian memungkinkan pertukaran sosial tak langsung dan menentukan
proses integrasi dam diferensiasi dalam komunitas yang kompleks dan menentukan
perkembangan komunitas dan reorganisasi di dalam komunitas.
Dalam konsep ini
kesepakatan nilai dapat mengganti pertukaran langsung dengan pertukaran tidak
langsung dalam komunitas. Agus berusaha menyesuaikan diri dengan norma
komunitas dan kemudian mendapatkan persetujuan karena penyesuaian dirinya
terhadap komunitas. Agus kemudian mendapat persetujuan secara implisit dari
komunitasnya karena dalam kenyataannya penyesuaian diri Agus terhadap
komunitasnya dapat memberikan kontribusi nyata terhadap pemeliharaan dan
stabilitas sosial dalam komunitas. Sehingga dalam hal ini Agus dan komunitas
terlibat dalam suatu hubungan pertukaran.
Sebagaimana empat
tipe nilai dalam teorinya Blau, kesepakatan nilai dalam komunitas yang diikuti
hanya terjadi dalam tiga tipe nilai, Pertama, nilai-nilai yang khusus
disepakati oleh komunitas dan Agus berfungsi sebagai media bagi kohesi dan
solidaritas sosial. Kedua, ukuran-ukuran tentang pencapaian dan bantuan
sosial yang dibangun dan dipertukarkan dalam komunitas telah berhasil
menciptakan stratifikasi sosial di dalam komunitas. Ketiga, nilai-nilai
yang disepakati dan disahkan itu merupakan medium dalam pelaksanaan wewenang
dan komunitas dalam melakukan usaha-usaha sosial dalam skala besar untuk
mencapai tujuan bersama. Keempat, gagasan oposisi yang terbangun
merupakan media reorganisasi dan perubahan, meskipun yang terjadi dalam
komunitas yang diikuti oleh Agus dalam penyelesaian oposisi dan mewujudkan
reorganisasi dan perubahan tidak sesuai dengan apa yang digambarkan oleh Blau,
tetapi telah berhasil dalam memberikan legitimasi dalam kepemimpinan Aziz.
Konsep
nilai yang disepakati dalam komunitas merupakan kesamaan perasaan ditingkat
kolektif yang mempersatukan Agus atas hubungannya dengan anggota komunitas.
Nilai ini kemudian dapat dijadikan dasar dalam membedakan orang menjadi dua
golongan, yakni golongan yang termasuk anggota komunitas dan golongan yang bukan
termasuk anggota komunitas. Dari nilai inilah kemudian dapat menjadi landasan
dalam meningkatkan persatuan komunitas.
G.
Kesimpulan
Pertukaran sosial antara Agus –Anak Putus Sekolah– dengan
komunitasnya terjadi dalam 3 tahap,[49] yaitu :
pertama, pertukaran atau transaksi antara Agus sebagai anggota komunitas
dengan semua anggota komunitas yang lainnya kemudian meningkat ke arah pada
tahap yang kedua. Kedua, diferensiasi status dan kekuasaan antara Agus
dan semua anggota komunitasnya yang kemudian mengarah pada tahap yang ketiga. Ketiga,
legitimasi dan pengorganisasian yang kemudian menyebarkan bibit pada tahap
yang keempat. Empat, oposisi dan perubahan. Namun dalam tahap keempat
ini tidak terjadi.
H.
Komentar
Dari temuan-temuan
informasi yang kemudian penulis analisis dengan menggunakan teori Pertukaran
Sosial Peter M. Blau, maka penulis dapat mengajukan beberapa komentar atau
implikasi teoritik dari analisis teori yang penulis gunakan.
Pada dasarnya
secaran umum teori pertukaran sosial yang dibangun oleh Peter M. Blau cukup
relevan dalam menjelaskan fenomena anak putus sekolah yang terjadi di desa
Pangkah Kulon. Akan tetapi ada beberapa hal yang ternyata tidak cocok atau
tidak sesuai dengan apa yang dibayangkan oleh Blau, yaitu:
1.
Adanya pertukaran dan transaksi antara Agus dan
anggota komunitasnya sesungguhnya bukan didasarkan pada reward yang
sejati atau yang sebenarnya, tetapi didasari oleh keterpaksaan yang disebabkan
adanya ancaman dari komunitas jika tidak menuruti segala kehendaknya.
2.
Setelah terjadinya diferensiasi dan kekuasaan
antara Agus dan semua anggota komunitas, kemudian mengarah pada legitimasi dan
pengorganisasian. Tetapi proses dalam memperoleh legitimasi dan
pengorganisasiannya oleh pemimpin komunitas –Aziz- dari anggota komunitasnya
ternyata tidak seperti apa yang dibayang Blau. Proses tersebut justru terjadi
melalui cara yang bertentangan dengan yang dipikirkan Blau, yaitu pemimpin
komunitas justru mempertontonkan superioritas dan dominasinnya atas anggota
komunitasnya. Oleh karena itu dalam tahap ini tidak mengarah pada tahap keempat
yaitu oposisi dan perubahan. Sehingga oposisi dan perubahan tidak bisa terjadi,
yang muncul hanya bibit oposisi, sebab para anggota tidak resisten terhadap
superioritas dan dominasi pemimpin komunitas dan akibatnya perubahan yang
dibayangkan Blau tidak pernah terjadi.
