Muttaqin Khabibullah, M.Pd.I[1]
Sebelum
membicarakan panjang lebar mengenai tanggung jawab sosial sebagai mahasiswa,
maka terlebih dahulu perlu memahami mengenai konsep mahasiswa dan transformasi
sosial. Sebab dengan penjelasan mengenai kedua konsep ini paling tidak, pembaca
dapat melihat dan mengidentifikasi aspek-aspek dari kedua konsep ini yang
saling berdialog bukan malah berdiri sendiri (independent). Sebab jika
dipahami secara independen maka akan mengakibatkan terhadap disparitas peran
diantara kedua konsep tersebut.
Mahasiswa dilihat pada
aspek administratif, ialah seseorang yang sedang berproses menimba ilmu yang terdaftar
dan sedang menjalani pendidikan pada salah satu bentuk perguruan tinggi, baik
akademik, politeknik, sekolah tinggi, institut maupun universitas.
Sedangkan menurut Siswoyo
mahasiswa merupakan individu yang sedang menuntut ilmu ditingkat perguruan
tinggi, baik negeri maupun swasta atau lembaga lain yang setingkat dengan
perguruan tinggi.
Dilihat dari aspek
psikologis, mahasiswa diartikan sebagai pelajar yang menimba ilmu pengetahuan
tinggi, dimana pada tingkat ini mereka dianggap memiliki kematangan fisik dan
perkembangan pemikiran yang luas, sehingga dengan nilai lebih tersebut mereka
dapat memiliki kesadaran untuk menentukan sikap dirinya serta mampu
bertanggungjawab terhadap sikap dan tingkah lakunya dalam wacana ilmiah. Sedangkan menurut Yusuf mahasiswa dapat dikategorikan pada tahap perkembangan usia 18-25 tahun. Tahap
ini dapat digolongkan pada masa transisi remaja akhir sampai masa dewasa awal.
Oleh karena itu, pada aspek perkembangannya, tugas mahasiswa ini ialah
pemantapan pendirian hidup.
Sedangkan dilihat
pada aspek sosial dan politik, A.M. Fatwa dalam Syaifullah Syam mengemukakan
mahasiswa merupakan kelompok generasi muda yang mempunyai peran strategis dalam
kancah pembangunan bangsa, karena mahasiswa merupakan sumber kekuatan moral (moral
force) bagi bangsa Indonesia.
Soe Hok Gie menyatakan bahwa mahasiswa
merupakan “the happy selected few” yang dapat kuliah dan karena itu
mereka harus juga menyadari dan melibatkan diri dalam perjuangan bangsanya.
Sedangkan menurut Apudin,
mahasiswa merupakan kaum menengah yang tercerahkan, sebagai kaum cendekiawan
dan intelektual muda yang memiliki kecenderungan sebagai seorang pemimpin yang
mapan dan bila dalam suatu realitas sosial selalu menjadi pembaharu. Karena
dari catatan sejarah bangsa, mahasiswa banyak mengukir tinta dalam perjalanan
bangsa Indonesia. Mulai dari 1908, 1928, 1945, 1966 hingga momentum reformasi
1998.
Dari beberapa
pengertian dari konsep mahasiswa di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
mahasiswa adalah seseorang yang sedang berproses menimba ilmu yang terdaftar
dan menjalani pendidikan jenjang perguruan tinggi yang berusia 18-25 tahun yang
memiliki peran strategis dalam dalam perjuangan bangsa.
Adapun konsep
transformasi sosial (social change) menurut Rogers dkk adalah suatu proses
yang melahirkan perubahan-perubahan di dalam struktur dan fungsi dari suatu
sistem kemasyarkatan. Selo Soemarjan dan Soelaeman Soemardi mengemukakan bahwa
perubahan sosial diartikan sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang
telah diterima, baik karena perubahan-peubahan kondisi geografis, kebudayaan
material, komposisi penduduk, idiologi, maupun karena adanya difusi atau
penemuan-penemuan baru dalam masyarakat tersebut. Sedangkan Soerjono Soekanto merumuskan bahwa perubahan sosial adalah segala
perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu
masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya
nilai-nilai, sikap-sikap, dan pola perikelakuan di antara kelompok-kelompok
dalam masyarakat.
