
Garis
besar perkembangan elit Indonesia adalah dari yang bersifat tradisional yang berorientasi
kosmologis, dan berdasarkan keturunan kepada elit modern yang berorientasi
kepada negara kemakmuran, berdasarkan pendidikan. Elit modern ini jauh lebih
beraneka ragam daripada elit tradisional.
Secara struktural ada disebutkan
tenatang administratur-administratur, pegawai-pegawai pemerintah,
teknisi-teknisi, orang-orang profesional, dan para intelektual, tetapi pada
akhirnya perbedaan utama yang dapat dibuat adalah antara elit fungsional dan
elit politik. Yang dimaksud dengan elit fungsional adalah pemimpin-pemimpin
yang baik pada masa lalumaupun masa sekarang mengabdikan diri untuk
kelangsungan berfungsinya suatu negara dan masyarakat yang modern, sedangkan
elit politik adalah orang-orang (Indonesia) yang terlibat dalam aktivitas
politik untuk berbagai tujuan tapi biasanya bertalian dengan sekedar perubahan
politik. Kelompok pertama berlainan dengan yang biasa ditafsirkan, menjalankan
fungsi sosial yang lebih besar dengan bertindak sebagai pembawa perubahan,
sedangkan golongan ke dua lebih mempunyai arti simbolis daripada praktis.
Elit politik yang dimaksud adalah
individu atau kelompok elit yang memiliki pengaruh dalam proses pengambilan
keputusan politik. Suzanne Keller
mengelompokkan ahli yang mengkaji elit politik ke dalam dua golongan.
Pertama, ahli yang beranggapan bahwa golongan elite itu adalah tunggal yang
biasa disebut elit politik (Aristoteles, Gaetano Mosca dan Pareto). Kedua, ahli
yang beranggapan bahwa ada sejumlah kaum elit yang berkoeksistensi, berbagi
kekuasaan, tanggung jawab, dan hak-hak atau imbalan. (ahlinya adalah Saint
Simon, Karl Mainnheim, dan Raymond Aron).
Menurut Aristoteles, elit adalah
sejumlah kecil individu yang memikul semua atau hampir semua tanggung jawab
kemasyarakatan. Definisi elit yang dikemukakan oleh Aristoteles merupakan
penegasan lebih lanjut dari pernyataan Plato tentang dalil inti teori demokrasi
elitis klasik bahwa di setiap masyarakat, suatu minoritas membuat
keputusan-keputusan besar. Konsep teoritis yang dikemukakan oleh Plato dan
Aristoteles kemudian diperluas kajiannya oleh dua sosiolog politik Italias,
yakni Vilpredo Pareto dan Gaetano Mosca.
Pareto menyatakan bahwa setiap
masyarakat diperintah oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas yang
diperlukan dalam kehidupan sosial dan politik. Kelompok kessil itu disebut
dengan elit, yang mampu menjangkau pusat kekuasaan. Elit adalah orang-orang
berhasil yang mampu menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Pareto
mempertegas bahwa pada umumnya elit berasal dari kelas yang sama, yaitu
orang-orang kaya dan pandai yang mempunyai kelebihan dalam matematika,
bidang muasik, karakter moral dan
sebagainya. Pareto lebih lanjut membagi masyarakat dalam dua kelas, yaitu
pertama elit yang memerintah (governing elite) dan elit yang tiak memerintah
(non governign elit) . Kedua, lapisan rendah (non- elite) kajian tentang elit
politik lebih jauh dilakukan oleh Mosca yang mengembangkan teori elit politik.
Menurut Mosca, dalam semua masyarakat, mulai adri yang paling giat
mengembangkan diri serta mencapai fajar peradaban, hingga pada masyarakt yang
paling maju dan kuat selalu muncul dua kelas, yakni kelas yang memerintah dan
kelas yang diperintah. Kelas yang memerintah, biasanya jumlahnya lebih sedikit,
memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan dan menikmati
keuntungan-keuntungan yang didapatnya dari kekuasaan. Kelas yang diperintah
jumlahnya lebih besar, diatur dan dikontrol oleh kelas yang memerintah.