I.
Rekomendasi
Masalah anak putus sekolah yang disebabkan oleh faktor
pengaruh pergaulan teman sebaya merupakan hal yang umum. Sudah banyak
literatur, laporan penelitian, buku, artikel, jurnal dan sebagainya yang
penulis telusuri, namun penulis tidak menemukan satu saja yang dapat
menjelaskan bagaimana proses relasi anak putus sekolah dengan teman-teman
sebayanya yang kemudian mengakibatkan si anak tersebut tidak melanjutkan
sekolah. Selain itu belum juga ada penjelasan apakah anak memutuskan untuk
tidak melanjutkan sekolah merupakan keputusannya pribadi ataukah pengaruh
eksternal –teman.
Kajian ini merupakan
kajian yang seksi untuk dibahas, sebab penulisan laporan ini menunjukkan
seorang anak memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah merupakan keputusan
pribadi meski sebelumnya juga dipengaruhi oleh komunitasnya dan kondisi orang
tuanya. Maka dalam konteks ini kiranya anak yang putus sekolah yang dipengaruhi
oleh pergaulan temannya perlu dikaji secara mendalam. Sebab dengan contoh kasus
ini, sesungguhnya Agus tidak perlu untuk tidak melanjutkan sekolahnya meski
orang tuanya hanya mengizinkan agus untuk sekolah di SMA Al Muniroh. Anak ini
–Agus- perlu didampingi untuk menghidupkan rasa percaya diri dan keberanian
untu resisten terhadap pengaruh komunitasnya sehingga kemudian apa yang
dibayangkan oleh Blau dapat terjadi, yaitu tahap oposisi yang kemudian dapat
mengarah pada perubahan. sehingga Agus bisa dihargai oleh teman komunitasnya
dan mereka dapat menerima pilihan Agus untuk menghindar dari ajakan
komunitasnya yang cenderung mengajak pada perilaku-perilaku negatif.
[1] Mujiono Dimyati, Belajar Dan
Pembelajaran (Bandung: Usaha Nasional, 1986), hlm. 1.
[2] Bagong Suyanto, Masalah
Sosial Anak, (Cet. II. Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 354.
[3] Suyanto, Masalah, hlm.
353.
[4] Yudi Setiawan, “19 Persen Anak
Usia Sekolah Putus Sekolah,” http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2005/06/13/brk20050613-62414,id.html, diakses tanggal 14 September
2015.
[5] Republika Newsroom, “LAZ Portal
Infaq Bantu Anak Putus Sekolah,” http://www.republika.co.id/berita/9552/LAZ_Portal_Infaq_Bantu
Anak Putus Sekolah/,
diakses tanggal 14 September 2015.
[6] Jurnal Nasional edisi 29 Januari
2009, “Ribuan Anak DKI Putus Sekolah”, http://www.forumsdm.org/index.php?option=com_content&task=view&id=424&Itemid=182/, diakses tanggal 14 September
2015.
[7] Listyowati Endang Widyantari,
Kecenderungan Anak Putus Sekolah Ditinjau Dari Faktor Ekonomi Dan Faktor Non
Ekonomi; Studi Kasus pada 6 Keluarga Miskin di Kelurahan Pangkalan Jati
Kecamatan Cinere Kota Depok Provinsi Jawa Barat, Tesis, (Depok; FISIP
Universitas Indonesia, 2011), hlm. 6.
[8] BPS. Statistika Daerah Gresik.
(Pemkab Gresik, 2012)
[9] Rizal, wawancara (Pangkah Kulon,
15 September 2015)
[10] Agus, wawancara (Pangkah Kulon,
15 September 2015)
[11] Suyanto, Masalah, hlm.
359.
[12] Musfiqon, Menangani yang
Putus Sekolah (UMSIDA: Sidoarjo, 2007), hlm. 19.
[13] H. Ary Gunawan, Sosiologi
Pendidikan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 71.
[14] Burhannudin, “Penetaan Anak
Tidak dan putus Sekolah di Kota Mataram dan Kabupaten Sumbawa Besar Usia 5-12
Tahun”, http://www.puslitjaknov.org/data/file/2008/
makalah_peserta/30_Burhanudin_Pemetaan.pdf/ di akses tanggal 16 September 2015.
[15] Musfiqon, Menangani, hlm.
24.
[16] Johanes Muller, Pendidikan
Sebagai Jalan Pembebasan Manusia dari Cengkraman Kemelaratan, (Jakarta:
prisma No 7 Juli 1980)
[17] Suyanto, Masalah, hlm.