Dari berbagai deskripsi di atas menunjukkan bahwa pengertian perubahan sosial
masih kabur, sehingga butuh batasan yang jelas dan tegas. Oleh karena itulah Iver
membatasi perubahan sosial sebagai perubahan dalam hubungan sosial (social
relationship) atau sebagai perubahan terhadap keseimbangan (equilibrium)
hubungan sosial. Sedangkan menurut Davis
perubahan sosial dibatasi sebagai bagian dari perubahan kebudayaan.
Berbicara mengenai
transformasi sosial dalam perspektif filsafat, tentu saja harus diawali dengan
pembahasan mengenai paradigma yang berlaku dalam transformasi sosial yang
berkaitan dengan pendidikan. Sebab mahasiswa merupakan bagian penting dalam
proses pendidikan khususnya dalam jenjang pendidikan tinggi. Karena di
perguruan tinggilah mahasiswa dapat memperoleh kekuatan intelektual dan
kebebasan dalam berpikir. Sehingga aktualisasi dan pertukaran ide antar
mahasiswa maupun mahasiswa dan dosen sering terjadi, sehingga disparitas
pemahaman atas realitas dapat dihindarkan.
Oleh karena itu, mahasiswa sebagai agen transformasi sosial
sudah semestinya memiliki karakter berpikir kritis sebagaimana paradigma kritis
di atas. Sebab mahasiswa sebagai manusia pada hakikatnya dilahirkan dalam
fitrah yang sama. Sebagai mahasiswa yang memiliki fitrah dan pola pikir kritis
seyogyanya dapat merasakan penindasan-penindasan yang terjadi yang dilakukan
oleh struktur sosial yang pada mulanya berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup
masyarakat malah menjadi alat penindasan.
Dengan paradigma kritis ini, menghendaki mahasiswa untuk
melakukan perubahan struktur secara fundamental dalam tatanan politik dan
ekonomi masyarakat dimana mahasiswa berada. Dalam perspektif ini, mahasiswa
harus mampu membuka wawasan dan cakrawala berpikir masyarakat dan menciptakan
ruang bagi mereka untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan
kritis tentang diri mereka dan struktur dunianya dalam rangka transformasi
sosial. Artinya, mahasiswa harus mampu mendorong masyarakat untuk menjadi subyek
atas dunia mereka dan menjadikan dunia menjadi obyek bagi mereka.
Oleh karena itu, melalui
perspektif kritis mahasiswa harus memiliki agenda besar untuk melakukan
refleksi kritis terhadap the dominant ideology ke arah transformasi
sosial (social change). Tugas utama mahasiswa adalah menciptakan ruang
bagi masyarakat untuk bersikap kritis terhadap sistem dan struktur
ketidakadilan, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem sosial
yang lebih adil dan egaliter. Mahasiswa tidak mungkin bersikap netral, bersikap
obyektif maupun mengambil jarak dengan masyarakat (detachment) seperti
anjuran positivisme.[2]
Kepeberpihakan kepada masyarakat tertindaslah –mustadh’afien- yang menjadi
pilihan satu-satunya yang harus dipilih oleh mahasiswa. Dengan kata lain tugas
mahasiswa sebagai agen perubahan yang terdidik adalah memanusiakan kembali
manusia yang mengalami dehumanisasi yang disebabkan sistem dan struktur sosial
yang tidak adil.[3]
Jadi, Pada hakikatnya paradigma kritis akan mendorong
mahasiswa untuk melakukan proses pengembalian manusia pada konsep fitrahnya.
Mahasiswa harus melakukan proses “memanusiakan manusia” (humanisasi). Yaitu
mengembalikan kondisi manusia yang berada dalam jeratan krisis sosial akibat
dominasi peran dari beberapa pelaku sosial yang ada.
Mahasiswa dan kaitannya dengan perubahan sosial bagi
masyarakat dalam bentuknya yang paling ideal ialah membangkitkan kesadaran (conscientizacao)
diri masyarakat sebagai subjek. Dengan kesadaran sebagai subjek tersebut
mahasiswa dan masyarakat dapat memerankan diri mereka sebagai liberative
action. Kesadaran ini secara komunal akhirnya membentuk kesadaran sosial di
mana kesadaran itu dibangun atas basis relasi intersubjektif masyarakat yang
kemudian dapat memainkan peranan dalam rekonstruksi tatanan sosial baru yang
lebih demokratis. Tatanan sosial yang demokratis ini merupakan kondisi yang
kondusif bagi humanisme dan pembebasan. Pembentukan pola pandang tersebut akan
memiliki hegemoni yang sangat represif ketika politik berkolaborasi dengan
dimensi lainnya yang menjadi alat legitimasi politik oleh penindas yang
ketetapan dan legalitasnya tidak boleh diganggu gugat.