Pareto dan Mosca mendefinisikan elit
sebagai kelas penguasa yang secara efektif memonopoli pos-pos kunci dalam
masyarakat. Definisi ini kemduain didukung oleh Robert Michel yang berkeyakinan
bahwa ”hukum besi oligarki” tak terelakkan. Dalam organisasi apapun, selalu ada
kelompok kecil yang kuat, dominan dan mampu mendiktekan kepentingannya sendiri.
Sebaliknya, Lasswell berpendapat bahwa elit sebenarnya bersifat pluralistik.
Sosoknya tersebar (tidak berupa sosok tunggal), orangnya sendiri beganti-ganti
pada setiap tahapan fungsional dalam proses pembuatan keputusan, dan perannya
pun bisa naik turun tergantung situasinya. Bagi Lasswell, situasi itu yang
lebih penting, dalam situasi peran elit tidak terlalu menonjol dan status elit
bisa melekat kepada siapa saja yang kebetuan punya peran penting .
Pandangan yang lebih luwes dikemukakan oleh Dwaine
Marvick. Menurutnya ada dua tradisi akademik tentang elit. Pertama, dalam
tradisi yang lebih tua, elit diperlukan sebagai sosok khusus yang menjalankan
misi historis, memenuhi kebuthan mendesak, melahirkan bakat-bakat unggul, atau
menampilkan kualitas tersendiri. Elit dipandang sebagai kelompok pencipta
tatanan yang kemudian dianut oleh semua pihak. Ke dua, dalam tradisi yang lebih
baru, elit dilihat sebagai kelompok, baik kelompok yang menghimpun yang
menghimpun para petinggi pemerintahan atau penguasa di berbagai sektor dan
tempat. Pengertian elit dipadankan dengan pemimpin, pembuat keputusan, atau
pihak berpengaruh yang selalu menjadi figur sentral.
Lipset dan Solari menunjukkan bahwa
elit adalah mereka yang menempati posisi di dalam masyarakat di puncak
struktur-struktur sosial yang terpenting,, yaitu posisi tinggi di dalam ekonomi
pemerintahan, aparat kemiliteran, politik, agama, pengajaran dan
pekerjaan-pekerjaan. Pernyataan seiring dikemukakan oleh Czudnowski bahwa elit
adalah mereka yang mengatur segala sesuatunya, ataua aktor-aktor kunci yang
memainkan peran utama yang fungsional dan terstruktur dalam berbagai lingkup
institusional, keagamaan, militer,
akademis, industri, komunikasi dan sebagainya.
Field dan Higley menyederhanakan
dengan mengemukakan bahwa elit adalah orang-orang yang memiliki posisi kunci,
yang secara awamdipandang sebagai sebuah kelompok. Merekalah yang membuat
kebijakan umum, yang satu sama lain melakukan koordinasi untuk menonjolkan
perannya. Menurut Marvick, meskipun elit sering dipandang sebagai satu kelompok
yang terpadu, tetapi sesungguhnya di antara anggota-anggota elit itu sendiri,
apa lagi dengan elit yang lain sering bersaing dan berbeda kepentingan.
Persaingan dan perbedaan kepentingan antar elit
itu kerap kali terjadi dalam perebutan kekuasaan atau sirkulasi elit.
Berdasarkan pandangan berbagai ahli,
Robert D. Putnam menyatakan bahwa secara umum ilmuwan sosial membagi dalam tiga
sudut pandang. Pertama, sudut pandang
struktur atau posisi. Pandangan ini lebih menekankan bahwa kedudukan elit yang
berada pada lapisan atas struktur masyarakatlah yang menyebabkan mereka akan
memegang peranan penting dalam aktivitas masyarakat. Kedudukan tersebut dapat
dicapai melalui usaha yang tinggi atau kedudukan sosial yang melekat, misalnya
keturunan atau kasta.