355.
[18] Darmaningtyas, Pendidikan
Pada Dan Setelah Krisis; Evaluasi Pendidikan Di Masa Krisis (LPIST &
Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 1999).
[19] Marzuki yang dikutip oleh
Suyanto, Masalah, hlm. 357.
[20] I. B. Wirawan, Teori-Teori
Sosial Dalam Tiga Paradigma; Fakta Sosial, Definisi Sosial, dan Perilaku Sosial
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 171.
[21] Michael Peter Blau, Exchange
And Power In Social Life (New York: Wiley & Sons, 1964), hlm. 2.
[22] Blau, Exchange, hlm. 88.
[23] Blau, Exchange, hlm. 31.
[24] Margareth M. Poloma, Cotemporary
Sociological Theory, terj. Yasogama, (Cet. IX; Rajawali Press; Jakarta,
2013), hlm. 95-97
[25] George Ritzer, Modern
Sociological Theory: Seventh Edition McGraw-Hill, terj. Triwibowo B.S, (Ed.
VII; Kencana Prenadamedia Group; Jakarta, 2014), hlm. 343.
[26] Blau, Exchange, hlm. 32.
[27] Blau, Exchange, hlm. 35.
[28] Margareth M. Poloma, Cotemporary,
hlm. 82.
[29] Margareth M. Poloma, Cotemporary,
hlm. 82-83.
[30] Graham C. Kinloch, Sociological
Theory It Development and Major Paradigms, terj. Dadang Kahmad,
(Cet. II; Pustaka Setia; Bandung, 2009), hlm. 253-254.
[31] George Ritzer, Modern, hlm.
343-346.
[32] George Ritzer, Modern, hlm.
345; Margareth M. Poloma, Cotemporary, hlm. 85.
[33] Blau, Exchange, hlm. 255.
[34] Margareth M. Poloma, Cotemporary,
hlm. 91-92.
[35] George Ritzer, Modern, hlm.
348.
[36] Profil Desa Pangkah Kulon 2012
[37] Rizal, wawancara (Pangkah Kulon,
15 September 2015)
[38] Wawancara dan Observasi, 15
Spetember 2015
[39] Arif, 07 Agustus 2013
[40] Arif, wawancara (Pangkah Kulon,
07 Agustus 2013)
[41] Profil Desa Pangkah Kulon Tahun
2012
[42] Agus, wawancara (Pangkah Kulon,
15 September 2015)
[43] Orang itu dapat memaksa orang
lain untuk membantunya. Lihat George Ritzer, Modern Sociological Theory:
Seventh Edition McGraw-Hill, terj. Triwibowo B.S, (Ed. VII; Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group, 2014), hlm. 345; Margareth M. Poloma, Cotemporary
Sociological Theory, terj. Yasogama, (Cet. IX; Rajawali Press; Jakarta,
2013), hlm. 85.
[44] Orang itu akan mencari sumber
lain untuk memenuhi kebutuhannya. Lihat George Ritzer, Modern, hlm. 345;.
Margareth M. Poloma, Cotemporary, hlm. 85.
[45] Orang itu mungkin akan
menundukkan diri terhadap orang lain dan dengan demikian memberikan orang lain
itu penghargaan yang sama dalam antar hubungan mereka, dan kemudian dapat
menarik penghargaan yang diberikan itu ketika menginginkan orang yang
ditundukkan itu melakukan sesuatu. Lihat Lihat George Ritzer, Modern, hlm.
345;. Margareth M. Poloma, Cotemporary, hlm. 85.
[46] Orang itu mungkin akan
menundukkan diri terhadap orang lain dan dengan demikian memberikan orang lain
itu penghargaan yang sama dalam antar hubungan mereka. Lihat George Ritzer, Modern,
hlm. 345; Margareth M. Poloma, Cotemporary, hlm. 85.
[47] Dalam realitasnya, agus
mengalami kerugian sebagaimana yang dikhawatirkan, sebab pertemanannya dalam
komunitas sangat tergantung dari pemimpin komunitas. Hal ini terjadi ketika
Agus mencoba untuk tidak menuruti ajakan komunitasnya untuk membolos dan ngopi
hingga larut malam. Sehingga pada suatu saat Agus dipukuli oleh anggota
komunitasnya. Agus, wawancara (Pangkah Kulon, 15 September 2015)
[48] George Ritzer, Modern, hlm.
343-346.
[49] Hal ini tidak sesuai dengan
tahapan yang dipikirkan oleh Blau yang sesunggunya pertukaran sosial terjadi
dalam 4 Tahap. Lihat George Ritzer, Modern Sociological Theory: Seventh
Edition McGraw-Hill, terj. Triwibowo B.S, (Ed. VII; Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2014), hlm.343-346.
0 Komentar untuk "ANAK PUTUS SEKOLAH; Analisis Teori Pertukaran Sosial Peter M. Blau"