Di dalam Al Qur’an dijelaskan
bahwa perubahan sosial merupakan sebuah keniscayaan atau sunnatullah.
Sunnatullah ini, menurut al-Qur`an, tidak akan mengalami perubahan, sebagaimana
tercantum dalam Q.S. al-Ahzab [33]: 62 dan sejumlah ayat yang lain yang
berbunyi:
سُنَّةَ اللَّهِ فِي
الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلُ وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَبْدِيلا (٦٢)
Sebagai sunnah Allah yang berlaku
atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tiada
akan mendapati peubahan pada sunnah Allah.
Secara etimologi kata sunnatullah (سُنَّةَ اللَّهِ) terdiri dari
dua kata, yaitu kata sunnah (سُنَّةَ) dan kata Allah (اللَّهِ). Salah satu pengertian sunnah, secara bahasa, adalah kebiasaan (‘adah/عادة). Kata sunnatullah dan variannya tercantum beberapa
kali dalam al-Qur`an.
Selain kata sunnatullah, dalam al-Qur`an juga tercantum kata sunnatuna (سُنَّـتُـنَا), di samping kata sunnatul awwalin (سُنَّةُ الأَوَّلِيْنَ). Tidak
kurang dari 13 kali kata sunnatullah dan sejenisnya tercantum dalam al-Qur’an. Dari penelusuran terhadap kata sunnatullah
dan sejenisnya yang tercantum dalam al-Qur`an, secara umum dapat dinyatakan
bahwa kata-kata tersebut digunakan oleh al-Qur`an dalam konteks kemasyarakatan.
Dengan demikian kata sunnatullah dapat diartikan sebagai kebiasaan-kebiasaan
yang diberlakukan Allah dalam masyarakat atau ketetapan-ketetapan Allah dalam
memperlakukan masyarakat.
Adapun faktor yang
menyebabkan terjadinya perubahan di dalam al Qur’an tersebut pada Q.S. ar-Ra’d
[13]: 11 yang berbunyi:
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ
مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِنَّ
اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا
أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ
مِنْ وَالٍ (١١)
Bagi manusia ada malaikat-malaikat
yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka
menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan
sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri,
dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada
yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain
Dia.
Menurut Quraish Shihab, ayat di atas menyatakan ada dua macam perubahan
dengan dua pelaku. Perubahan pertama adalah perubahan masyarakat yang pelakunya
adalah Allah. Sedangkan perubahan kedua adalah perubahan keadaan diri manusia
(sikap mental) yang pelakunya adalah manusia. Perubahan kedua yang merupakan
perubahan keadaan diri manusia ini dapat dipahami dari kata ma bi anfusihim
(مَا بِأَنْفُسِهِمْ) yang terdapat
pada ayat tersebut. Kata ma bi anfusihim (مَا بِأَنْفُسِهِمْ) ini dapat
diterjemahkan dengan “apa yang terdapat dalam diri mereka”. Ma bi anfusihim
atau apa yang terdapat dalam diri manusia ini, masih menurut Quraish Shihab,
terdiri dari dua unsur pokok. Dua unsur pokok itu adalah nilai-nilai yang
dihayati dan iradah (kehendak) manusia. Perpaduan antara nilai yang dihayati
dan iradah (kehendak) ini dapat menciptakan kekuatan pendorong dalam diri
manusia untuk melakukan sesuatu, seperti perubahan sosial.
Faktor lain yang juga dapat mempercepat perubahan sosial adalah faktor
ideologi. Ideologi merupakan sistem ide atau gagasan yang dimiliki sekelompok orang
yang dijadikan landasan bagi tindakannya. Ideologi dapat menyebabkan kemajuan,
di samping dapat menimbulkan kemunduran dan melahirkan berbagai konflik sosial.
Jika dihubungkan dengan makna yang tercantum dalam kata ma bi anfusihim (مَا بِأَنْفُسِهِمْ) Q.S. al-Ra’d [13]: 11, ideologi termasuk dalam kata ma bi anfusihim (مَا بِأَنْفُسِهِمْ) yang terdapat pada ayat tersebut.
Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa, menurut al-Quran, pada
hakikatnya perubahan sosial adalah perubahan atau transformasi kesadaran.