Schrool menyatakan bahwa elit menjadi golongan utama
dalam masyarakat yang didasarkan pada posisi mereka yang tinggi dalam struktur
masyarakat. Posisi yang tinggi tersebut terdapat pada puncak struktur
masyarakat, yaitu posisi tinggi dalam bidang ekonomi, pemerintahan,
kemiliteran, politik, agama, pengajaran dan pekerjaan bebas.
Ke dua sudut pandang kelembagaan.
Pandangan ini didasarkan pada suatu lembaga yang dapat menjadi pendukung bagi
elit terhadap peranannya dalam masyarakat. C. Wright Mills menyatakan bahwa untuk bisa memiliki
kemasyhuran, kekayaan, dan kekuasaan, orang harus bisa masuk ke dalam
lembaga-lembaga besar, karena posisi kelembagaan yang didudukinya menentukan
sebagian besar kesempatan-kesempatannya untuk memilki dan menguasai pengalaman-pengalamannya
yang bernialai itu.
Ketiga, sudut pandang kekuasaan. Bila
kekuasaan politik didefinisikan dalam arti pengaruh atas kegiatan pemerintah,
bisa diketahui elit mana yang memiliki kekuasaan dengan mempelajari proses
pembuatan keputusan tertentu, terutama dengan memperhatikan siapa yang berhasil
mengajukan inisiatif atau menentang usul
suatu keputusan.
Pandangan ilmuwan sosial di atas
menunjukkan bahwa elit memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan.
Pengaruh yang memiliki/bersumber dari penghargaan masyarakat terhadap kelebihan
elit yang dikatakan sebagai sumber kekuasaan. Menurut Miriam Budiardjo,
sumber-sumber kekuasaan itu bisa berupa keududukan, status kekayaan,
kepercayaan, agama, kekerabatan, kepandaian dan keterampilan. Pendapat senda
juga diungkapkan oleh Charles F. Andrain
yang meneybutnya sebagai sumber
daya kekuasaan, yakni : sumber daya fisik, ekonomi, normatif, personal dan
keahlian.
Dalam konteks Sulawesi Selatan, elit
politik lokal dapat dilihat dalam 3 kategori, pertama, kategori elit
berdasarkan pelapisan sosial, ke dua kategori elit berdasarkan kegiatan
fungsional, ketiga, elit berdasarkan kharisma. Dalam tradisi lontara, pelapisan
itu sosial masyarakat Bugis Makassar terbagi atas 3 kellompok sosial, pertama,
raja dan kerabat raja yang dikenal dengan kelompok bangsawan atau aristokrat.
Ke dua kelompok manusia merdeka dan ketiga, kelompok hamba .
Dalam konteks politik deliberatif,
ranah politik menjadi sebuah ruang yang penuh dengan kontestasi/persaingan
terbuka. Pada ruang terbuka ini, beberapa pandangan dari kelompok-kelompok
teori di atas terdapat kecocokan, namun yag terjadi dalam politik Sulawesi
Selatan kini, adalah saling tumpang tindihnya faktor-faktor sumber daya kuasa
sebagaimana disebutkan di atas. Faktor status kebangsawanan bertumpang tindih
dengan pendidikan dan kapasitas politik kelembagaan yang diperoleh dari
kualifikasi pengakderan partai politik akan tetapi juga tidak menunjukkan sikap
elit yang loyal dan ideologis terhadap partainya. Modalitas ekonomi seringkali
menjadi faktor yang diasumsikan menjadi sumber kekuasaan, dalam masyarakat
Bugis Makassar tentunya akan menampakkan dinamika yang kuat, dimana sirkulasi
elit akan sedemikian kencangnya terjadi dikarenakan budaya dasar masyarakat
bugis makassar adalah berdagang. Namun kondisi ini saling bertumpang tindih
dengan patrimonialisme, kekeluargaan, dan bahkan memungkinkan untuk terjadinya
dinastitokrasi.
0 Komentar untuk "TEORI ELIT"