Kesadaran ini termasuk dalam kata ma bi anfusihim (مَا بِأَنْفُسِهِمْ) yang terdapat pada Q. S. al-Ra’d [13]: 11. Transformasi kesadaran yang dimaksud adalah
kesadaran untuk mencerahkan, membebaskan diri atau jiwa dari kebodohan,
penindasan dan dari segala bentuk simbol-simbol zhulumat (kegelapan dan
kezaliman), menuju nur (sinar yang terang, cerah).
Hal ini dapat dilihat pada firman Allah dalam Q.S. al-Ma`idah [5]: 16 yang
berbunyi:
يَهْدِي بِهِ
اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلامِ وَيُخْرِجُهُمْ مِنَ
الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
(١٦)
Dengan kitab Itulah Allah
menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan
(dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita
kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke
jalan yang lurus.
Agen perubahan (agent of change) merupakan seseorang atau kelompok
masyarakat yang mendapat kepercayaan sebagai pemimpin pada satu atau lebih
lembaga-lembaga kemasyarakatan. Individu kreatif dan individu bermotivasi
merupakan salah satu agen perubahan di masyarakat. Agen perubahan sosial ini
memiliki peranan penting dalam suatu perubahan sosial yang direncanakan,
mengingat bahwa perubahan sosial yang direncanakan senantiasa berada di bawah
kendali agen perubahan (agent of change) tersebut.[21]
Oleh karena itulah mahasiswa dianggap memiliki posisi yang strategis
sebagai the agent of change sebab dalam diri mahasiswa selain sebagai
pemuda, mahasiswa juga memiliki kualitas intelektual yang tinggi atau yang
sering disebut sebagai kelompok intelektual.
Di akhir tulisan ini, penulis ingin memberikan sebuah motivasi kepada
pembaca, bahwa perubahan merupakan sebuah keciscayaan. Di akhir tulisan Gus Dur
dalam buku menggerakkan tradisi berujar lewat ungkapan Cicero bahwa “yang senantiasa berubah adalah
perubahan itu sendiri”. Seseorang selamanya tidak akan pernah menemukan kondisi
yang sama. Sebab setiap tahun, setiap bulan, setiap pekan, setiap hari, setiap
jam, dan setiap detik akan selalu terjadi perubahan. Tugas mahasiswa sebagai the
agen of social adalah bagaimana cara mengarahkan perubahan itu pada arah
perbaikan kondisi masyarakat yang lebih baik, sejahterah, berkeadilan dan
egaliter. Sehingga apa yang dicita-citakan bangsa ini bisa terwujud yaitu,
duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi.
Untuk itu mahasiswa perlu mengembangkan wacananya secara radikal, komprehensif
dan utuh untuk memahami, menjelaskan dan menganalisis terhadap realitas.
Selanjutnya mengembangkan jaringan untuk menambah amunisi sebagai bentuk
kolektivitas untuk diarahkan pada tahap selanjutnya, yaitu gerakan sosial dan
gerakan perubahan. Salam tangan terkepal maju kemuka, mundur satu langkah
adalah sebuah penghianatan.
Wallahul
Muwaffiq Ila Aqwamit Tharieq
Wassalamu’alaikum,
Wr., Wb.
Bungah, 06 September 2015
Daftar Rujukan
A’la, Abd. Masyarakat dalam
Belenggu “Institusionalized Ignorance” http:// www. radartarakan. co. id/
berita/ default.
Apudin, Mahasiswa dan Masyarakat.
Buletin Socius Edisi 1, Januari 2005.
Davis, Kingsley. Human Society.
Cetakan ke-13. The Macmillan Company: New York, 1960.
Freire, Paulo Pendidikan yang
Membebaskan, pendidikan yang Memanusiakan, dalam terj. Omi Intan Naomi,
Menggugat Pendidikan: Fundamentalisme, Konservatif Liberal Anarkis, cet. III,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Ganda, Yahya. Petunjuk Praktis
Cara Mahasiswa Belajar di Perguruan Tinggi. Jakarta: Grasindo, 1987.
Gie, Soe Hok. Catatan Seorang
Demonstran, Pustaka LP3ES: Jakarta, 2005.
Hartaji, Damar A. Motivasi
Berprestasi Pada Mahasiswa yang Berkuliah Dengan Jurusan Pilihan Orangtua.
Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma, 2012.
Iver, Mac Negara Modern, Jakarta:
Aksara Baru, 1977.
Martono, Nanang Sosiologi
Perubahan Sosial, Jakarta: Raja Grafindo, 2012.
Mu’arif, Wacana Pendidikan
Kritis; Menelanjangi Problematika Meretas masa depan Pendidikan Kita,
Yogyakarta: Ircisod, 2005.
O’Neill, William F. Educational
Ideologie; Kontemporari Expressions of Educational Philosophies, a.b. Omi Intan
naomi, Pustaka Pelajar; Yogyakarta, 2002.
Shihab, Quraish, Tafsir
al-Mishbah, jld. 11, Jakarta: Lentera Hati, 2005.
Shihab, Quraish, Wawasan
Al-Quran, Bandung: Mizan, 1996.
Siswoyo, Dwi. Ilmu Pendidikan.
Yogyakarta: UNY Pers, 2007.
Soekanto, Soerjono, Pokok-Pokok
Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi
Pengantar, edisi keempat, PT Raja Grafindo Persada: Jakarta, 1990.
Sugihen, Bahrein T. Sosiologi
Pedesaan; Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada; Jakarta, 1997.
Suwito, Transformasi Sosial:
Kajian Epistemologis Ali Syari'ati tentang Pemikiran Islam Modern, Yogyakarta
& Purwokerto: Unggun Religi & STAIN Purwokerto Press, 2004.
Syam, Syaifullah. Pola Adaptasi
Mahasiswa Baru Jurusan PMPKN FPISP UPI; Studi Analitik pada Mahasiswa Baru
Jurusan PMPKN FPISP UPI, Jurnal Civicus (1), 5.
Yusuf, Syamsu. Psikologi
Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012.
[1] Muttaqin Khabibullah, M.Pd.I lahir di Gresik pada tanggal
16 Pebruari 1989. Penulis merupakan dosen prodi MPI yang mengampu mata kuliah
Filsafat Ilmu di IAI Qomaruddin Gresik. Di samping itu, penulis juga aktif di
beberapa lembaga sosial dan pemuda antara lain: SAGAF, GP Ansor, PMII, KNPI,
PPK Bungah dan beberapa lembaga lainnya. Selain itu, penulis saat ini sedang
melanjutkan studi Doktoralnya di UIN Malang. Adapun buku-buku penulis yang
pernah terbit antara lain: The Sunan Giri Award (Perubahan dan Pengalaman
Penyelenggaraan Pelayanan Publik Kab. Gresik yang diterbitkan oleh Interpena
Yogyakarta tahun 2014); Manajemen Sumber Daya Manusia (diterbitkan oleh
Kopertais4 Press 2015). Blog: muttaqinkhabibullah.blogspot.com; email:
averoos13@gmail.com.
[2] Positivisme sebagai suatu paradigma ilmu sosial yang
dominan juga menjadi dasar bagi model pendidikan liberal. Positivisme pada
dasarnya adalah ilmu sosial yang di pinjam dari pandangan, metode dan teknik
ilmu alam dalam memahami realitas. Positivisme sebagai suatu aliran filsafat
berakar pada tradisi ilmu-ilmu sosial yang dikembangkan dengan mengambil cara
ilmu alam menguasai benda, yakni dengan kepercayaan adanya universalisme dan
generalisasi, melalui metode determinasi, “fixed law” atau kumpulan hukum
teori. Positivisme berasumsi bahwa penjelasan tunggal dianggap “appropriate”
untuk semua fenomena. Oleh karena itu mereka percaya bahwa riset sosial ataupun
pendidikan dan pelatihan harus di dekati dengan metode ilmiah yakni obyektif
dan bebas nilai. Pengetahuan selalu menganut hukum ilmiah yang bersifat
universal, prosedur harus dikuantivisir dan di verifikasi dengan metode
“scientific” dengan kata lain, positivisme mensyaratkan pemisahan fakta dan
values dalam rangka menuju pada pemahaman obyektif atas realitas sosial.
[3] Dehumanisasi adalah pembengkokan cita-cita untuk menjadi
manusia yang lebih utuh, cepat atau lambat kaum tertindas akan bangkit berjuang
melawan mereka yang telah mendehumanisasikan kaumnya. Agar perjuangan ini
bermakna,kaum tertindas jangan sampai, dalam mengusahakan memperoleh
kemanusiaan mereka, berubah menjadi penindas kaum tertindas, melainkan mereka
musti mamanusiakan kembali keduanya.
0 Komentar untuk "MAHASISWA DAN TRANSFORMASI SOSIAL PERSPEKTIF FILOSOFIS DAN AL QUR’AN"